Mohon tunggu...
Siami Khadijah Maysaroh
Siami Khadijah Maysaroh Mohon Tunggu... -

bahwa keberadaan hidup adalah menyatakan kebenaran sebanyak kebenaran yang kita punya.. dan Tuhan telah sediakan kebenaran disetiap kebenaran yang kita temukan!! BarokalLah!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsep Keadilan Dalam Hubungan Relasi Rumah Tangga

3 April 2014   21:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(dalam perspektif peran dan fungsi laki-laki dan perempuan ditinjau dari sisi kontruksi sosial masyarakat)

Keadilan adalah hak semua manusia! Ya.. manusia. Baik dia peremuan ataupun laki-laki, mereka punya hak keadilan yang sama sebagai manusia.

Kita semua sepakat bahwa keadilan harus ditegakan atas upaya pencapaian rasa nyaman menuju sebuah tujuan bersama yaitu kesejahteraan bagi seluruh manusia. Namun kita juga tidak menisbikan realitas atas adanya keberbedaan antara keadilan yang seharusnya ada. Beberapa orang bersepakat bahwa keadilan adalah sebuah bentuk kesamaan yang jelas secara materil antara laki-laki dan perempuan. Sementara beberapa lainnya bersepakat bahwa keadilan adalah adanya sebuah bentuk pemenuhan kebutuhan yang sesuai (berdasarkan pada asas kebutuhan) antara laki-laki dan perempuan. Berangkat dari konsepsi keadilan yang masih berbeda inilah kemudian hadir sebuah kondisi dimana antara laki-laki dan perempuan belum mendapatkan keadilan dalam konsepsi mereka masing-masing.

Hal ini juga terjadi dalam hal perwujudan keadilan dan kesetaraan gender sebagai asas dalam pemenuhan hak asasi manusia, yang ternyata hanya dapat tercapai bila pengetahuan mengenai konstruksi social atau gender, pengalaman ketubuhan perempuan, sudut pandang, kebutuhan dan kepentingan perempuan terintegrasi dalam keseluruhan tatanan pengetahuan. Situasi sosial budaya terkait relasi gender menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin (biologis) diinterpretasi secara sosial melalui mitos sosialisasi, budaya, kebijakan pemerintah, dan hukum serta praktik yang lebih menguntungkan laki-laki, sekaligus tidak adil bagi perempuan, yang antara lain dapat dilihat dari stereotip atau pelabelan negatif, subordinasi, peminggiran atau marjinalisasi, beban majemuk, dan kekerasan berbasis gender yang menjadikan perempuan sebagai korban kebanyakan.

Hal ini kemudian berdampak pada hubunganan relasi Rumah Tangga yang tidak tepat dalam kesepakatan sebuah pandangan, yang seringkali menimbulkan konsep hirarki structural yang menempatkan struktur juga kedudukan masing-masing peran secara berbeda, dan cenderung mengabaikan fungsi bahwa keberadaan kerja-kerja Rumah Tangga adalah untuk mencapai sebuah  visi yang sama, bukan untuk menyatakan dominasi atas satu peran kepada peran lainnya.

Fenomena yang seringkali terjadi hari ini adalah bagaimana penempatan peran dan fungsi seorang ibu atau istri dalam rumah tangga dianggap lebih rendah dari peran ayah atau suami yang bekerja dan mendapatkan upah secara materil dan dianggap sebagai titik ukur dalam pemenuhan kebutuhan Rumah Tangga. Anggapan atas keistimewaan laki-laki sebagai pemilik kuasa tertinggi sebagai seorang pencari nafkah inilah yang kemudian menimbulkan penyingkiran kerja perempuan baik sebagai istri atau ibu. Bahwa kerja perempuan dalam relasi Rumah Tangga disini dianggap sebagai peran kedua karena fungsi domestik yang dijalankannya tidak mendapatkan upah atau gaji secara materil seperti halnya laki-laki.

