Krisis ekonomi tahun 1998 telah membuat pekerja formal melakukan informalisasi terhadap dirinya sendiri. Mereka membuka usaha-usaha mikro kecil dan menengah, yang cenderung memiliki karakter seperti berteknologi sederhana, berbahan baku lokal, bermodal relatif kecil, dan kemudahan beroperasi (Setiawan, 2020).Â
Fleksibilitas tersebut membuat mereka tumbuh subur tanpa bergantung pada kredit perbankan. Bahkan, industri furnitur yang sebagian besarnya diproduksi di rumah justru mendapatkan untung melimpah disebabkan produknya menjadi lebih berdaya saing di pasar (Sande & Diermen, 2004).Â
UMKM kemudian disebut-sebut menjadi penyelamat pada krisis 1998, sebab perannya sebagai katup pengaman, dinamisator, dan stabilisator perekonomian negara (Singgih, 2006). Meskipun demikian, keberadaan UMKM sesungguhnya rentan. Bagaimana tidak, rendahnya keuntungan, minimnya kekuatan untuk akumulasi modal, hingga perlindungan yang minim, membuatnya hanya mampu subsisten.Â
Di sisi lain, sektor informal sebenarnya tidak hanya UMKM, tetapi juga pekerja informal, pedagang pasar gelap, pengangguran, dan lain-lain. Karl Marx (1976) mengatakan bahwa sektor informal (dalam arti luas tidak hanya UMKM) dapat pula disebut sebagai tentara cadangan pekerja (TCP). Mereka adalah kelas sosial yang terlempar dari sarana produksinya sendiri karena proses ekspansi akumulasi kapital (Harvey, 2003).Â
Hal tersebut membuat mereka rentan sebab hanya satu-satunya yang tersisa, yaitu tenaga. Alhasil, mereka harus mengantri di depan sektor formal untuk membenahi kelayakan kehidupan. Mereka semakin terhimpit ketika pemerintah berpihak pada kapital, semacam menerapkan kebijakan dengan pondasi pasar bebas (Novianto, 2017). Kebijakan tersebut dapat berupa fleksibilitas tenaga kerja, yang hanya akan membuat antrian masuk pada sektor formal semakin panjang.
TCP kemudian bertahan hidup sedemikian rupa dengan berbagai cara. Salah seorang buruh kayu yang saya wawancarai mengalami keadaan yang demikian. Kondisi kerjanya yang buruk seperti lembur tanpa gaji, tidak adanya tambahan upah di masa pandemi membuatnya ingin melawan. Namun sebab lapangan kerja yang sempit serta tingginya persaingan, ia hanya bisa pasrah. "Bagaimana lagi mas, sebab cari kerja sedang susah-susahnya," jelasnya (Pradana, 2020). Adapun yang mendirikan UMKM, namun kerentanan membuatnya sulit bertahan. Kondisi yang demikian sudah selayaknya dipahami oleh pemerintah.Â
Rimawan Pradiptyo dalam diskusi Ekonomi Informal yang diselenggarakan Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Equilibrium FEB UGM September 2020 lalu berpendapat bahwa pemerintah dapat memajaki UMKM untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, hal tersebut seolah-olah melupakan kerentanan UMKM.Â
Ekonom neoklasik kemudian mengatakan bahwa industrialisasi berbasis pasar bebas adalah solusinya. Sebab dengan pasar bebas, tiap individu diasumsikan berlaku rasional sehingga bisa membuat keputusan yang terbaik agar terhindar dari kemiskinan. International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) kemudian membentuk model Structural Adjustment Programs (SAPs) yang membuat negara harus melakukan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi dengan harapan pertumbuhan ekonomi meningkat.Â
Namun Ben Fine, setelah 30 tahun penelitiannya di Afrika Selatan, menangkap bahwa model SAPs allowed for tanpa pertumbuhan dan instabilitas. Tidak hanya itu, SAPs tidak membatasi ekspansi dan eksploitasi industri, bahkan memanjakannya (Zoomers, 2010). SAPs kemudian meningkatkan surplus tenaga kerja (TCP) di Indonesia (Habibi, 2016). Terlebih lagi, Indonesia juga mengalami deindustrialisasi prematur karenanya (Tadjoedin & Chowdury, 2019).Â
Kalangan Marxis kemudian berargumen bahwa industrialisasi berbasis reforma agraria (state-led land reform) dapat digunakan untuk mengurangi sektor informal. Sebab, reforma agraria adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan sumber-sumber agraria, terutama untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan untuk proses industrialisasi nasional (Setiawan, 2008).Â
Kemudian, akumulasi keuntungan pada agrikultur dapat digunakan untuk membiayai pembangunan industri manufaktur dan pembangunan industri tambang (Yaffe, 2009). Lapangan pekerjaan pun akan terbuka, lagi.Â