Masih segar diingatan kita, seorang William Aditya Sarana disumpah sebagai Anggota Dewan penuh. Tidak pernah disinggung, bahwa anggota berusia muda keberadaanya dihitung 'setengah'.
Namun saat bekerja, terobosannya ditanggapi seperti 'aksi anak kemarin sore cari panggung' atau 'aksi anak baru mau jadi superhero'. Bila dicermati baik-baik, tanggapan ini lebih ditujukan untuk meragukan manusianya, bukan pada aksinya. Efek sampingnya, masyarakat akan memandangnya sebagai manusia di bawah umur - dianggap masih 'setengah manusia'.
Ia baru kehilangan julukan 'anak bawang' dan dianggap setara dengan manusia penuh, sewaktu ia dihadapkan dengan hukum. Seperti saat ia harus bertanggung-jawab penuh saat dirinya dilaporkan ke Dewan Kehormatan DPRD.
Kejadian seperti ini pasti bukan satu-satunya. Bila terus dibiarkan, maka akan rendah angka anak bangsa bertalenta dari yang seharusnya. Akan banyak putra-putri terbaik bangsa layu sebelum berkembang. Ciut mentalnya, karena baru sedikit saja tampil dengan karya sudah diintimidasi ramai-ramai. Kecenderungan untuk tunduk diam sangat mungkin mewabah, karena takut dianggap kualat.
Akibatnya akan terus tumbuh pemahaman, bahwa generasi muda bersuri-tauladan adalah mereka yang pasif dan tidak macam-macam.
Di banyak negara maju generasi muda diangkat mentalnya dengan fasilitas dan perlindungan negara, terutama di bidang pendidikan. Bagi mereka adalah keniscayaan, bahwa kemajuan manusia berawal dari keberanian melakukan terobosan. Modalnya adalah semangat untuk menembus keterbatasan. Modal ini lebih banyak mengalir dalam darah manusia berusia muda.
Akhirulkalam. Mesti disadari, bahwa alaminya kemajuan umat manusia berjalan lewat perubahan sosial. Sebuah proses yang akan terus terjadi; di mana cara baru akan menyempurnakan cara-cara sebelumnya.
Perubahan ini harus terus konstruktif, untuk itu diperlukan ketersediaan sumber daya manusia berkualitas, terutama generasi muda dengan mental, keberanian dan semangat untuk keluar dari keterbatasan.