Ada masa dimana waktu bergerak lambat. Informasi belum melimpah. Kata-kata bijak jarang diumbar. Peristiwa dan berita tidak selalu paling aktual. Pelan, lamban dan alami.
Menginjak usia SMP, kitaran tahun 80 an akhir, ada hari yang betul-betul saya tunggu, yakni hari kamis. Hari manakala tabloid mingguan Mitra Desa terbit. Selain perpustakaan SMP yang hampir saya kunjungi setiap hari, saya biasa mencari hal-hal aktual tentang sastra dan kepenyairan di rubrik Sastra Mitra Desa. Saat itu majalah Horizon yang biasa menjadi rujukan peta sastra nasional adalah barang sangat mewah buat saya, yang bayar SPP saja sangat mahal. Saya biasanya menjalin keakraban dengan penjual koran di sebuah Toko majalah dan koran di Terminal Cilembang. Pura-putra mencari rubrik untuk kliping, saya diam-diam membaca dan membolak-balik halaman mingguan Mitra Desa. Membaca karya-karya para penyair yang saat itu sedang naik daun.
Dari rubrik inilah saya mengenal dan menyukai karya-karya Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Cecep Syamsul Hari, Saeful Badar, Agus R.Sardjono dan penyair-penyair lokal lainnya sekitaran parahyangan: Bandung, Ciamis, Tasik, Cianjur dan Garut. Itu sebelum rubrik sastra ditarik menjadi rubrik mingguan di PR , lalu berganti menjadi sisipan Khazanah.
Saya menyukai puisi tentang alam dan kehidupan pertanian. Acep Zamzam Noor dan Soni Farid adalah sosok-sosok yang piawai menatah kata, menyusun untaian kalimat dengan nuansa-nuansa alamiah yang magis, puitis dan mistis. Tagore belumlah saya kenal. Saya mengenalnya saat menginjak SMA. Paling banter puisi-puisi semisal karya Amir Hamzah, Subagio Sastrowardoyo dan Sitor Situmorang yang saya kenal.
Menikmati bait demi bait, seuntai kalimat-kalimat puitis saat itu adalah sebuah proses “menjadi”. Sebuah pengalaman langsung. Bunyi dan aura mistis sebait puisi, jejaknya akan melekat lama dan kuat, seolah irama simfoni yang mengiringi saya saat berjalan kaki menuju atau sepulang sekolah. Saat itu jalan ke sekolah ditempuh dengan berjalan kaki melewati pematang sawah dan beberapa bukit. Sehingga, menghikmati kalimat-kalimat puitis sembari mengalami persentuhan dengan hal-hal alami, memberikan kegembiraan yang meluap. Bau tanah basah, hujan yang serasa ditampik, warna jingga senja hari, capung kecil yang hinggap di putri malu yang serta merta menutup daun: pengalaman-pengalam ruang dan waktu yang memukau. Ambil contoh puisi ini :
LAGU PEJALAN LARUT
Ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Duapuluh tiga tahun aku dibakar matahari, digarami
Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
Mengairi sawah dan perasaan, menabur benih-benih ketulusan
“Pejalan larut, di manakah kampungmu?”
Langit membara sepanjang padang-padang
Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu dan jendela
Tungku-tungku menyalakan waktu. Duapuluh tiga tahun
Aku memburu utara, mengejar selatan, tersesat di barat
Dan kehilangan timur. Beri aku cangkul! Beri aku kerbau!
“Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”
Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang.
Acep Zamzam Noor
Pun demikian dengan “mengaji” agama. Saat itu, pengajian adalah membuka kitab kuning. Cara tradisional dengan sorogan dan bandungan, yang di pesantren dekat saya diistilahkan dengan ngalughot. Yakni mengeja dan memaknai kata per kata di terjemahkan secara literal, lalu dirujuk maknanya dan diterangkan dengan detail oleh seorang Kyai. Dengan metode ini, tentu saja butuh waktu demikian lama untuk menuntaskan satu kitab. Karena biasanya, jadwal kajian per tema/satu kitab dilangsungkan tidak setiap hari.
Mungkin butuh 3 tahun untuk menuntaskan kitab Ihya Ulumuddin, dengan frekuensi dua atau 3 kali pertemuan dalam seminggu. Tapi dampak dari mengaji cara ini, internalisasi ke dalam bathin terasa meresap dalam, kendati lamban. Ungkapan kalimat-kalimat dalam Kitab Kuning akan terngiang dan teringat terus sampai pertemuan selanjutnya. Menjadikan proses pengajian adalah juga proses mengendapkan ke dalam hati sanubari dan mengejawantahkannya dalam laku perbuatan. Sang guru pengajar demikian dihormati dan dijunjung tinggi. Proses cantrik dan nyantri yang berlangsung hampir sepanjang hayat.
Era kini adalah serasa berlari. Serba cepat. Fastfood dan sekian fast lainnya melekat dalam semua hal. Kecepatan menjadi berhala. Informasi demikian mudah dan cepat. Tempo hari lalu, saya ingin sekali mengulang pengalaman lagi membaca sastra masa kanak-kanak. Karya Iwan Simatupang yang eksistensialis, Tagore yang klasik, Sitor yang ringkas dan indah.
Lalu, dengan internet, saya terhubung langsung dengan penyedia buku-buku bekas di Bandung, Jakarta, Yogya dan Malang. Luar biasa, dengan cepat semuanya tersaji kembali di rumah. Lantas? Ternyata, kesibukan membuat saya hampir abai untuk sekadar membuka dan menikmati sastra lama tersebut. Tertumpuk saja memenuhi rak. Juga demikian dengan niatan saya untuk mengaji kembali (ngalughot) Kitab Kuning. Kitab-kitab Alghazali, Abdul Qadir Jailani, Imam Nawawi, masih berjejer di lemari paling atas. Untuk mengaji problemnya menjadi bertambah, ternyata saya sudah banyak lupa kosakata bahasa Arab dan ilmu-ilmu alatnya. Duh.
Mencermati jagat sosmed, ternyata lebih gila lagi. Sangat hiruk-pikuk. Orang-orang menjadi seleb FB, twitter dan Instagram dengan umbaran kata-kata yang diobral murah. Kalau tidak kata-kata yang menyerang dan penuh marah, kata-kata bijak dan aneka kalimat petuah, bertebaran di timeline. Lantas bagaiman proses menginternalisasinya? Jika kita terus menerus diterpa sekian ujaran, merasa tercerahkan saat itu, lantas lupa detik berikutnya. Duh.
Sempat saya berprasangka baik saja, mungkin cara saya belajar dan paham mengikuti cara lama, sehingga dengan cara serba cepat serasa masuk labirin saja. Berputar ke sana kemari, tanpa paham peta arah dan tujuan.
Ada buku bagus yang menawarkan antitesa dari cara hidup serba cepat ini;, yakni gaya hidup Slow, alon-alon, alias woles. Buku tersebut ialah In Praise of Slow, karya Carl Honore. Carl, si penulis buku ini, terinspirasi manakala hendak membeli buku One Minute Bed Time Stories yang rencananya akan dibacakan bersama anak laki-lakinya berusia dua tahun. Gila aja, bahkan untuk momen bagaimana membangun hubungan intens ayah-anak, harus dikerangkeng dengan waktu yang cepat: 1 menit. Demikian pikiran Carl saat itu.
Sehingga lantas ia mencoba berpikir sebaliknya. Harusnya momen-momen bersama anak adalah momen yang indah, lambat dinikmati detik per detik, karena tidak akan pernah terulang lagi. Mengajari dan membangun emosi yang baik, yang spiritual dengan anak adalah dengan memberikan kesan-kesan mendalam dan kuat. Dan tentunya itu tidak akan terjadi dalam waktu yang diburu cepat.
Begitulah, saya kini berupaya mengerem banyak hal. Karena setiap orang, setiap kehidupan ada siklusnya. Ada masa kecil, ada masa naik, dan ada masa uzur. Ada takaran dan ukuran masing-masing. Bahan bakar diri dan semangat yang serba terbatas. Belum lagi hambatan fisik, yang menguzur dan kian luruh. Menimbang semua takaran, memenuhi hak setiap keberadaan diri adalah bagian dari “mengenal diri”. Tak ada kata terlambat atau terlampau cepat, sepanjang takaran dan timbangan kita akurat, tidak grasa-grusu. Alon-alon asal klakon. Lantas, tiba-tiba saya teringat bagian dari bait sebuah Kitab Suluk.
...
tuwuh ing jiwa kàng àrsa
paring tata mring lampah kàng raga kuwi
tàn bisa dipun sengka
...
Tumbuhnya jiwa yang akan
mengatur amal raganya itu
tidak dapat dipercepat.
Sastra Jendra -159
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI