Di era komputer dan internet saat ini, sepertinya kita berada di lautan informasi yang tak terbatas. Mata kita terus menyapu konten, dan jemari kita terus menggeser layar. Scrolling sekarang menjadi rutinitas sehari-hari. Dengan mengakses konten online, kita dapat mengakses dunia pengetahuan yang luas dan beragam. Namun, di balik kemewahan informasi ini tersembunyi sebuah paradoks yang menantang: apakah kekayaan informasi itu baik atau buruk? Di satu sisi, kita memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi berbagai perspektif dan gagasan dengan satu sentuhan. Dunia pengetahuan menjanjikan demokratisasi informasi tanpa batas. Namun, di sisi lain, kita terancam tenggelam dalam arus informasi yang tak terbendung, di mana kebenaran dan kebohongan bercampur tanpa batas. Martin Gurri menceritakan dalam bukunya berjudul The Revolt of the Public and the Crisis of Authority in the New Millennium (2014) bagaimana internet telah mengubah dinamika otoritas dan kepercayaan. Di era digital, setiap orang dapat menantang keputusan dan pendapat otoritatif. Ini mengurangi kepercayaan terhadap institusi dan otoritas konvensional. Fenomena ini menimbulkan masalah besar bagi dinamika sosial dan demokrasi kita. Bagaimana kita bisa membedakan antara informasi nyata dan fiksi dalam jumlah besar ini? Bagaimana kita dapat menjaga integritas pengetahuan ketika semua orang merasa berhak atas pendapat mereka sendiri, terlepas dari apa yang mereka ketahui atau pahami?
Selain itu, Gurri menyatakan bahwa nihilisme digital telah muncul sebagai akibat dari penyebaran informasi yang cepat dan tidak terkontrol. Otoritas tidak lagi memiliki legitimasi, dan masyarakat percaya bahwa segala sesuatu dapat dipertanyakan. Ada kemungkinan bahwa disinformasi saat ini semakin meningkat sebagai akibat dari teknologi akal imitasi generatif (AI), yang membuat lebih sulit bagi masyarakat untuk membedakan antara informasi nyata dan fiksi. Kebenaran menjadi konsep yang semakin sulit dipahami dan dipertahankan dalam lingkungan informasi yang kacau. Menjaga agensi manusia menjadi tantangan tersendiri di tengah arus informasi yang tak henti-henti ini. Algoritma media sosial seringkali menyempit pandangan kita dan menempatkan kita dalam gelembung pemikiran yang nyaman. Di sini kita harus menggali kembali kebijaksanaan lama yang telah memimpin manusia jauh sebelum era komputer dan internet. Tantangan kita, bagaimanapun, tidak berhenti di sini. AI bukan hanya teknologi; itu adalah agen transformasi budaya yang dapat mengubah cara kita berinteraksi satu sama lain, informasi, dan satu sama lain. Jika kita tidak hati-hati, kita mungkin kehilangan kontrol atas pembuatan dan interpretasi budaya, yang akan berdampak pada demokrasi dan nilai-nilai sosial dalam jangka panjang.
gagasan info-determinisme melalui jurnalisme tak bertanggung jawab dan narasi media sosial memperumit tantangan ini. Info-determinisme adalah gagasan bahwa arus informasi yang besar dan cepat menjadi penentu utama dalam persepsi, perilaku, kebijakan publik (kebijakan yang didasarkan pada virus), dan struktur sosial manusia. Arus informasi sering mengabaikan faktor-faktor tradisional seperti pengalaman langsung, budaya lokal, atau pengetahuan turun-temurun yang memengaruhi tindakan dan pandangan kita. Di era digital, arus informasi yang tak terbatas dan cepat telah menjadi jaring yang mengendalikan kita, bukan sebaliknya. Ini menghalangi upaya untuk mempertahankan agensi manusia dan kontrol. Peran pemerintah dan institusi pendidikan menjadi semakin penting dalam menghadapi masalahmasalah ini. Mereka harus berfungsi sebagai mercusuar yang melindungi proses kognitif, demokrasi, dan dinamika sosial kita sambil membantu kita menavigasi lautan informasi yang bergejolak.
Pemerintah harus proaktif dalam meregulasi lanskap digital dengan membuat kerangka kerja yang mendorong transparansi dan akuntabilitas platform digital. Sementara itu, lembaga pendidikan harus melakukan revolusi dalam kurikulum mereka dengan mengintegrasikan literasi digital ke dalam pendidikan modern. Ini mencakup bukan hanya kemampuan untuk menggunakan teknologi, tetapi juga pemikiran kritis untuk menilai informasi, etika digital, dan bagaimana teknologi memengaruhi masyarakat. Selain itu, "keterampilan manusia" yakni empati, kreatifitas, kemampuan berkolaborasi, dan pemecahan masalah kompleks harus ditanamkan dalam Pendidikan. Dan di era teknologi yang semakin berkembang ini, kita menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan tingkat akal sehat. Meskipun teknologi dan informasi berkembang dengan cepat, kita sering terjebak dalam arus informasi yang tidak akurat, perbandingan sosial yang tidak menyenangkan, dan kecanduan perangkat digital. Untuk alasan ini, penting bagi kita untuk menggunakan teknologi dengan lebih cerdas, menyaring informasi dengan hati-hati, dan menetapkan batasan yang sehat di dunia digital. Agar akal sehat tetap terjaga, mari kita bekerja sama untuk menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata. Kita dapat memanfaatkan teknologi untuk kemajuan tanpa kehilangan kesejahteraan mental kita jika kita memiliki kesadaran dan kontrol diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI