Perayaan Tahun Baru Imlek di benua Asia dirayakan mulai daratan Tiongkok hingga menjangkau Asia Tenggara. Di negara-negara seperti Vietnam, Singapura, Malaysia dan Filipina, termasuk di Indonesia Imlek juga dirayakan resmi.
Di luar benua Asia, Perayaan Imlek terbesar ada di benua Amerika. Tepatnya di San Francisco, di kota terbesar di Bay Area, negara bagian California, Amerika Serikat. Tradisi merayakan Imlek dibumikan di San Francisco oleh komunitas masyarakat Kanton (Guangdong/ Kwangtung). Paling tidak demikian hipotesanya, bila merujuk pada sejarah dan populasi komunitas Kanton di kota tesebut.
Menarik untuk dicermati, bagaimana sebuah tradisi dengan sejarah lebih dari duapuluh lima abad bisa dirayakan serentak di seluruh penjuru dunia.
Di dalam sebuah tradisi ada pembawa dan penerus ide. Pembawa ini dalam keilmuan sosial atau humaniora sering disebut 'agen', berasal dari kata bahasa Inggris agent. Agen ini menjadi 'pembawa' dan 'penerus' ide.
Sebagai 'pembawa' orang melaksanakan atau menjalankan ide ini dalam kehidupan sehari-hari. Dan sebagai 'penerus' orang menurunkan ide tersebut bersama seluruh pelaksaannya pada orang-orang lain di lingkungannya. Biasanya dimulai dari lingkungan terkecil seperti pada orang-orang dalam satu keluarga.
Proses 'membawa' dan 'meneruskan' ini, bila terus berulang-ulang akan membentuk sebuah tradisi.
Kesimpulannya, tradisi Perayaan Imlek bukan disebar-luaskan ke penjuru dunia, melainkan masih dijalankan hingga kini dan diteruskan kepada orang-orang terdekat. Kalaupun sampai dirayakan di seberang laut dan benua, berarti agen(-agen)nya mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk berpindah dengan jarak yang lebih jauh dari agen tradisi lain.
Kini di San Francisco Perayaan Imlek tidak lagi dimonopoli komunitas masyarakat Kanton. Banyak kelompok lain di dalam masyarakat, tanpa pandang latarbelakang budaya, semua bisa ikut tumpah dalam kemeriahan.Â
Hal ini dimungkinkan oleh sifat alaminya tradisi Perayaan Imlek, yang diturunkan kepada orang-orang terdekat, dan bukan dipaksakan ke pada kelompok budaya lain.
Perayaan Imlek di dalam ruang keluarga di kota ini tentu tidak sama seperti di belahan dunia lain. Lumrah berkembang demikian, karena sebuah budaya mampu melakukan penyesuaian dalam mempraktekan tradisinya, demi merespons perubahan kondisi sosial dan geografis tanpa harus merubah inti sari dari budaya itu sendiri. Hari Raya Tahun Baru ini sangat erat hubungannya mengenang para leluhur dan pendahulu, maka nuansa kekeluargaan akan berasa lebih kental.
Maka, sama seperti di belahan dunia lain Perayaan Imlek tetap sering dimulai dengan kumpul bersama keluarga, lalu di kota ini disesuaikan prakteknya. Kalau menurut tradisi, kumpul bersama keluarga biasanya terpusat di rumah orangtua.Â
Kini tradisi ini sudah banyak dilakukan di rumah makan, seperti  rumah makan dim sum, untuk menghemat tempat, waktu dan tenaga. Namun inti dari tradisi tetap terpenuhi, yaitu keluarga berkumpul bersama.
Sebagai catatan penting di sini, bahwa dalam Perayaan Imlek ada banyak lagi ragam penyesuaian di dalam keluarga, jadi contoh di atas adalah satu dari sekian banyak penyesuaian.
Di luar budaya, Perayaan Imlek juga mempunyai motif sosial. Maksudnya di sini bukan sifat kedermawanan yang kebanyakan dipersepsikan miring. Seperti 'bagi-bagi angpao' yang dianggap sebagai kewajiban 'orang berada' untuk berbagi dengan mereka yang 'tidak punya'. Eksesnya orang sering menganggap, bahwa komunikasi antara pemberi dan penerima berlangsung hanya bila ada kepentingan ekonomi.
Motif sosial yang dimaksud di atas berdasar pada azas: menunjukan ide (budaya) sendiri agar dapat dimengerti oleh orang lain, dan (setelahnya) agar dapat paham bagaimana mengerti ide (budaya) orang lain di lingkungannya (lihat: Nassehi - Soziologie, Zehn Einfuehrende Vorlesungen, 2011. Hal: 149f ).
Di San Francisco motif sosial ini dapat dilihat jelas pada saat Parade Tahun Baru Imlek, yang tahun ini jatuh pada tanggal 8 Pebruari. Pesertanya sebagian besar adalah seluruh orang Amerika.Â
Maksudnya, mereka yang secara budaya dan tradisi tidak merayakan Imlekpun turun ke jalan-jalan pusat kota. Tidak terlihat kecanggungan di antara para peserta parade, walaupun sebagian tidak memiliki latarbelakang budaya yang sama. Semua turut bergabung gembira merayakan bersama satu perbedaan budaya dengan tidak membeda-bedakan siapa yang berhak merayakannya.
Tentu saja tidak bisa orang membandingkan antara Indonesia dengan Amerika Serikat satu banding satu, baik struktur ataupun karakter masyarakatnya. Tapi juga sayang untuk dilewatkan begitu saja, bagaimana Perayaan Imlek membumi di San Francisco, menjadi satu bagian tak terpisahkan dalam khazanah budaya masyarakat di sana.
Pendeknya, bahwa di satu sisi satu kelompok bersama perbedaan budayanya berhasil menunjukan, bahwa mereka dengan perbedaannya dapat hidup bersama-sama di tengah-tengah perbedaan lain di dalam satu masyarakat.Â
Di sisi lainnya, dengan menjadikan satu perbedaan sosial budaya sebagai bagian dari keseluruhan, maka dalam hal ini masyarakatnya dapat dikatakan berhasil dalam bermasyarakat dan sekaligus berbudaya.
Jadi ide berbudaya sebenarnya sama sekali bukan mempertahankan standar keaslian. Budaya akan bertahan untuk terus ada di muka bumi ini dengan kemampuan menyesuaikan diri di tengah-tengah perbedaan lainya.
Perlu diingat, globalisasi akan membuka jalur bebas hambatan bagi pertukaran barang dan jasa, dan dengannya lalulintas manusia lebih sering terjadi di atas bumi ini. Bila tidak ingin hanya menjadi pemeran pembantu atau bahkan figuran, maka orang harus mampu menyesuai diri dengan keragaman.
Selain itu, dengan usaha menutup diri agar tidak perlu berubah dan menyesuaikan diri dengan perbedaan, orang akan dengan mudah dijadikan alat bagi kepentingan orang lain.Â
Orang akan dengan segera jatuh hati dengan iming-iming nostalgia indahnya masa lampau, yang sebenarnya tidak mungkin dihidupkan kembali di masa kini tanpa jalan pemaksaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H