Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rasa Agama

12 Februari 2017   19:38 Diperbarui: 12 Februari 2017   20:32 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Hatta, oleh sebagian besar kawannya disebut sebagai puritan. Ada banyak kisah di mana ia layak disebut puritan, dan semuanya di seputar perempuan, alkohol dan pesta-pesta. Ia menjauhi semuanya. Bung Karno, si bung Besar, pasangan Dwi Tunggalnya, bahkan sering mengejeknya, sebagai pria yang cepat bermerah pipi jika berjumpa dengan seorang gadis.

Konon lagi, kawan-kawannya di Rotterdam sana, semasa mengenyam bangku kuliah, pernah menjebak Hatta agar berduaan dengan seorang gadis Polandia. Tentu saja, kawan-kawannya memberikan amanat kepada si gadis Polandia yang terkenal menawan ini, agar menggodanya sekuat tenaga. Hasilnya? si gadis Polandia, berkata :"Bagaimana bisa, aku menggoda seorang pendeta".

Dengan alkohol, juga demikian. Ia seorang penganut Islam yang demikian taat. Ia menjauhinya. Ia lebih sering memesan teh manis ketimbang minuman beralkohol.. Ini juga yang sempat menjadi ejekan dan bahan tertawaan kawan-kawannya. Kisahnya, suatu malam selepas menonton opera, Hatta dan kawan-kawannya singgah di sebuah resto di Hamburg. Dahlan, Eichele dan Usman memesan bir untuk minum, sedangkan Hatta lebih memilih es tawar. Dan rupanya harga segelas es lebih mahal dari bir, yang kelak menjadi guyonan luas di kalangan kawan-kawannya.

Menilik kisah Hatta, mau tidak mau kita mesti menelusuri ke belakang tentang apa dan bagaimana Hatta mendapat pendidikan agama. Bagaimana Bung Hatta yang demikian bersahaja ini, hemat dalam kata-kata, ketat menjaga disipilin waktu, dan juga demikian kuat menjaga agamanya. Tak terbersit pun sedikit untuk bersenang-senang, dansa-dansi, yang saat itu begitu lumrah dalam dunia pergaulan barat.

Penamaan puritan, mengesankan Bung Hatta sebagai seorang fanatik, padahal mengutip cak Nur, pada pidato kebudayaan 2002 di TIM, Bung Hatta memiliki ketulusan, keihlasan, kerendah hatian dan kedalam pikir seorang sufi. Dan memang ia terlahir dari keluarga yang taat bergama, dan masih berkerabat dan mendapat didikan seorang Mursyid Thariqah, yang ia sebut sebagai Ayah Gaek.

Mengikuti garis keulamaan dari ayahnya, keluarga besarnya berharap Hatta akan meneruskan garis keulamaan keluarganya. Tapi takdirnya, Hatta lebih tertarik dan cemerlang pada pelajaran-pelajaran umum. Ini juga kemudian disadari oleh Ayah Gaek, pamanda Hatta yang menjadi walinya. Sebagai seorang pengamal tarekat, Ayah Gaek sangat paham, Hatta sangat kuat dan condong kepada ilmu-ilmu dunia. Tapi bukan berarti Hatta seorang yang mengabaikan agama. Sehingga pada saat perpisahannya menjelang keberangkatan ke Batavia, Ayah Gaek menasihati Hatta dengan panjang lebar.

"Jalan hidupmu sudah ditentukan Allah", katanya," tetapi keyakinanku cukup kuat bahwa kau tidak akan menyimpang dari jalan agama Islam, dan jalan Allah. Mungkin pula pengetahuanmu kelak tentang agama tidak begitu luas seperti yang telah dimiliki seorang alim ulama, tetapi perasaan Islam telah tertanam dalam jiwamu dan itu tidak akan hilang".

Itulah intisari Islam yang melekat kepada jiwa Hatta: Rasa Agama, rasa Islam. Sebuah akhlak dan moralitas berdasar syariat agama yang melekat kuat.

Didikan yang tidak sekadar mengandalkan pikiran dan hapalan, tapi telah membuka rasa hati bagi seorang anak kecil, yang kelak nasib bangsa ini berada di pundaknya. Keteguhanya memegang syariat adalah keteguhan yang menjadi dasar atas sikapnya yang konsisten dalam jalur kebenaran, keberpihakan kepada rakyat dan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah inheren dalam Islam. 

Ia bahkan rela mengorbankan kehidupan pribadinya, agar rakyat Indonesia bisa mengenyam sebuah mimpi yang saat itu bak punuk merindukan bulan; yakni kemerdekaan. Hatta bersumpah, akan melajang sampai Indonesia bisa merdeka. Ia menepatinya. Sampai akhirnya mempersunting Rahmi Rachim, yang usianya berbeda jauh, hampir 24 tahun.

Mengenang dan membaca karya dan jejak hidup Hatta adalah membuka dan menggali kembali lembaran di mana cita-cita keberadaan negeri ini ditegakkan. Cita-cita Hatta adalah cita-cita keberadaan negeri ini. Bicara tentang Indonesia, Pancasila, UUD 45, demokrasi kerakyatan, kesejahteraan bersama, bagaimana sebaiknya negeri ini diatur dan diselenggarakan adalah bicara juga tentang rajutan idea para pendiri negeri ini; salah satunya Hatta, si perona merah yang pemalu saat berjumpa seorang gadis. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun