Oleh: Noah Ikkyu Swadhesi, Ilmu Ekonomi 2016, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018
Dalam melakukan konsumsi manusia dihadapkan dengan berbagai macam pilihan. Ekonomi mengasumsikan suatu individu akan mengonsumsi barang yang memberikan utilitas tertinggi baginya. Individu tersebut akan melakukan trade-off atas barang yang utilitasnya lebih rendah untuk mendapatkan barang yang utilitasnya lebih tinggi.
Tetapi seringkali individu secara sengaja ataupun tidak sengaja mengonsumsi barang yang tidak memberikan utilitas tertinggi bagi mereka. Faktor ketidaksengajaan bisa diakibatkan oleh terbatasnya waktu dan ingatan yang manusia miliki (Samuelson & Nordhaus, 2010) atau adanya informasi yang tidak sempurna (Akerlof, 1970). Faktor ketidaksengajaan merupakan bahasan di lain waktu.Tulisan ini didedikasikan untuk membahas faktor kesengajaan yang mana sangat umum terjadi, terutama seiring dengan semakin meningkatnya penggunaan media sosial.
Materialisme dan Status Sosial
Secara global, semakin banyak individu yang mengadopsi gaya hidup materialisme (Ger & Belk, 1996). Pada awalnya materialisme dianggap sebagai fenomena yang terjadi pada masyarakat yang baru mengalami pertumbuhan ekonomi dan akan mengalami penurunan seiring dengan semakin bertumbuhnya perekonomian masyarakat tersebut (Inglehart, 1981).Â
Akan tetapi, studi lebih lanjut yang dilakukan secara lintas budaya menunjukkan bahwa di masyarakat yang perekonomiannya sudah maju pun materialisme masih bertumbuh (Feather, 1998; Ger & Belk, 1996). Bahkan jumlah individu yang mengejar kehidupan materialistis bertumbuh secara eksponen (Kilbourne & Pickett, 2008). Eastman, Goldsmith, dan Flynn (1999) mengatakan bahwa fenomena ini didorong oleh keinginan untuk meraih status sosial di masyarakat.
Bukanlah sesuatu yang mengherankan bahwa gaya hidup materialistis diadopsi kebanyakan orang. Bagaimanapun, kepemilikan akan materi merupakan sebuah indikasi bahwa suatu individu telah menjalani kehidupannya secara efisien dan produktif (Trigg, 2001) dan juga sebagai penanda kesejahteraan (Burroughs & Rindfleisch, 2002). Karenanya, materi -- barang -- seringkali digunakan untuk menunjukkan identitas individu kepada masyarakat di sekitarnya (Micken & Roberts, 1992). Meskipun tidak jarang identitas yang ditunjukkan berbeda dengan kondisi sebenarnya.
Konsumsi untuk Legitimasi Sosial
Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class (1899) memberikan istilah conspicuous consumption. Suatu individu melakukan conspicuous consumption ketika tujuan konsumsinya adalah menunjukkan kekayaan untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi.Â
Veblen juga mengatakan bahwa preferensi konsumen ditentukan oleh kedudukannya pada hierarki sosial, suatu individu akan meniru pola konsumsi individu pada hierarki sosial yang lebih tinggi. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, conspicuous consumption tidak terbatas hanya pada kelas bawah meniru pola konsumsi kelas atas. Ada kalanya ketika kelas atas meniru pola konsumsi kelas bawah untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi (Bourdieu, 1984).
 Hal ini dikarenakan pada era modern gaya hidup memiliki pengaruh yang lebih besar, dibandingkan dengan hierarki sosial, terhadap perilaku konsumen (Featherstone, 1991; McIntyre, 1992). Corneo dan Jeanne (1977) mengungkapkan dua motif untuk melakukan conspicuous consumption: keinginan untuk tidak diidentifikasikan dengan orang miskin dan keinginan untuk diidentifikasikan dengan orang kaya.