Pagi ini secara sengaja, saya membuka-buka sebentar beberapa buku-buku Schuon dan Hossein Nasr. Salah satu buku Schuon yang saya beli ternyata usianya sudah hampir 20 tahun. Biasanya saya menuliskan sebait puisi, dari ungkapan perasaan yang berkecamuk saat itu. Juga dicantumkan tanggal saat buku tersebut dibeli. Mungkin semacam kisah yang ditanamkan lewat beberapa baris kalimat, yang suatu saat kelak di masa depan menjadi kenangan yang diingat.
Ada beberapa buku yang dibeli dan dibaca, tapi tak terpahami. Salah satunya buku-buku Schuon dan Nasr. Saya baru sedikit bisa memahami setelah menggali kisah hidup Schuon dan Nasr, serta posisi mereka dalam tradisi intelektual Islam. Peranan mereka sebagai pionir modern tradisi filsafat perenial, dan keteguhannya dalam mempertahankan kemurnian metafisika yang sejati (al-Ilmu Al Ilahiy). Juga peranan Schuon dalam Tarekat Alawiyyah dan dan sebagai salah satu generasi penerus dari Tarekat yang bermula di Afrika Utara. Setelah paham latar belakang sejarah, tema penting yang diangkat, memahami istillah tradisi tasawuf, dan beberapa kata kunci tradisi metafisika Shankara ,Plato dan Neo Platonis, barulah saya punya sedikit gambaran perihal tema-tema yang diusung Schuon dan Nasr dalam karya-karyanya. Membaca cepat dan membuat ikhtisar untuk kasus buku mereka, sepertinya tidak banyak membantu. Perlu sedikit santai, waktu yang tepat, minum kopi dan banyak diskusi. Mungkin.
Kopi dan buku, sudah lama dipasangkan dengan serasi. Suatu upaya mistifikasi. Bagi sebagian orang ditambah kepulan asap rokok dan perbincangan hangat bersama kawan-kawan. Aktivitas membaca, bagi tipe manusia ini bukan sekadar merangkum tema dan merumuskan ikhtisar. Membaca dimaknai jauh melebihi itu. Ia seperti aktivitas yang penuh aura dan tata titi.Â
Bayangan sederetan rak buku, wangi kertas usang dan warna yang muram, mungkin beregeletakannya buku-buku di lantai atau meja yang begitu saja, akan memberi kepuasan tiada tara. Sebentuk bookgasme. Rangkaian kata dan kalimat, penuhnya ide dan gagasan yang bertebaran di pikiran. Beberapa di antaranya masuk dan memberi pencerahan, memberikan pengertian dan pemahaman. Maka, jangan sodori manusia seperti ini dengan Training Membaca Cepat. Dijamin tidak akan tertarik.
Apa salah dengan training tersebut? Mana yang lebih baik, apakah membaca dengan cepat atau menikmati proses membaca sedemikian intens?
Pertanyaan salah menurut hemat saya. Karena ini terkait bagaimana menghikmati waktu, sejenis hobi. Sama tidak tepatnya jika bertanya, mana yang lebih baik apakah membeli ikan di supermarket atau memancing ikan di sungai? Kendati hasil akhirnya sama; sekeranjang ikan. Tapi beda jauh dari sisi pengkhidmatan aktivitas.
Membaca pun demikian. Bagi sebagian orang, ia adalah aktivitas yang penuh kekhidmatan. Apanya yang dikhidmati?
Jauh sebelum revolusi mesin cetak Guttenberg, sebuah buku dihargai sedemikian tinggi. Membuat satu buku, ialah kerja penuh dedikasi dan keseriusan. Ada seni, intelektualitas, keilmuan dan ketelitan di dalamnya. Menyalin sebuah buku dari buku aslinya, harus memastikan juga tidak ada kesalahan di sana. Ada proses verifikasi (tahqiq), yakni upaya memastikan tidak ada pemahaman yang salah dari maksud si penulis awal.
Maka, di periode abad pertengahan, pengkajian sebuah kitab/buku---misalnya dalam tradisi kitab---kuning, dikenal silsilah dan sanad keilmuan yang tersambung. Orang yang mengkaji tafsir Jalalain, diupayakan memiliki ketersambungan silsilah keilmuan dengan pengarang kitab aslinya, yang biasanya dibuktikan lewat ijazah sudah selesai mengkaji Kitab tersebut. Konsekuensi dari transmisi pengetahuan seperti ini berdampak kepada penghormatan yang demikian besar terhadap para guru, para ulama yang menjabarkan satu kitab tersebut. Ada adab dan khidmat yang terbangun. Seorang murid, selain belajar kitab secara teks, juga dibangun adab dan khidmat, silsilah dan latar belakang kitab tersebut hadir.
Tradisi kitab kuning sendiri, selain mempertahankan matan (karya aslinya), juga bisa mengomentari dan mengkoreksi pemahaman si penulis sebelumnya, yang dikenal dengan nama syarah. Salah seorang pakar dan ulama yang banyak menghasilkan karya syarah dalam tradisi Kitab Kuning adalah Syaikh Nawawi Al Bantani, yang merupakan salah seorang putra Jawa yang memiliki reputasi internasional di awal abad 19. Lewat beliaulah hampir seuma ulama-ulama Nusantara terkemudian tersambungkan.
Ilmu dan adab serta akhlak adalah satu kesatuan, kesatupadanan. Adab yang dibangun atas penghormatan kepada tradisi pengajaran dan keilmuan. Adab mendahului ilmu, begitu pepatah yang selalu ditanamkan kepada para santri.