Oleh: Steering Committee, Forum Studi dan Diskusi Ekonomi Universitas Gajdah Mada (FSDE UGM) 2018
Ibaratnya timnas Rusia, pada pertandingan 16 besar Piala Dunia 2018 melawan Spanyol, mata uang Rupiah dipaksa bertahan total oleh gejolak ekonomi yang penuh ketidakpastian. Isu perang dagang, normalisasi suku bunga The Fed, dan melambatnya ekonomi Tiongkok menjadi serangan maut yang menekan pertahanan Rupiah. Â Menilik Rusia, tim asuhan Stanislav Cherchesov memainkan strategi ultra-defensif untuk menahan gempuran tiki-taka tim asuhan Fernando Hierro. Haruskah Indonesia menerapkan strategi yang sama?
Mengapa Rupiah Melemah?
Nilai Rupiah yang pada tahun 2017 stabil di level 13.000-an perlahan tergerus hingga level 14.300. Tidak sedikit masyarakat yang berimajinasi jika pelemahan Rupiah mengindikasikan mitos krisis 10 tahunan akan berulang. Bahkan, lembaga selevel S&P pernah memprediksikan jika Rupiah akan menembus 15.000. Kestabilan ekonomi, sebagaimana tercermin dalam kurs Rupiah, perlu dicapai agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pasca krisis finansial tahun 2008, ekonomi dunia mengalami perubahan arah. Ekonomi global melambat, investasi menurun, serta pengetatan kebijakan moneter di negara maju. Hal ini ditambah dengan tensi politik internasional yang memanas. Hal ini tentunya menjadi kabar yang kurang positif bagi ekonomi Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir cenderung jalan di tempat.
Memang, fundamental ekonomi Indonesia tidak bisa dibilang buruk---walaupun cenderung stagnan. Hanya saja, ekonomi AS relatif lebih tumbuh dibandingkan Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Misalnya, Prasetiantono (2018) menyatakan  jika penyerapan tenaga kerja baru di AS cukup impresif dengan angka 176.000 orang (Januari), 324.000 (Februari), 135.000 (Maret), dan 164.000 (April). Membaiknya ekonomi AS tentunya menyebabkan The Fed harus menaikkan suku bunga sehingga aliran dana di Indonesia dan negara berkembang kembali ke AS.
Mencari Jalan Keluar
Pada 29 Juni, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan yang cukup mengejutkan di mana BI menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 5,25 %. Hal ini mementahkan prediksi banyak analis yang memperkirakan kenaikan hanya 25 basis poin. Selain itu, untuk mengkompensasi kebijakan pengetatan moneter yang bersifat pre-emptive, font loading, dan ahead the curve, BI juga merelaksasi rasio Loan To Value (LTV) agar pasar properti bisa lebih didorong. Kebijakan tersebut tentunya sudah tepat. Pertanyaanya, sampai kapan suku bunga harus dinaikkan?
Pemerintah perlu memikirkan jika The Fed masih terus akan menaikkan suku bunganya jika ekonomi AS terus membaik. Jika BI terus meningkatkan suku bunganya, bukan tidak mungkin ekonomi Indonesia sulit untuk diekspansi. Padahal, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4%. Hal ini semakin intrik mengingat Indonesia akan menghadapi pemilihan presiden di tahun depan.
Pemerintah perlu menjaga indikator transaksi berjalannya. Menurut Basri (2017), defisit transaksi berjalan negara berkembang menjadi pendorong kerentanan bila terjadi gejolak eksternal. Defisit transaksi berjalan Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 % di tahun 2018 seiring dengan melonjaknya nilai impor. Depresiasi Rupiah yang berkelanjutan akan semakin menekan transaksi berjalan dan kestabilan ekonomi sulit tercapai.
Mencuri Kemenangan