Dua atau tiga hari yang lalu viral sebuah rekaman video amatir di medsos. Video ini direkam di kota Palopo Sulawesi Selatan, berisi cuplikan pengeroyokan satu siswa sekolah dasar.
Diberitakan oleh harian Kompas versi online, bahwa korban MFR (11) seorang murid SD kelas lima ini dipukuli oleh sesama siswa dan murid luar sekolah. Walau sebenarnya sulit sekali mendapatkan rekaman video yang jelas, MFR dapat dipastikan dipukuli ramai-ramai. Ia dibully dengan kekerasan fisik.
Perselisihan ini diakhiri dengan jalan damai antara siswa bersama orangtuanya. Tapi pertanyaannya sekarang, apakah rasa sakit yang diderita MFR akan berakhir di sini?
Sakit fisik cepat atau lambat akan pulih, tapi ingatan pada saat dirinya dianiaya belum tentu selesai dengan jalan damai.
Tidak seperti konflik yaitu perbedaan banyak kepentingan tanpa jalan keluar atau kompromi, bullying adalah perilaku funksional. Maksudnya, satu pihak melalukan aksi bertujuan memaksa pihak lain untuk memberikan pengakuan atas status atau kekuasaan.
Kembali ke korban MFR; ia kemungkinan akan selalu mengingat saat-saat dirinya dibiarkan sendiri tanpa pertolongan. Ia kemungkinan besar akan selalu melihat saat lingkungannya hanya terpaku menonton dirinya dipermalukan sebagai korban yang direndahkan moralnya.
Dalam kasus seperti ini, jelas MFR sudah diincar karena berada di satu lingkungan sekolah untuk dijadikan korban, seperti sebuah proyek percontohan. Artinya pelaku aksi bukan cuma sudah mengenali MFR, tapi juga sudah mengenali lingkungan di mana ia/ mereka akan menjalankan aksinya.
Pelaku bullying adalah mereka yang melihat kesempatan, ruang dan waktu, di mana dan kapan ia/ mereka leluasa untuk menjalankan aksinya.
Tulisan berikut ini akan bebicara seputar kesempatan tersebut di atas. Perhatian utamanya bukan membahas ciri atau macam kesempatan ini, melainkan mencoba mencermati faktor-faktor pendukung dan bagaimana sampai kesempatan ini tersedia. Tujuannya agar dapat mengenali cara, atau paling tidak, untuk mempersempit kemungkinan tersedianya kesempatan ini.
Kesempatan untuk membully ini sering tersedia, memang karena disediakan oleh kepasifan lingkungan. Kalau diambil batasan identifikasi masalah dalam bingkai hubungan antar siswa, maka lingkungan ini adalah siswa-siswa yang menyaksikan aksi itu terjadi. Jadi sikap pasif saja cukup untuk mendukung aksi bullying.
Sekali lagi seperti pernah disinggung di tulisan pertama, bahwa variabelnya bukan hubungan korban dan pelaku. Peristiwa bullying sebaiknya dipandang dari sisi aksi dan negasinya, yaitu 'yang menjalankan aksi' dan 'yang tidak menjalankan aksi', agar terlihat lebih jelas hubungan motiv dan aksi.