Selain sebutan 'pribumi', seperti yang dipaparkan di dalam artikel sebelum ini, ada satu lagi sebutan yang membuat pengertian kebangsaan Indonesia terbelakang. Bila dilihat di dalam keseharian masih banyak orang-orang Indonesia dilabeli dengan status 'keturunan', walaupun menurut KTP atau paspor WNI.
Hampir 75 tahun merdeka, kini Indonesia ikut mengalami era keterbukaan, di mana terbukanya ruang bagi lalulintas dan sirkulasi manusia, uang, barang, dan informasi. Praktis, batas-batas geopolitis mulai kehilangan kekuatannya dan membuat daerah-daerah terpisah menjadi efektif seperti satu komunitas (lihat Clifford - Tracking Diaspora', 1994, Hal. 303).
Dengan itu wilayah semantik kata 'asli' pada masyarakat modern cepat atau lambat akan menghadapi pergeseran makna yang signifikan.
Pergeseran makna ini langsung berpengaruh pada pengertian-pengertian sosial-budaya seperti, primordial, kedaerahan, kesukuan, dan bahkan kebangsaan. Jadi, dalam lingkungan budaya meredupnya makna 'asli' semakin sulit terelakkan.
Di Indonesia makna ini semenjak masa pasca-kolonial berjasa menaikan golongan yang dulu sering disebut 'pribumi', dari dikuasai menjadi berkuasa, dari golongan buruh kasar menjadi golongan eksekutif.
Dengan kekuasaan dalam genggaman, tendensi manusia bisa saja membatasi hak individu atau kelompok golongan yang diperintahnya atas nama stabilitas dan keamanan umum, termasuk hak berbudaya setiap golongan seperti golongan pedagang dan industrialis yang didominasi oleh kaum minoritas dan dianggap bukan Indonesia 'asli'.
Secara umum, paham nasionalisme melalui gerakan penyeragaman' dan sekaligus eksklusifitas' oleh kelompok golongan penguasa pernah diluncurkan demi mencapai tujuan stabilitas nasional.
Lalu bagaimana konsekuensi praktiknya di negeri majemuk dengan banyak perbedaan latarbelakang budaya?
Semenjak identitas sosial budaya lebih sering menjadi medium dalam interaksi antara kelompok dalam masyarakat, kemungkinan berulangnya konflik kepentingan akan meningkat, di mana identitas tersebut saling bertemu di sisi negatif/bertolakan (lihat Fuglerud - Life on The Outside', 1988, Hal. 131). Mekanismenya selalu terbukti dan terulang - cepat atau lambat konflik horizontal akan meruncing ke arah revolusi sosial.
Akarnya diduga bermula dari kurang lebih dari 45 tahun yang lalu saat kita Indonesia mulai mengalami masa sistem budaya sentralisasi; bahwa cermin berbudaya Indonesia itu hanya mempunyai satu standar tunggal yaitu orientasi budaya penguasa.Â
Secara resmi dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila era tahun 80-an murid sekolah dasar dididik untuk toleransi berbudaya antar suku dan disosialisasikan istilah-istilah tabu, yang digolongkan ke dalam unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).