Sejenis penghargaan kepada warga pribumi. Dari sini, para avonturir akan menangkap di ingatannya. Di mana tempat mandi, dan tidur. Masjid yang resik dan aman. Jalur jalanan, stasiun KA dan BIS antar kota. Juga warung makan yang murah dan nikmat. Selain itu untuk mengabadikan kenangan, sebentuk jurnal perjalanan dituliskan, beberapa bait puisi digubah sebagai pengingat pengembaraan. Para avonturir akan akrab dengan pena dan catatan harian. Bukan gadget dan cara memotret serta mematut diri dengan aneka pose aneh. Dalam cara seperti ini, para avonturir sedang belajar meresapi kehidupan. Mencermati dan membentuk gambaran tentang dirinya. Sedang berupaya mentala mata pandangannya. Harus seperti apakah kehidupan yang akan dilakoninya? Begitulan kira-kira, ia sedang mencari pijakan.
Menelusuri kota Yogya waktu kini, menghadirkan kembali kenangan itu. Ada kebanggaan tersendiri saya menikmati Yogya masa lalu. Karena mencermati bagaimana hirup pikuk jalanan Yogya kini. Aneka selfi, minyak wangi dan deretan hotel di mana-mana. Terasa sangat asing. Aneka transaksi berjalan tanpa sentuhan manusiawi. Bayar lalu pergi. Kaki lima, abang becak, tukang kopi dan jamu, hanya dipandang barang dan jasanya saja. Tak ada ingatan nama, tak ada jejak melekat kuat. Ah.
Dulu saya masih ingat, ongkos Bandung-Yogya cuma 15 ribu perak naik KA ekonomi. Maka dengan uang 60 atau 70 ribu, bisa bolak-balik Bandung-Yogya dan beberapa hari di Yogya. Masalah tidur, bisa di stasiun atau masjid-masjid kecil sekitar alun-alun. Makan lebih gampang dan nyaman. Bertebaran di mana-mana.Â
Dulu harga di Malioboro masih sangat normal. Kalau pun tidak merasa aman, bisa lebih melipir ke Angkringan di sekitar stasiun, di Tugu atau alun-alun. Urusan tidur, asal bawa penutup kepala dan kaus kaki, bisa langsung nyenyak, apalagi setelah berjalan seharian. Prinsipnya, telinga tertutup kupluk penutup kepala dan telapak kaki tidak kena angin. Dijamin hangat dan nikmat, ditemani taburan bintang-bintang.
Yogya, kota tua yang sedang digeret. Antara masa lalu yang klasik, eksotis dan masa depan dengan derap modern pembangunan. Ia menjadi kota yang gamang.Â
Kini, berjalan di jalanan merasa tak lagi aman. Begitu banyak seliweran motor dan kebut-kebutan. Mal-mal dan hotel bertaburan berlomba dengan asongan dan angkringan.
Begitulah Yogya di masa kini.
--Kini sandal gunung sudah digantung,
berganti piyama dan sandal rumahan
kisah pengembaraan jadi sekadar catatan
"pencarian diri" semakin menukik ke dalam
menggali yang hakiki, menghampiri yang sejati
lelaki itu, kini mendapatkan kepingannya yang terserak
dan sisa kisahnya adalah
perjuangan berserah agar Dia mengasah
ujung kasar tonjolan dirinya
untuk tepat, tergenapi keutuhannya
dengan pasangan jiwanya--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H