Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Resensi] Kimya Sang Putri Rumi: Luka dan Jalan Cinta

14 Februari 2017   12:31 Diperbarui: 14 Februari 2017   12:57 2260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: kerajaanbuku.blogspot.com

Barangsiapa yang hatinya terbakar api cinta, mesti sadar akan satu sisi lainnya. Kepedihan, rasa sakit yang begitu mendalam dan keterpisahan adalah sisi lain dari cinta yang memabukkan. Ia yang tangguh menanggungnya, dengan rasa girang dan tanpa ratapan, ialah yang berhasil membuktikan apa yang menyala dalam dadanya : rasa cinta yang agung, tulus dan penuh pengabdian.

Seorang sufi Andalusia, Ibnu Arabi—yang juga hidup sejaman dengan Rumi—menggubah puisi, “aku mengikuti agama Cinta, ke mana pun unta-unta Cinta itu berbelok, di sanalah Cinta menjadi agama dan kepercayaanku”. Mengkuti jalan Cinta memang tidaklah mudah. Terkadang berbelok di sebuah jalan yang seolah salah dalam pandangan manusia. Tapi, tentu tidak dalam pandangan penuh kasih Tuhan. Bukankah Dia sendiri yang menarik manusia-manusia terpilih untuk mengikuti jalan-Nya, sekaligus menaunginya.

Jalan Cinta, sebagaimana menjadi tema utama novel ini, digambarkan selalu punya dua sisi. Menyatu utuh lantas terpisahkan, bahagia dan memendam lara, suka cita sekaligus menahan luka. Mengapa demikian? Karena transformasi batin, demi pengenalan akan Dia yang Maha Indah, hanya terjadi pada hati yang terbolak-balik menerima tempaan-Nya, mengalami fase-fase dualitas sampai akhirnya bisa lepas darinya, dan tertinggal satu rasa saja : mensyukuri apa pun yang hadir di hadapannya. Karena seperti kata Rumi, dalam reruntuhan hatilah terdapat harta karun yang terkubur. Karena dalam hati yang berdarah-darahlah akan kau temukan Tuhan (hal 297).
***

Sosok Kimya sebagai tokoh utama dalam novel ini masih kontroversi, tapi keberadaan k kMaulana Rumi, Syams dari Tabriz, dan beberapa sufi yang disebut di buku ini, tak perlu lagi diperdebatkan. Kimya, gadis cilik yang lahir dan tumbuh di pegunungan Taurus, seringkali mengalami kondisi ‘hilang’. Ia menjadi lupa akan keberadan dirinya. Ruang dan waktu bahkan tidak bisa memenjara lagi jiwanya. Untuk gadis cilik seperti dia, sikap dan pertanyaan yang diungkapkan nampak aneh dalam pandangan umum.

Kehidupan alamiah dan murni ini, beserta lingkungan para petani dan penggembala, membuat Kimya dan juga orang-orang di desanya lebih memandang kehidupan dengan apa adanya. Polos, jujur, dan memandang masa depan sebatas bagaimana supaya panen esok hari bisa berhasil, atau apakah besok hujan, kering atau ada badai. Bahkan tak sempat lagi memikirkan perbedaan di antara mereka. Farouk, ayah Kimya adalah keturunan pengembara di padang rumput Samarkand. Keluarga Farouk termasuk pemeluk islam yang baru. Evdokia, isteri Farouk, berasal dari keluarga petani, dan memeluk agama Kristen. Ada juga Serena, si peramu obat-obatan yang masih pagan, tapi memiliki pandangan yang bijak. Semua perbedaan tersebut lebur, menyatu, dalam warna kehidupan pedesaan.

Kehidupan yang tenang ini, terusik dengan kehadiran seorang sufi pengelana yang datang dari Konya. Ahmed, demikian nama sang sufi, memilih tinggal di gua di pinggiran desa, dan menempa jiwanya melalui jalan pengasingan diri. Kimya dan beberapa anak desa terbiasa mengantarkan makanan atau sekadar sayur dan buah untuk Ahmed. Sebagai imbalannya Ahmed mengajari Kimya bahasa Yunani dan Persia, juga membaca dan menulis. Hasrat yang menggebu terhadap pengetahuan dari seorang gadis kecil ini, berbenturan dengan kondisi di desa yang tidak mendukung. Seorang pendeta desa, dan juga Ahmed, meminta Farouk agar mengririmkan Kimya ke kota Konya untuk belajar.

