Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menilik Sektor Energi Indonesia dari Aspek Politik, Ekonomi, Lingkungan, dan Kesehatan (Seri 2)

23 Mei 2019   19:17 Diperbarui: 23 Mei 2019   19:44 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA FEB UGM dan Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UGM

Indonesia dan Minyak Kelapa Sawit: Cerita di Balik Kesuksesannya

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia merupakan salah satu negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, di samping Malaysia. Peringkat antara keduanya tidak selalu setara sebab Indonesia berhasil mengalahkan Malaysia pada tahun 2007 (World Growth, 2011) (Gambar 1). Walaupun Indonesia telah mendahului peringkat Malaysia, kedua negara berkontribusi bersama-sama dalam memproduksi 85% dari minyak kelapa sawit di seluruh dunia (Accountability Counsel, 2017).

dokpri
dokpri

Cheng Hai Teoh (2010) dalam tulisannya yang berjudul "Key Sustainability Issues in the Palm Oil Sector" mengatakan bahwa penanaman komersial tumbuhan kelapa sawit berpusat di Kongo, Malaysia, dan Indonesia pada awal abad ke-20. Yang menarik adalah bagaimana daerah yang tertanam kelapa sawit di Indonesia bertumbuh sebesar 23 kali lipat pada akhir tahun 2009 (Gambar 2). Peningkatan tersebut membantu Indonesia menjadi salah satu pemasok pasar minyak kelapa sawit terbesar yang telah bertumbuh lebih dari 9 kali lipat sejak tahun 1980 sampai 2009. Hal tersebut dapat disebabkan oleh biaya produksi minyak sayur Indonesia yang paling rendah di seluruh dunia (Larson, 1996). Akan tetapi, apakah itu saja penyebabnya?

dokpri
dokpri

Sejak tahun 1965, World Bank telah menyumbangkan hampir US$1 miliar kepada lebih dari 35 proyek-proyek sektor minyak kelapa sawit dan sekitar 50% dari dana tersebut digunakan oleh Indonesia (Hai Teoh, 2010) (Gambar 3). Pada tahun 1969 sampai 1983, US$500,6 juta tersebut digunakan untuk mendanai 7 proyek. Independent Evaluation Group (IEG) menilai bahwa 5 proyek pertama tersebut tergolong memuaskan, sedangkan 2 proyek selanjutnya tidak. Hal tersebut disebabkan oleh performa buruk agensi-agensi yang terlibat dan kesulitan dalam bidang logistik dan manajemen.

dokpri
dokpri

Selain World Bank, International Finance Corporation (IFC) pun telah bersumbangsih dalam proyek-proyek minyak kelapa sawit Indonesia (Gambar 4). Bantuan dari IFC tersebut mendukung kemunculan kelas perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia yang mengambil alih perkembangan produksi minyak kelapa sawit.

Tidak hanya itu, walaupun terkadang implementasinya tertunda dan perekonomian sangat terpengaruh oleh krisis ekonomi, pemilik-pemilik tanah kecil dapat memperoleh mata pencaharian yang layak dari produksinya. Pelibatan para pemilik lahan menciptakan lapangan kerja dan menurunkan tingkat kemiskinan sehingga sekitar 3 juta dari angkatan kerja terlibat secara langsung dalam industri minyak kelapa sawit, berdasarkan lembaga Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

dokpri
dokpri

Sisi pandang yang positif berdasarkan pendapatan dari penjualan minyak kelapa sawit membuat Pemerintah Indonesia menargetkan negaranya untuk menjadi "produsen minyak kelapa sawit bertahan yang terbaik di dunia". Untuk mencapai target tersebut, perlu diproduksi 40 juta ton minyak kelapa sawit sebelum tahun 2020 (Jiwan, 2009). Greenpeace (2009) mengestimasi bahwa target produksi membutuhkan penanaman minyak kelapa sawit tahunan pada 300.000 hektar tanah tambahan. Bagaimana kita dapat mencapainya?

Salah satu kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia, pada tahun 1996, untuk memengaruhi harga-harga domestik minyak kelapa sawit adalah pajak ekspor (Larson, 1996). Pajak tersebut ditetapkan saat harga FOB mencapai US$435/ton dan penerimaan keuntungan ditargetkan, secara khusus, di atas rata-rata.

Terkait kebijakan tersebut, melalui model permintaan ekspor untuk periode 1994-2007, Wiguna (2009) menemukan bahwa kebijakan pajak ekspor memiliki dampak yang negatif terhadap permintaan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil) dengan peningkatan 1% pada keefektifan pajak diprediksi akan mengurangi 0,3% ekspor CPO Indonesia. Wiguna (2009) serta Setiaji (2013) juga menemukan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dari negara-negara importir memiliki pengaruh paling besar terhadap permintaan ekspor CPO. Wiguna menjabarkan bahwa penambahan 1% dari PDB per kapita negara-negara tersebut diperkirakan dapat meningkatkan ekspor CPO Indonesia sebesar 5,05%.

Hai Teoh (2010) menyampaikan bahwa tantangan teknis dalam aspek ekonomi industri minyak kelapa sawit yang dapat Indonesia hadapi adalah kerenggangan produksi.

Progres yang mengesankan telah terjadi dalam peningkatan potensi genetik produksi minyak kelapa sawit, tetapi pada kenyataannya, produksi dan produktivitas nasional minyak tersebut telah bersifat stagnan dari tahun 1975: antara 3 sampai 4,4 ton per ha (Tinker, 2000). Indonesia pun tidak luput dari observasi Tinker tersebut dengan produksi rata-rata sebesar 3,51 ton minyak per ha pada tahun 2008 (Rosediana Suharto, 2009). Namun, tantangan tersebut membuka kesempatan baru bagi Indonesia, dari Greenpeace, untuk mencapai produksi potensial atas dasar bahwa produktivitas yang meningkat akan mengurangi tekanan untuk membuka tanah baru (Bhui dan Davies, 2009).

Tidak hanya itu, kerenggangan produksi pun terjadi di antara dua produsen utama minyak kelapa sawit di Indonesia sebab terdapat perbedaan yang luas antara produksi perkebunan dan para pemilik lahan kecil. Rosediana Suharto (2009) mengatakan bahwa pada tahun 2008, produksi rata-rata dari para pemilik lahan 35% dan 40% lebih rendah dari produksi perkebunan swasta dan pemerintah, secara berurutan.

Akan tetapi, walaupun perkebunan-perkebunan pemerintah memiliki produktivitas yang lebih tinggi, tidak berarti ia secara otomatis lebih baik dari para pekerja perkebunan swasta dan/atau pemilik lahan kecil. Berdasarkan 2 dari 7 proyek Indonesia dukungan World Bank, oleh karena hasil yang mengecewakan dari agensi-agensi publik, Pemerintah Indonesia mendukung sektor swasta untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Daniel Larson (1996) pun menyetujui keputusan tersebut karena pasar modal domestik yang membaik dan bunga dari para investor asing sehingga industri minyak kelapa sawit tidak lagi membutuhkan insentif-insentif secara langsung.

Indonesia dan Ketergantungan Batu Bara

Grafik 1 menunjukkan persentase produksi kelistrikan yang dihasilkan oleh batu bara. Dari grafik ini, dapat dilihat bahwa dari tahun 1985 sampai 2015 terdapat tren kenaikan persentase produksi listrik dari batu bara, dengan fluktuasi pada beberapa periode waktu. Batu bara mendominasi penyediaan listrik nasional sejak tahun 2012 (51,075%) sampai tahun observasi terakhir.

screen-shot-2019-05-23-at-17-35-53-5ce677e495760e2d545e205c.png
screen-shot-2019-05-23-at-17-35-53-5ce677e495760e2d545e205c.png

Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional (2016) memproyeksikan bahwa dengan skenario business as usual (ditunjukkan oleh garis berwarna biru), pertumbuhan suplai batu bara sepanjang 2015--2050 akan berada pada kisaran 6,9% per tahun. Dengan demikian, penyediaan batu bara akan tumbuh dari 69,2 juta TOE (Tonnes Oil Equivalent) pada tahun 2014 menjadi 743 juta TOE pada tahun 2050.

dokpri
dokpri

Pertumbuhan penggunaan batu bara dalam penyediaan listrik nasional lebih dijelaskan oleh faktor harga batu bara. Harga listrik yang dihasilkan dari batu bara berada di kisaran US$6 sen per kWh, lebih murah dibandingkan harga listrik dari sumber lain yang berada pada rentang US$8 sen sampai US$11 sen per kWh. Regulasi pemerintah ikut membuat harga batu bara menjadi murah.

Salah satunya adalah Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1395 K/30/MEM/2018 yang menetapkan harga jual batubara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebesar US$70 per metrik ton Free On Board Vessel, dengan spesifikasi acuan pada kalori 6,322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8%, Total Sulphur 0,8%, dan Ash 15%.

Di sisi lain, penggunaan batu bara yang diimpor dari luar negeri jauh lebih sedikit dibanding penggunaan batu bara yang diproduksi secara domestik. Hal ini menyebabkan harga batu bara relatif tidak dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar, sehingga keunggulan kompetitif batu bara semakin besar dibanding minyak bumi.

Meskipun produksi batu bara Indonesia cukup besar, besaran cadangan batu bara Indonesia tidak terlalu besar. Bahkan sepanjang tahun 2014 sampai tahun 2015 terdapat penurunan cadangan batu bara. Pada tahun 2015, cadangan batu bara di Indonesia mengalami penurunan dari 32.384,74 juta ton menjadi 32.263,68 juta ton. Pada tahun 2016, cadangan batu bara di Indonesia mengalami penurunan menjadi 28.457,29 juta ton. Di sisi lain, sumber daya batu bara menunjukkan tren kenaikan yang berlangsung terus menerus dari tahun 2012 sampai 2016. Berikut adalah grafik sumber daya dan cadangan batu bara di Indonesia pada periode 2012 sampai 2016.

dokpri
dokpri

Perusahaan Listrik Negara (2018) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi besaran cadangan batu bara adalah perkembangan harga batu bara. Penurunan harga jual batu bara akan mengurangi keekonomian suatu wilayah eksplorasi karena penurunan harga jual pada tingkat tertentu dapat membuat biaya produksi lebih besar daripada pendapatan dari penjualan batu bara.

Dengan demikian, potensi penambangan batu bara yang awalnya tergolong sebagai cadangan tidak bisa dikategorikan sebagai cadangan, tetapi kembali berstatus sebagai sumber daya terukur atau terunjuk. Jika jumlah cadangan batu bara tidak mengalami penambahan, maka dengan mengasumsikan tingkat produksi batu bara sebesar 400 juta ton per tahun setelah tahun 2019, cadangan batu bara di Indonesia diestimasikan akan habis pada tahun 2086.

Energi Terbarukan Sebagai Solusi: Pisau Bermata Dua

Tidak dapat dimungkiri bahwa sumber energi terbarukan seperti air, angin, surya, panas bumi, dan biogas merupakan alternatif yang ramah lingkungan dari sumber energi konvensional seperti batu bara. Sebagai respon atas isu lingkungan seperti perubahan iklim yang kini marak diperbincangkan, tidak mengeherankan apabila negara di berbagai belahan dunia mulai meletakkan sumber energi terbarukan sebagai salah satu prioritas utama dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Pada tahun 2016 lalu, sebanyak 174 negara dan Uni Eropa menandatangani Perjanjian Paris berisi kesepakatan untuk membatasi kenaikan rata-rata temperatur global maksimal di angka dua derajat celcius.

Kesepakatan ini diraih melalui pengurangan energi beremisi karbon sebesar lebih dari 70%, yang hanya dapat dicapai melalui penggunaan energi terbarukan secara masal (UNFCCC, 2017). Tren mengenai kesadaran akan "rusakanya bumi pertiwi" agaknya juga mulai dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia.

Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Bappenas) mengedepankan kerangka kerja Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dengan tujuan untuk mengarahkan pembangunan Indonesia kepada keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Kementerian PPN/ Bappenas, 2019).

Salah satu permasalahan klasik dari penggunaan bahan bakar fosil adalah emisi gas buang. Salah satu emisi gas buang yang paling banyak dihasilkan adalah CO2 (karbon dioksida). Data dari Carbon Dioxide Information Analysis Center (CDIAC) menunjukkan bahwa pada tahun 2014, jumlah gas karbon dioksida yang dihasilkan dunia sudah menembus angka 9,8 miliar metrik ton per tahun.

dokpri
dokpri

Penyumbang terbesar karbon dioksida adalah, tidak lain dan tidak bukan, bahan bakar fosil. Pada tahun yang sama, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) juga mengeluarkan laporan mengenai emisi karbon dioksida. Hasil temuan mereka menyebutkan bahwa 25% dari gas buang yang dihasilkan berasal dari sektor produksi energi listrik dan panas. Selain listrik, sektor lain yang menghasilkan emisi adalah transportasi dengan kisaran 14% dari total emisi gas buang.

dokpri
dokpri

Data yang sama dari IPCC juga menunjukkan bahwa batubara merupakan penyumbang terbesar dalam produksi emisi gas buang. Untuk setiap megawatt jam listrik yang diproduksi dengan batubara, akan dihasilkan lebih dari 400 kg gas emisi CO2. Tidak hanya batubara, namun minyak bumi mentah, dan bahan bakar kendaraan juga menghasilkan emisi karbon dioksida. Baik bahan bakar diesel, non-diesel, bahkan bahan bakar pesawat, menghasilkan emisi CO2 di kisaran 200 kg, untuk setiap megawatt jam tenaga yang diproduksi. Kadar CO2 yang berlebih dapat menimbulkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri adalah kondisi ketika panas dari matahari terperangkap di bumi karena tingginya konsentrasi CO2. hal ini apabila terus terjadi akan menyebabkan kenaikan suhu bumi dalam skala global, dan menuntun kita menuju pemanasan global (NASA, 2019).

Sumber daya terbarukan dapat menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas CO2 karena sumber energi terbaharui seperti panel surya, angin, dan hydropower menghasilkan emisi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Dengan menggunakan sumber energi terbarukan untuk pemenuhan sektor energi listrik dan transportasi, jumlah gas emisi dapat dikurangi dan memperkecil efek rumah kaca, yang merupakan salah satu penyebab terjadinya global warming.

dokpri
dokpri

Selain berdampak langsung mengurangi emisi karbon, penggunaan sumber energi terbarukan mampu menciptakan lapangan kerja baru. Berdasarkan laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA), pada tahun 2018, telah terjadi kenaikan penerimaan tenaga kerja global di bidang sumber energi terbarukan pada periode 2012-2017 sebesar 44,81%.

 Pertumbuhan paling tinggi berada di sektor solar photovoltaic atau sektor yang berkaitan dengan bidang riset sel surya. Selain dari segi pertumbuhan, solar photovoltaic juga menjadi sektor teknologi penyedia lapangan pekerjaan terbesar, sekitar 3,3 juta pekerjaan. Sektor ini mengalami pertumbuhan sebesar 147% dari tahun 2012. Sektor lain yang mengalami peningkatan secara pesat adalah bioenergy, yang mengalami kenaikan sebesar 27,5%. Hal ini sejalan dengan paparan World Bank pada 2011.

dokpri
dokpri

Dalam laporan World Bank, disebut bahwa sumber energi terbarukan akan menghasilkan lowongan pekerjaan yang lebih banyak ketimbang sumber energi fosil. Sumber energi terbarukan dapat menghasilkan lebih dari 13 lapangan kerja, untuk setiap US$1 juta yang dikeluarkan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang melibatkan bahan bakar fosil. Hal ini membuktikan bahwa sumber energi terbarukan dapat menjadi solusi dalam menambah lapangan pekerjaan.

Secara global dari tahun 1965 hingga 2016, air (hydropower) merupakan sumber energi yang paling banyak digunakan---mencapai 70%---dibandingkan sumber energi terbarukan lain. Meskipun proporsinya mengalami penurunan dari tahun ke tahun, penggunaan air sebagai sumber daya energi masih terbesar dibandingkan sumber lain. Pada tahun 2016, tercatat bahwa konsumsi global energi bertenaga air sebesar 4022,94 terrawatt-jam disusul oleh angin sebesar 959,53 terrawatt-jam dan selanjutnya oleh solar (Matahari) sebesar 333,05 terrawatt-jam. Akan tetapi, ibarat sebuah pisau bermata dua, sumber energi terbarukan tidak terlepas dari biaya (eksplisit maupun implisit) yang harus ditanggung.

dokpri
dokpri

Di samping menyediakan energi "ramah lingkungan", hydropower sebagai sumber energi terbarukan terbesar juga memberikan eksternalitas negatif kepada lingkungan. Menurut Union of Concerned Scientist (UCS) (t.thn.), eksternalitas tersebut timbul dari infrastruktur hydropower itu sendiri. Energi listrik bertenaga air dihasilkan dari bendungan yang biasanya membutuhkan lahan sangat luas. Lahan yang digunakan kemudian dibanjiri sehingga merusak area perhutanan, habitat margasatwa, atau lahan pertanian jika dibangun di area tersebut (iya pada banyak kasus). Selain itu, turbin yang digunakan untuk menghasilkan listrik juga dapat mengganggu ekosistem akuatik, seperti melukai ikan dan organisme air lainnya. Lebih dari itu, penelitian terkini menunjukkan bahwa selama beroperasi, bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dapat menghasilkan emisi yang signifikan, terutama di wilayah tropis (Union of Concerned Scientist, t.thn.). Emisi life-cycle PLTA diestimasi dapat melebihi 0.5 pon ekuivalen CO2 per kilowatt-jam, tidak bernilai jauh dari emisi gas alami sebesar 0.6 hingga 2 pon ekuivalen CO2 per kilowatt-jam.

Beralih ke sumber energi terbarukan lainnya, Tsoutsos et al., (2005) dalam Gunerhan dan Hepbsali (2008) mengungkapkan beberapa dampak negatif dari upaya untuk menghasilkan energi listri dari solar (Matahari). Pertama, pengaplikasian panel surya pada lahan garapan dapat merusak area produktif lahan. Selain itu, jika diutilisasikan secara masal dapat mengganggu keseimbangan termal yang dapat meningkatkan polusi radiasi dan mengancam burung lewat. Kedua, meskipun tidak mengemisi polutan selama beroperasi, panel surya mengandung bahan-bahan berbahaya seperti cadmium yang dapat tersebar jika terjadi kerusakan sehingga berisiko mengontaminasi tanah dan air tanah.

Oleh karena itu, meskipun sumber energi terbarukan dapat menjadi solusi bagi polemik lingkungan tetapi---bagaikan koin dua sisi---biaya dan manfaatnya perlu ditimbang dengan baik sehingga tujuan untuk menyelamatkan "bumi pertiwi" dapat tercapai, tidak justru menjadi senjata makan tuan.

Referensi:

Accountability Counsel. 2017. The World Bank Group's Framework for Engagement in the Palm Oil Sector.
Bacon, R., & Kojima, M. (2011). Issues in estimating the employment generated by energy sector activities. The World Bank. Retrieved from http://siteresources.worldbank.org/INTOGMC/Resources/Measuring_the_employment_impact_of_energy_sector1.pdf.
Boden, T.A., G. Marland, and R.J. Andres. 2017. Global, Regional, and National Fossil-Fuel CO2 Emissions. Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S. Department of Energy, Oak Ridge, Tenn., U.S.A. doi 10.3334/CDIAC/00001_V2017.
Hai Teoh, Cheng. 2010. Key Sustainability Issues in the Palm Oil Sector.
Hannah Ritchie and Max Roser (2019) - "Renewable Energy". Published online at OurWorldInData.org. Retrieved from: 'https://ourworldindata.org/renewable-energy' [Online Resource].
IPCC, 2014: Climate Change 2014: Mitigation of Climate Change. Contribution of Working Group III to the Fifth Assessment Report of the

Intergovernmental Panel on Climate Change [Edenhofer, O., R. Pichs-Madruga, Y. Sokona, E. Farahani, S. Kadner, K. Seyboth, A. Adler, I. Baum, S.

Brunner, P. Eickemeier, B. Kriemann, J. Savolainen, S. Schlmer, C. von Stechow, T. Zwickel and J.C. Minx (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
IRENA (2018), Renewable Energy and Jobs - Annual Review 2018, International Renewable Energy Agency, Abu Dhabi.

Kementerian PPN/ Bappenas. (2019). Dengan Pembangunan Rendah Karbon, Menteri Bambang Optimis Capai Pertumbuhan Ekonomi Tahunan 6 Persen. Retrieved from https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/dengan-pembangunan-rendah-karbon-menteri-bambang-optimis-capai-pertumbuhan-ekonomi-tahunan-6-persen/.
Perusahaan Listrik Negara. 2018. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN (Persero) 2018-2027. Jakarta: Perusahaan Listrik Negara.
Setiaji, Endra. 2013. Indonesian Crude Palm Oil Market Demand and Supply Analysis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional. 2016. Outlook Energi Indonesia 2015. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional.

The World Bank Group. t.thn.. Electricity production from coal sources (% of total). Dipetik 23 Mei 2019, dari The World Bank Data: https://data.worldbank.org/indicator/EG.ELC.COAL.ZS?locations=ID&start=1985.

Union of Concerned Scientist. (t.thn.). Environmental Impacts of Hydroelectric Power. Dipetik dari https://www.ucsusa.org/clean_energy/our-energy-choices/renewable-energy/environmental-impacts-hydroelectric-power.html#references.

United Nation Climate Change. (2017). Clean Energy Can Meet 90% of Paris Energy-Related Goals. Retrieved from https://unfccc.int/news/clean-energy-can-meet-90-of-paris-energy-related-goals.

World Growth. 2011. "The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun