Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merajut Gagasan Pokok Filsafat Perenial: Sebagai Respon atas Modernitas

15 Februari 2017   18:07 Diperbarui: 15 Februari 2017   18:24 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karakter Modernitas

Kemodernan di Barat dimulai pada periode Renaisans sebagai awal perkembangan sains dan teknologi, atau perkembangan wawasan humanisme yang meletakkan manusia hanya sebatas kebumian (earthly man). Modernisme hadir sebagai respons atas perkembangan zaman, sekaligus bentuk resistensi terhadap situasi keagamaan khas Abad Pertengahan, yang dipandang memberangus potensi utama kemanusiaan, yakni kebebasan nalar atau rasionalitas dalam segala segi kehidupan.

Van Gennep, menyebutkan ada beberapa ciri dalam proyek modernitas. Pertama, proses sejarah dipandang sebagai sesuatu yang progresif, diukur atas dasar penalaran, artinya mereka yang tidak rasional adalah terbelakang. Kedua, individu dan bukan masyarakat adalah sebagai penentu perubahan, agent of change. Ketiga, proses mengetahui adalah proses abstraksi. Keempat, adanya pemisahan antara subjek-objek, khas pandangan Cartesian. Apa yang diupayakan dan menjadi karakter kemodernan seperti di atas, dengan cukup telak membuat runtuh langit sakral yang menjadi naungan para teolog dan filsuf Abad Pertengahan.

Pembahasan dan kritik terhadap modernitas banyak diulas oleh para filsuf-posmodernis maupun para tradisionalis. Dan tentunya bahasan ini tidak terfokus kepada kritik tersebut, tapi akan menggali bagaimana filsafat perenial atau tradisi terus berkembang dan digali.

Dua Pandangan Dunia: Paradigma Hierarkis dan Paradigma Non-Hierarkis

Perseteruan antara modernitas dan tradisi, sebenarnya adalah representasi dari dua pandangan dunia yang berbeda. Ini persoalan klasik, tapi memang bahwa pertarungan semenjak zaman Yunani Kuno antara kaum Orphic dan Epicurus terus berlanjut. Dan narasi-narasi besar yang hadir dalam sejarah peradaban adalah juga cerita pertarungan tadi. Sederhananya adalah pertarungan antara paradigma hierarkis dan paradigma non-hierarkis.

Pandangan dunia atau pola pikir atau paradigma hierarkis adalah cara pandang realitas sebagai suatu tingkatan yang berjenjang dalam gradasi menaik. Skema paling ringkas dapat dijumpai dalam ajaran Plato, bahwa realitas terbagi dua sebagai alam indera dan dunia ide, atau antara fisika dan metafisika. 

Meskipun penjabaran dari tingkatan ini tak terhingga banyaknya, ada yang menyebut 18.000 alam seperti yang diskemakan oleh tradisi tashawwuf, 12 alam, 7 langit atau pun 16 jenjang. Sesuai paradigma ini, Realitas Absolut adalah pusat realitas di mana semua wujud tercipta dan mengambil bentuk dan posisi (arche dan topos) sesuai kadarnya masing-masing, dengan tingkat penurunan tertentu, khas teori emanasi (hypostasis).

Dalam paradigma hierarkis, semua tingkatan alam tersebut bermuara kepada satu diri manusia. Konsekuensinya, pembicaraan mengenai paradigma hierarkis adalah pengakuan atas adanya dimensi spiritual manusia beserta kecerdasannya. Intelek adalah nama, dalam bahasa filsafat perenial, untuk perangkat kecerdasan batin yang bersepadan dengan tingkatan realitas-yang non-inderawi dan non-abstraksi-yang lebih tinggi. 

Konsep intelek, pertama kalinya diambil oleh Fritjof Schuon dari istilah yang digunakan oleh seorang mistikus Kristen, Meister Eckhart, yang menyebutkan intelek sebagai sebuah instrumen dalam jiwa manusia (aliquid est in anima, intelek melekat pada jiwa) sebagai titik pertemuan, yang dengan menggunakannya, manusia bisa melihat Tuhan, sekaligus Tuhan melihat manusia.

Sedangkan paradigma non-hierarkis, adalah pandangan atas realitas sebatas apa yang tercerna secara inderawi maupun terabstraksi secara rasio. Pada masa modern, terutama masa Pencerahan, gagasan tentang rasio dilepaskan dari gagasan rasio Platonik sebagai instrumen yang berpartisipasi di dalam Pikiran Tuhan. Rasio dalam pandangan modern bersifat empiris dan otonom. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun