Usaha kolektif telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam memenuhi ketahanan pangan yang inklusif kepada setiap penduduk di berbagai belahan dunia. Walaupun demikian, tren penduduk yang mengalami malnutrisi secara global meningkat di tahun 2019 relatif dari tahun 2018; dari 671.1 juta menjadi 687.8 juta penduduk. Dengan menambahkan dampak pandemi Covid-19, diproyeksikan terjadi peningkatan 83 hingga 132 juta penduduk yang mengalami malnutrisi di berbagai wilayah dunia (FAO, IFAD, UNICEF, WFP and WHO, 2020). Perluasan lahan pertanian saat ini bukan menjadi alternatif yang berkelanjutan untuk terus menjaga stabilitas pasokan pangan, mengingat adanya trilemma atas penggunaan lahan antara pertanian, lingkungan hidup (termasuk hutan), dan kawasan terbangun permukiman dan bisnis (Ritchie dan Roser, 2019). Ditambah, populasi penduduk dunia diproyeksikan akan mencapai 9,7 miliar di tahun 2050 (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, 2019) dan mengindikasikan adanya kebutuhan pangan, lahan pemukiman, dan kebutuhan primer lain yang lebih banyak. Sektor pangan, terutama dari sisi penawaran, tampaknya akan mendapatkan tantangan yang berat dalam beberapa dekade ke depan.
Di saat terjadi kondisi malnutrisi akibat kerawanan pangan, banyak wilayah di dunia mengalami fenomena food loss dan food waste, yaitu kondisi terdapatnya produk pangan dari pertanian yang terbuang sia-sia (penurunan kuantitas dan kualitas) dari rantai produksi hingga konsumsi pangan karena berbagai faktor, seperti teknologi dan perilaku manusia. Secara lebih spesifik, Food and Agricultural Organization (2019) mengklasifikasikan food loss sebagai fenomena penurunan kuantitas dan kualitas pangan yang terjadi pada rantai pasok pangan, terkecuali pada tingkatan akhir (retail, penyedia jasa makanan, konsumen). Food loss secara umum diakibatkan oleh keputusan dan perilaku yang dilakukan oleh produsen. Di sisi lain, food waste merupakan fenomena yang sama, tetapi terjadi akibat keputusan dan perilaku yang dilakukan oleh konsumen atau retail dan penyedia jasa makanan yang mempengaruhi perilaku konsumen. Kondisi demikian menunjukkan adanya disparitas yang besar diantara penduduk dunia dalam mendapatkan akses kebutuhan pangan. Di samping itu, hal ini menimbulkan inefisiensi di dalam pasar karena keberadaan sumber daya yang terbuang tanpa menghasilkan nilai tambah dalam perekonomian.Biaya yang timbul akibat food loss dan food waste telah membawa diskursus yang menarik ke permukaan. Â Tulisan ini akan memberikan perspektif mengapa terjadi kegagalan pasar dalam fenomena food loss dan food waste yang menyebabkan inefisiensi dan disparitas sektor pangan yang terjadi saat ini, termasuk efek-efek yang ditimbulkan akibat terjadinya fenomena ini di dalam kehidupan masyarakat global.
Mengapa Terjadi Kegagalan Pasar?
Tidak perlu jauh-jauh untuk menganggap food loss dan food waste sebagai sebuah kegagalan pasar. Pada ranah yang lebih luas, Rocha (2007) berpendapat bahwa kejadian kerawanan pangan sendiri, sebagai akibat dari adanya eksternalitas dan barang publik dalam produksi dan distribusi pangan, merupakan bentuk dari kegagalan pasar. Pernyataan ini bersandar pada suatu argumentasi bahwa aktivitas produksi pangan (pertanian) telah menyebabkan masyarakat membayar biaya yang lebih besar daripada benefit sosial yang didapatkan. Dalam konteks ini, sektor pertanian bersama-sama dengan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya menyumbang 24% kontributor emisi gas rumah kaca dan berada di posisi kedua terbesar di dunia (US EPA, 2021). Biaya emisi gas rumah kaca yang ditanggung cukup besar pada lingkungan, seperti fenomena pemanasan global, kenaikan permukaan air laut, hingga kejadian anomali cuaca seperti El Nino dan La Nina. Efek-efek perubahan iklim ini akan berbentuk sirkuler, yaitu kondisi perubahan iklim yang disebabkan oleh pertanian dan berdampak pada pertanian pula dan kesejahteraan manusia (Nelson dkk., 2009). Pertanyaan selanjutnya muncul secara konsekutif. Apakah dengan menambah kapasitas produksi pertanian untuk kebutuhan pangan mampu menurunkan prevalensi malnutrisi penduduk di dunia? Jika benar, mampukah penduduk yang sehat, melalui kebutuhan nutrisi yang baik, menjadi produktif ketika terjadi efek samping produksi pangan pada perubahan iklim? Pertanyaan demikian akan membawa diskusi penting pada terminologi eksternalitas negatif pada sektor pangan yang menyebabkan pasar gagal mengalokasikan sumber dayanya secara efisien.Â
Rossen dan Gayer (2010) mendefinisikan eksternalitas sebagai biaya atau benefit yang terjadi ketika sebuah aktivitas dilakukan oleh entitas ekonomi mempengaruhi langsung kesejahteraan entitas lainnya yang terjadi di luar mekanisme pasar. Dengan kata lain, pasar tidak mampu mengakomodasi perubahan kesejahteraan ini sehingga menimbulkan efek positif atau negatif bagi entitas yang terdampak. Dalam konteks food loss dan food waste, mekanisme yang terjadi secara jelas telah merepresentasikan kejadian eksternalitas negatif yang tidak mampu ditangani secara efisien melalui mekanisme pasar. Fenomena food loss bagi produsen tidak disadari sebagai sebuah kerugian besar karena dianggap efek  kerugiannya masih lebih kecil dari efek keuntungannya. Hal ini terjadi secara kolektif bagi setiap produsen sehingga akumulasi efek kerugiannya menjadi besar dalam pasar. Produsen secara individu tidak memiliki insentif untuk mengurangi efek marginal kerugiannya karena adanya indikasi peningkatan biaya produksi yang dihadapi produsen. Secara langsung, peningkatan biaya produksi akan menyebabkan penurunan profit yang didapatkan oleh produsen.  Maka, tidak akan ada perubahan perilaku produsen untuk memasukkan biaya penanganan food loss selama tidak ada insentif baginya untuk melakukan.Â
Demikian pula terjadi pada konteks food waste. Dalam perspektif retail dan penyedia jasa makanan, mekanisme yang terjadi sama dengan yang dialami oleh produsen. Hal ini dapat diasosiasikan sebagai peningkatan biaya pada distribusi dan pengolahan, seperti teknologi penyimpanan hingga teknik produksi yang dilakukan dan secara langsung akan berpengaruh pada profit yang didapatkan oleh agen ekonomi tersebut. Tidak ada insentif yang didapatkan oleh agen ekonomi untuk mereduksi food waste dalam proses distribusi dan pengolahan---kasus yang sama dengan food loss. Kondisi ini akan terus terjadi selama biaya yang dikeluarkan oleh agen ekonomi dianggap tidak menguntungkan dan mengurangi surplus  yang didapatkannya. Â
Konteks biaya untuk reduksi food loss dan food waste diidentifikasikan tidak termasuk ke dalam biaya privat marginal (biaya untuk memproduksi tambahan satu unit output dalam produksi---biaya produk marginal) akibat tidak adanya insentif yang mendorong produsen dan distributor untuk melakukannya. Akibatnya, food loss dan food waste menjadi biaya marginal eksternal yang muncul dan ditanggung oleh masyarakat sebagai sebuah dampak yang merugikan. Kondisi produksi pada titik terjadinya biaya marginal eksternal dinilai tidak mencerminkan biaya yang secara sosial dianggap efisien. Hal ini mendorong adanya konsep biaya sosial marginal yang merupakan penjumlahan antara biaya privat marginal dan biaya eksternal. Biaya sosial marginal mengakomodasi kedua biaya yang terjadi, tetapi dengan konsekuensi adanya penurunan output dalam produksi agar mencapai produksi output yang efisien secara sosial. Pendekatan ke arah biaya sosial marginal ini akan menggunakan instrumen pajak dan subsidi kepada produsen---sering disebut sebagai Pigouvian Tax dan Subsidy. Pajak dan subsidi ini dikenakan pada objek yang menyebabkan terjadinya eksternalitas negatif; kasus sama seperti polusi.
Kegagalan pasar yang terjadi dalam fenomena food loss dan food waste telah jelas memberikan dampak yang luar biasa bagi perekonomian. Â Menurut FAO (2009), sekitar sepertiga dari bagian produk pangan yang layak konsumsi manusia telah disia-siakan tanpa adanya nilai tambah bagi kesejahteraan penduduk dunia. Nilainya ditaksir mencapai 1,8 miliar ton per tahun. Nilai ini setara dengan usaha pemberian makanan layak bagi jutaan orang di seluruh dunia. Apabila ditarik lebih jauh, benefit pertumbuhan ekonomi suatu wilayah secara tidak disadari mengalami ketidakmerataan sebagai respon jangka panjang atas kejadian food loss itu sendiri dan terjadi di wilayah Asia (The Economist, 2014). Biaya peluang yang ditimbulkan sangat besar dan terjadi pada 5 hal, yaitu hilangnya (hampir) seluruh kesempatan kesejahteraan melalui ketahanan pangan, kebutuhan nutrisi, keamanan pangan, dan peluang pekerjaan atau pendapatan, dan keberlanjutan lingkungan (IFAD, 2019). Dari sisi food waste, Tonini, Albizzati, dan Astrup (2018) menyebutkan bahwa kejadian tersebut telah memberikan dampak terhadap pemanasan global, alih fungsi lahan, dan kenaikan jejak karbon (carbon footprint) yang signifikan dibandingkan studi terdahulu. Sekali lagi, efek-efek domino akibat kegagalan pasar melalui fenomena food loss dan food waste telah memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan manusia.
Berangkat dari diskursus kegagalan pasar di dalam sektor pangan, problematika food loss dan food waste ini telah membawa perspektif baru dalam usaha meningkatkan ketahanan pangan global saat ini. Guncangan pasar akibat pandemi telah menjadi motivasi yang kuat melatarbelakangi usaha tersebut, khususnya pada isu penurunan prevalensi malnutrisi penduduk dunia akibat adanya disparitas persebaran produk pangan yang terjadi saat ini. Intervensi pemerintah diperlukan untuk mengembalikan kondisi pasar pada kondisi yang pareto efficient. Tulisan ini diakui belum secara komprehensif membahas mekanisme transmisi kebijakan pemerintah terhadap penurunan food loss dan food waste di pasar dan perspektif food waste dari sisi konsumen. Namun, setidaknya telah memberikan gambaran urgensi usaha penurunan food loss dan food waste sebagai bentuk kegagalan pasar dan perlunya intervensi pemerintah untuk menciptakan pasar yang efisien dan kompetitif.