Judul: Capitalism vs. Communism: Can They Coexist? China's Economic Miracle Reveals the Answer
Author: Cynthia Aretha
Ketika Paradigma Komunisme Bertemu dengan Realitas Kapitalisme, Sebuah Kontradiksi yang Menarik
Apa yang kamu pikirkan ketika pertama kali mendengar kata 'komunis'? Mungkin sebagian dari kita akan mengasosiasikan kata itu dengan memori sejarah yang cukup kompleks dan sensitif bagi Indonesia pada tahun 1965. Tidak menutup kemungkinan pula terlintas di benak kita adalah 'otoriterisme' pemerintahan Korea Utara yang menutup diri terhadap dunia luar; perekonomiannya dikuasai negara dengan sistem kepemilikan kolektif dan komunal. Namun, ketika melihat China, gambaran itu menjadi sedikit bertambah rumit. Terkadang, kondisi perekonomian China yang terus meningkat membuat kita bertanya-tanya, bagaimana negeri tirai bambu yang sarat akan komunisme mampu menjadi salah satu penguasa dan penggerak perdagangan ekonomi dunia?
Di tengah gejolak dan persaingan ekonomi global, Partai Komunis China memperlihatkan langkah-langkah yang tak terduga dengan menyokong sistem kapitalisme. Ironis, bukan? Bagaimana sebuah negara dengan ideologi komunis mampu merangkul pasar bebas, menjadi salah satu negara yang disegani di Asia, dan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia? Pertanyaan itu menghadirkan misteri yang menarik dan menantang. Apakah komunisme dan kapitalisme benar-benar tidak dapat berdampingan, ataukah China menawarkan paradigma baru yang memperkaya keduanya secara bersamaan?
Transformasi Ekonomi China: Dari Maoisme menjadi 'Sosialisme dengan Karakteristik China'
Sejarah China dalam mencapai sistem ekonomi saat ini cukup berliku. Pada awal abad ke-20, Partai Komunis China (PKC) mulai berkuasa setelah Mao Zedong memimpin China mulai tahun 1947. PKC kemudian mengadopsi sistem ekonomi Uni Soviet dan mengandalkan industri berat (James Gethyn Evans, 2021). Kemudian setelah mengalami perpecahan dengan Uni Soviet, Mao mengembangkan interpretasi baru terhadap paham tradisional Marxisme-Leninisme dan terbitlah ideologi Maoisme. Ideologi ini berhasil secara politik, tetapi gagal secara ekonomi lantaran setidaknya 30 juta rakyat China pada masa itu mati kelaparan. Â
Kegagalan Maoisme dalam konteks ekonomi di China menciptakan 'Bencana Kelaparan Besar' tahun 1959 -- 1961 (James Gethyn Evans, 2021). Terlebih lagi periode kelaparan ini dapat diatribusikan kepada beberapa faktor: kebijakan kolektivisasi pertanian yang mengurangi insentif individu; kebijakan pertanian yang tidak tepat seperti 'Gerakan Besar ke Depan' (Great Leap Forward - ); pemaksaan pengumpulan hasil pertanian yang menyebabkan kelaparan di banyak wilayah, ketidakstabilan politik yang mengganggu produksi dan distribusi pangan; serta ketidakmampuan pemerintah untuk merespons krisis dengan cepat dan efektif (Maoism: A Global History in SearchWorks Catalog, 2019).
Kemudian setelah Mao wafat, Deng Xiaoping berusaha menata kembali perekonomian China. Ia sebenarnya mengadopsi sistem ekonomi pasar yang kemudian dibungkus rapi dengan nama 'Sosialisme dengan Karakteristik China' (Communism: In China, 2024)--sebuah sistem ekonomi campuran yang memadukan elemen sosialis dan kapitalis. Mulai tahun 1978, Deng Xiaoping, pemimpin China pasca-Mao, membuka pintu bagi pasar bebas dan investasi asing. Meskipun tetap mengklaim diri sebagai negara komunis, China merangkul liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan ekspor dalam produksinya.Â