Namun, mari coba kita evaluasi kembali, bahwa kerja-kerja antara perempuan dan laki-laki dalam hubungan relasi Rumah Tangga disini tidak dapat berdiri sendiri dan dipisahkan begitu saja. Bahwa keduanya adalah sebuah kesepakatan dan komitment untuk membangun sebuah visi atau tujuan secara bersama, bukan perorangan.

Sebuah evaluasi Rumah tangga, menyeret analisa saya pada fenomena menarik mengenai relasi Rumah Tangga. Kesepakatan dalam sebuah bangunan relasi Rumah Tangga ternyata menghadirkan konsepsi keadilan baru dalam konteks relasi Rumah Tangga. Sebuah bangunan yang sederhana namun tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam kontruksi bangunan sebuah relasi tersebut. Konsep sederhana tersebut saya analogikan dalam sebuah cerita berikut:

Bahwa setiap bulan, Saya anggaplah sebagai seorang suami menyerahkan hasil kerja saya dikantor kepada istri saya. Dan saya katakana kepada istri saya, bahwa ini adalah gaji kita ma. Meski hanya saya yang secara fisik hadir dan bekerja dikantor sedangkan istri saya dirumah. Namun ini adalah hasil kerjasama kami sebagai relasi Rumah Tangga. Karena begini, kalo saya tidak dibantu oleh istri saya dalam menyelesaikan urusan rumah seperti memasak sarapan sebelum saya kekantor, memncuci baju yang saya gunakan untuk kekantor atau kerja-kerja domestic lainnya, maka saya jelas tidak bisa kerja kekantor sehingga dapat menghasilkan uang atau gaji seperti ini.

Sebenarnya ini adalah gambaran dari sebuah impian saya tentang sebuah bangunan relasi Rumah Tangga. Karena secara tegas saya menolak konruksi sosial masyarakat hari ini mengenai Ibu Rumah Tangga. Status Ibu Rumah Tangga selama ini dianggap sebagai status yang tidak berstatus, maksusdnya diabaikan dan tidak dianggap penting oleh masyarakat. Padahal bisa kita lihat dari analogi yang saya gambarkan sebelumnya, bahwa setiap anggota Rumah Tangga membangun keberdayaan!, artinya tidak hanya keberdayaan diri sendiri sebagai suami atau istri yang digunakan namun kerjasama atas keberdayaan tersebutlah yang menciptakan keadilan dalam sebuah relasi Rumah Tangga.

Dapat kita temukan sebuah simpulan bukan? bahwa kita seharusnya membangun sebuah konsepsi keadilan pada sebuah relasi suatu Rumah Tangga, yaitu dalam bentuk kerjasama antara seorang suami dengan seorang istri dalam hal kesepakatan pemenuhan kebutuhan Rumah Tangga. Konsep yang terbangun adalah bukan mengenai hak pribadi antara laki-laki dan perempuan, namun yang terbangun adalah sebuah konsep pemenuhan hak bersama dalam relasi hubungan Rumah Tangga sebagai suami dan istri tanpa mengabaikan hak laki-laki dan perempuannya sebagai manusia yang dalam hal ini memiliki kebebasan dan hak atas penghargaan kerja dan hak sebagai manusia yang memiliki peran fungsi masing-masing dalam eksistensinya sebagai manusia untuk mencapai tujuan bersama yang mensejahterakan kedua-duanya. Bukan hanya laki-laki. Bukan juga hanya perempuan semata.

Keadilan relasi Rumah Tangga, ada soal pembagian ruang kerja atas dasar kesadaran diri laki-laki dan perempuan. Maka perlu disadari bangunan kesadaran yang digunakan adalah sebuah bangunan kesadaran yang berkeadilan dan berkesetaraan.

Tulisan ini didedikasikan untuk mereka para perempuan yang memilih peran dirinya sebagai seorang Ibu Rumah Tangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun