Selain berdampak langsung mengurangi emisi karbon, penggunaan sumber energi terbarukan mampu menciptakan lapangan kerja baru. Berdasarkan laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA), pada tahun 2018, telah terjadi kenaikan penerimaan tenaga kerja global di bidang sumber energi terbarukan pada periode 2012-2017 sebesar 44,81%.
 Pertumbuhan paling tinggi berada di sektor solar photovoltaic atau sektor yang berkaitan dengan bidang riset sel surya. Selain dari segi pertumbuhan, solar photovoltaic juga menjadi sektor teknologi penyedia lapangan pekerjaan terbesar, sekitar 3,3 juta pekerjaan. Sektor ini mengalami pertumbuhan sebesar 147% dari tahun 2012. Sektor lain yang mengalami peningkatan secara pesat adalah bioenergy, yang mengalami kenaikan sebesar 27,5%. Hal ini sejalan dengan paparan World Bank pada 2011.
Dalam laporan World Bank, disebut bahwa sumber energi terbarukan akan menghasilkan lowongan pekerjaan yang lebih banyak ketimbang sumber energi fosil. Sumber energi terbarukan dapat menghasilkan lebih dari 13 lapangan kerja, untuk setiap US$1 juta yang dikeluarkan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang melibatkan bahan bakar fosil. Hal ini membuktikan bahwa sumber energi terbarukan dapat menjadi solusi dalam menambah lapangan pekerjaan.
Secara global dari tahun 1965 hingga 2016, air (hydropower) merupakan sumber energi yang paling banyak digunakan---mencapai 70%---dibandingkan sumber energi terbarukan lain. Meskipun proporsinya mengalami penurunan dari tahun ke tahun, penggunaan air sebagai sumber daya energi masih terbesar dibandingkan sumber lain. Pada tahun 2016, tercatat bahwa konsumsi global energi bertenaga air sebesar 4022,94 terrawatt-jam disusul oleh angin sebesar 959,53 terrawatt-jam dan selanjutnya oleh solar (Matahari) sebesar 333,05 terrawatt-jam. Akan tetapi, ibarat sebuah pisau bermata dua, sumber energi terbarukan tidak terlepas dari biaya (eksplisit maupun implisit) yang harus ditanggung.
Di samping menyediakan energi "ramah lingkungan", hydropower sebagai sumber energi terbarukan terbesar juga memberikan eksternalitas negatif kepada lingkungan. Menurut Union of Concerned Scientist (UCS) (t.thn.), eksternalitas tersebut timbul dari infrastruktur hydropower itu sendiri. Energi listrik bertenaga air dihasilkan dari bendungan yang biasanya membutuhkan lahan sangat luas. Lahan yang digunakan kemudian dibanjiri sehingga merusak area perhutanan, habitat margasatwa, atau lahan pertanian jika dibangun di area tersebut (iya pada banyak kasus). Selain itu, turbin yang digunakan untuk menghasilkan listrik juga dapat mengganggu ekosistem akuatik, seperti melukai ikan dan organisme air lainnya. Lebih dari itu, penelitian terkini menunjukkan bahwa selama beroperasi, bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dapat menghasilkan emisi yang signifikan, terutama di wilayah tropis (Union of Concerned Scientist, t.thn.). Emisi life-cycle PLTA diestimasi dapat melebihi 0.5 pon ekuivalen CO2 per kilowatt-jam, tidak bernilai jauh dari emisi gas alami sebesar 0.6 hingga 2 pon ekuivalen CO2 per kilowatt-jam.
Beralih ke sumber energi terbarukan lainnya, Tsoutsos et al., (2005) dalam Gunerhan dan Hepbsali (2008) mengungkapkan beberapa dampak negatif dari upaya untuk menghasilkan energi listri dari solar (Matahari). Pertama, pengaplikasian panel surya pada lahan garapan dapat merusak area produktif lahan. Selain itu, jika diutilisasikan secara masal dapat mengganggu keseimbangan termal yang dapat meningkatkan polusi radiasi dan mengancam burung lewat. Kedua, meskipun tidak mengemisi polutan selama beroperasi, panel surya mengandung bahan-bahan berbahaya seperti cadmium yang dapat tersebar jika terjadi kerusakan sehingga berisiko mengontaminasi tanah dan air tanah.
Oleh karena itu, meskipun sumber energi terbarukan dapat menjadi solusi bagi polemik lingkungan tetapi---bagaikan koin dua sisi---biaya dan manfaatnya perlu ditimbang dengan baik sehingga tujuan untuk menyelamatkan "bumi pertiwi" dapat tercapai, tidak justru menjadi senjata makan tuan.
Referensi:
Accountability Counsel. 2017. The World Bank Group's Framework for Engagement in the Palm Oil Sector.
Bacon, R., & Kojima, M. (2011). Issues in estimating the employment generated by energy sector activities. The World Bank. Retrieved from http://siteresources.worldbank.org/INTOGMC/Resources/Measuring_the_employment_impact_of_energy_sector1.pdf.
Boden, T.A., G. Marland, and R.J. Andres. 2017. Global, Regional, and National Fossil-Fuel CO2 Emissions. Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S. Department of Energy, Oak Ridge, Tenn., U.S.A. doi 10.3334/CDIAC/00001_V2017.
Hai Teoh, Cheng. 2010. Key Sustainability Issues in the Palm Oil Sector.
Hannah Ritchie and Max Roser (2019) - "Renewable Energy". Published online at OurWorldInData.org. Retrieved from: 'https://ourworldindata.org/renewable-energy' [Online Resource].
IPCC, 2014: Climate Change 2014: Mitigation of Climate Change. Contribution of Working Group III to the Fifth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change [Edenhofer, O., R. Pichs-Madruga, Y. Sokona, E. Farahani, S. Kadner, K. Seyboth, A. Adler, I. Baum, S.
Brunner, P. Eickemeier, B. Kriemann, J. Savolainen, S. Schlmer, C. von Stechow, T. Zwickel and J.C. Minx (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
IRENA (2018), Renewable Energy and Jobs - Annual Review 2018, International Renewable Energy Agency, Abu Dhabi.