Alur cerita kemudian berpindah dari pegunungan Taurus, dan kehidupan desanya, ke kota Konya yang kosmopolit. Dengan berat hati Farouk harus mengikuti saran pendeta, juga saran Ahmed dan Serena. Ia akhirnya mengantarkan Kimya untuk belajar ke Konya. Semula, sesuai pesan terakhir sang pendeta, Farouk akan menitipkan Kimya di Gereja St. Peter, dan diasuh oleh seorang suster. Tapi takdir Tuhan menghendaki lain. Sang suster tidak ditemukan, malah Farouk bertemu dengan Maulana Rumi, yang meminta anaknya untuk dititipkan kepadanya. Jalan cerita kemudian beralih, kepada kehidupan di keluarga Maulana, berikut Kimya di dalamnya.

Perjumpaan Maulana Rumi dengan Syams—sang matahari yang berpijar—menggemparkan seisi kota, karena seolah dua kekasih yang sedang mabuk dan tak lagi peduli dengan orang-orang. Rumi, yang menjadi guru agama formal di sebuah madrasah, dengan tiba-tiba seperti terkena percikan api yang dijentikan Syams. Hingga satu waktu Rumi lebih sering berada di bilik kamar bersama Syams. Bertukar pengetahuan, atau pun duduk dalam diam dan hening. Lain waktu lagi, ia terlihat menari sambil diiringi musik dan nyanyian. Tapi di akhir cerita, Syams pergi tanpa pesan, membuat seruling jiwa Maulana Rumi merintih lirih. Juga dengan Kimya, setelah resmi menjadi isteri Syams, ia harus hidup dalam dua kondisi, yakni bahagia berada di sisi seseorang yang penuh limpahan pengetahuan, sekaligus kesepian dan terluka oleh beberapa sikap Syams, yang terkadang tidak mengenali dirinya—manakala sedang asyik dalam munajat, sujud kepada-Nya.

Dari kisah inilah kita bisa paham bahwa jalan Cinta memang bukan sekadar jalan ratapan atau sekadar ungkapan letupan emosi diri. Jalan Cinta adalah jalan kekaguman atas keindahan Wujud Tuhan. Ia butuh penglihatan dan landasan pengetahuan. Dan bagi mereka yang buta dalam pengetahuan, ikutilah kemurnian hati, bersikaplah lugu, tanpa prasangka dan tidak memaksakan diri untuk mengerti, seperti saran Sadruddin Qanawi terhadap Akbar (hal 311). Atau bersikaplah seperti Kimya, yang rela hatinya ditempa tangan kukuh Syams, sang suami, sekaligus simbol sang Ruh yang menyinarinya. Meski dengan begitu, ia harus menanggung gunjingan dan celaan dari banyak orang.
Rumi mengikuti jalan Cinta yang dibawa Syams dibawah landasan pengetahuan, dan Kimya mengikutinya dengan kemurnian hati dan ketaatan.

***

Konya dan kota-kota di sekitar Turki tahun 1200-an memang sedang menjadi pusat dunia. Lokasinya di persimpangan beberapa kebudayaan besar yang sedang perlahan runtuh, akibat perang agama, invasi bangsa barbar, maupun rebutan tahta, menjadikannya sebagai tempat yang cocok untuk bernaung. Di kampung halaman Kimya, ada beberapa keluarga yang memang datang mencari perlindungan. Di kota Konya sendiri, tinggal orang-orang dari Asia Tengah, dari wilayah Samarkand, atau kota Balkh, seperti Farouk dan Maulana Rumi. Ada juga orang-orang dari sekitar Laut Kaspia, seperti Syams, atau dari Byzantium, Persia, Arab, Yunani, Romawi, bahkan sisa-sisa tentara Mongol dan tentara salib di Eropa. Kondisi inilah yang nantinya akan menumbuhkan tunas kebudayaan baru, khas Turki. Seperti baju gamis dan kopyah merah, tarian berputar para darwis dengan ney dan harpa yang mengiringinya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun