Dengan mengetahui perilaku pada sisi penawaran dan permintaan di pasar narkoba, kita mendapatkan framework akan bagaimana intervensi pemerintah dapat memengaruhi dinamika pasar. Pada umumnya, terdapat dua strategi yang digunakan di pelbagai negara, yaitu pendekatan pada sisi penawaran dan pendekatan di segi permintaan.Â
Strategi yang pertama, dilakukan dengan cara penangkapan, regulasi ketat, dan penerapan hukuman mati terhadap pengedar narkoba sehingga menciptakan kondisi di mana akses ke barang menjadi sulit serta harga yang mahal. Strategi kedua dilakukan dengan hukuman penjara dan rehabilitasi terhadap pemakai narkoba. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi tingkat ketergantungan di kalangan pengguna sehingga menurunkan tingkat permintan (RAND, 2010).
Selama empat dekade sejak dideklarasikannya perang terhadap narkoba pada tahun 1970 oleh Presiden Richard Nixon, Amerika serikat telah menggelontorkan dana lebih dari US 1 triliun dollar untuk operasi di lapangan (Vox, 2016). Namun, berdasarkan data Office of National Drug Control Policy (ONDCP), harga sebagian besar barang narkoba mengalami tren penurunan. Semisal, antara tahun 1981 hingga 2007, harga median heroin per gram turun sebesar 93 persen dan bubuk kokain turun sebesar 87 persen.
Selain itu, fenomena tersebut juga dapat dijelaskan oleh investasi pada modal fisik. Profit yang didapatkan produsen sebagian dialokasikan untuk pengembangan Investasi berupa pembaharuan mesin pertanian, mesin pengolahan, pengadaan rute baru, hingga pembelian transportasi logistik yang lebih cepat dan sulit terdeteksi seperti kapal selam yang dimiliki Kartel Sinaloa asal Meksiko.
Alternatif lain
Ketika cara kekerasan dan kriminalisasi terhadap pelaku diragukan keampuhannya, muncul beberapa perspektif lain. Semisal, sejak tahun 2001 Portugal mengubah strategi pemberantasan narkobanya dari tindak represif ke dekriminalisasi terhadap terduga narkoba. Hasilnya adalah penurunan pada pengguna heroin dari 100.000 pengguna ke 25.000 orang di 2017 menurut data Kementerian Kesehatan Portugal. Selain itu, tingkat kematian overdosis menurun sebanyak 85 persen dan Portugal hingga saat ini memilki angka kematian akan penggunaan narkoba terendah di Eropa (European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction, 2017).Â
Di lain sisi, Belanda membagi narkoba ke dalam dua kategori, yaitu Hard drugs dan Soft drugs. Kebijakan pemerintah membolehkan penjualan soft drugs dalam aturan yang ketat di beberapa caf tertentu. Tujuannya adalah untuk mencegah pengguna berhubungan langsung dengan perdagangan ilegal hard drugs.Â
Selain mengurangi tingkat pengguna, legalisasi tersebut juga menambah pendapatan Belanda sebesar US 400 juta dollar dari pajak penjualan ganja saja (salah satu soft drugs). Hal itu belum termasuk banyaknya lapangan pekerjaan yang tercipta. Sedangkan untuk Swiss, selain dekriminalisai pecandu, pemerintah juga menerapkan program rehabilitasi insentif berupa terapi methadone. Hasilnya adalah tingkat pengguna heroin yang turun hingga ke level delapan persen pada tahun 2017.
Pada dasarnya, dekriminalisasi yang dilakukan ketiga negara tersebut bertujuan untuk menghilangkan stigma buruk terhadap pengguna narkoba sehingga tersangka terkait dapat secara suka rela menyerahkan diri untuk melakukan rehabilitasi.Â
Namun, masalah lainnya adalah lebih leluasanya para pengedar mengakses konsumen sehingga penetrasi barang juga akan semakin luas. Dalam jangka panjang, hal tersebut justru berpotensi meningkatkan jumlah pengguna ke titik yang lebih tinggi. Dengan wilayah yang luas dan penduduk mencapai 360 juta orang, tentu efek jangka pendek dekriminalisasi tersangka narkoba di Indonesia terlalu sulit untuk dibendung. Selain itu, pemerintah tidak dapat mengetahui secara pasti angka yang akan merehabilitasi diri setelah dekriminalisasi diterapkan.
Kesimpulan