Oleh: Kezia Aquiletta (Ilmu Ekonomi 2018), Staf Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM
Tete-a-tete didefinisikan sebagai percakapan informal antara dua individu yang bersifat pribadi. Mengapa dikatakan terjadi krisis? Lihatlah sekelilingmu. Kebanyakan informasi yang disebarluaskan saat ini bersifat cukup personal, contohnya fluktuasi emosi.Â
Tidak hanya itu, beberapa inovasi teknologi akhir-akhir ini menghapus esensi dari kegiatan "berbincang". Baik perbincangan secara langsung maupun tidak langsung, seperti chatting melalui platforms media sosial. Hal-hal yang umum dibicarakan antarindividu adalah pertanyaan-pertanyaan 5W+1H: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana.Â
Dewasa ini, mayoritas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlu lagi dijawab oleh narasumber, tetapi sudah terjawab melalui inovasi-inovasi teknologi tersebut.Â
Contohnya, ketika ingin menanyakan lawan bicara mengenai apa yang sedang mereka lakukan atau di mana mereka berada, kita bisa dengan mudah membuka update media sosialnya tanpa harus melontarkan pertanyaan tersebut secara langsung. Lantas, masih perlukah komunikasi secara tatap muka diadakan antarmanusia?
Dalam Theory of Good Old Chicago School Economics McCloskey, dijelaskan bahwa untuk teori-teori ekonomi secara umum dapat bekerja, dibutuhkan kondisi di mana seluruh interaksi manusia ditentukan oleh mekanisme pasar (Emmett, 2012: p.783) sehingga percakapan-percakapan antarmanusia seolah-olah tidak dibutuhkan.Â
Knight (1999) pun mendukung hal tersebut dengan pernyataannya bahwa agen-agen ekonomi (The Economic Man) tidak terlalu menggubris interaksi-interaksi antarmanusia serta menggantungkan seluruh hasil kegiatan yang dilakukan pada keberlangsungan hukum pasar. Selain McCloskey dan Knight, Adam Smith dan Elinor Ostrom pun membahas esensi "berbicara" dalam ekonomi (Emmett, 2012: p.784). Tulisan ini akan berfokus pada argumen Adam Smith yang dikemukakannya dalam Theory of Moral Sentiments.
Moralitas dan Makna Sentimennya
Setelah mengetahui pendapat-pendapat tersebut, bayangkan jika kehidupan berkeluarga tidak diisi dengan percakapan. Mari kita mulai dari hal-hal yang familiar dalam kehidupan sehari-hari: ayahmu tidak perlu menanyakan pukul berapa beliau perlu mengantarmu ke sekolah. Baik, mungkin jadwal tetap harian setiap anggota keluarga sudah diketahui (kemungkinan besar ditempel di pintu kulkas).
 Akan tetapi, bagaimana jika suatu saat daerah sekolahmu dilanda banjir dan kegiatan belajar mengajar terpaksa ditiadakan hanya untuk hari itu saja. Kamu sudah mengetahui hal tersebut dari malam sebelumnya oleh karena hujan yang berlangsung semalaman dan teman-temanmu telah mengunggah status yang mencerminkan kegirangan mereka akan situasi terkini sekolah yang kebanjiran sehingga sekolah secara otomatis ditiadakan.Â
Bagaimana dengan ayahmu? Tanpa memberitahunya, ayahmu akan tetap bangun pagi untuk mengantarmu ke sekolah. Tanpa mengabarkannya, ayahmu akan menunggumu keluar dari kamar, sedangkan kamu sedang menikmati waktu tidur tambahan. Tanpa menyampaikannya, ayahmu berpotensi terlambat berangkat ke kantor karena terlalu lama menghabiskan waktu untuk menunggumu bangun tidur. Menyedihkan, betul?Â