Liburan lebaran yang lalu, Yogyakarta diperkirakan dipadati tidak kurang dari 3 juta pemudik (Yulianingsih & Aini, 2016). Untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga dan pemudik di Yogyakarta selama libur idul fitri tersebut, penyediaan logistik pangan selalu menjadi salah satu program prioritas pemerintah setiap tahun dimana isu ketersediaan, kualitas dan kestabilan harga sering menjadi topik seksi di media setiap bulan Ramadhan tiba. Diantara bahan pangan yang sangat diminati publik selama datangnya masa liburan adalah produk-produk berbahan dasar ikan dimana jumlah konsumsi ikan di Yogyakarta diketahui selalu mengalami peningkatan dibandingkan hari-hari biasa (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015). Adalah wajar jika publik perlu mengetahui apakah kualitas ikan yang didistribusikan di wilayah Yogyakarta sesuai dengan standar kesehatan mengingat hingga saat ini isu bahan cemaran berbahaya yang sengaja ditambahkan pada bahan makanan sebagai bahan pengawet sering menghiasi tajuk utama media. Disamping itu, publik perlu mengetahui apakah pihak berwenang khususnya pemerintah daerah telah melaksanakan langkah-langkah strategis untuk mencegah peredaran produk-produk berbahan dasar ikan di wilayahnya.
Salah satu bahan cemaran yang sering digunakan untuk mengawetkan ikan adalah formalin yang lebih dikenal sebagai pengawet mayat dan bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker apabila konsumen terpapar dalam jangka waktu lama melalui asupan makanan yang tercemar olehnya. Penyalahgunaan formalin sebagai bahan pengawet sering dilakukan karena biaya untuk mengawetkan ikan yang aman untuk kesehatan, misalnya dengan menggunakan es atau garam dalam proses pengolahannya sesaat setelah ditangkap atau dipanen, sering dianggap lebih mahal dibandingkan jika menggunakan formalin. Disisi lain, peredaran formalin di masyarakat belum dikendalikan dengan ketat dimana formalin teknis masih dapat diperoleh dengan mudah oleh siapapun. Badan POM nasional menemukan lebih dari 800 ribu ton formalin diproduksi dan diedarkan ditengah masyarakat oleh tidak kurang dari 20 produsen formalin di Indonesia dan setiap bulan setidaknya 1000 ton formalin bebas beredar (Taufan, 2007).
Walaupun berbagai peraturan perundangan telah diterbitkan untuk melarang penggunaan formalin sebagai pengawet makanan diantaranya seperti Peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988, Peraturan Menteri Kesehatan No 033/2012, UU No 7/1996 tentang Pangan dan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun sangat disayangkan bahwa hingga saat ini produk ikan berformalin masih sering ditemukan, tidak terkecuali di Yogyakarta. Sebuah sidak yang dilakukan instansi terkait di salah satu pasar tradisional di Kabupaten Kulonprogo yang dilaksanakan dalam rangka menyambut ramadhan tahun ini, menemukan berbagai produk ikan positif mengandung formalin (Hary, 2016; Widiastuti, 2016). TIdak berbeda dengan hasil pemeriksaan formalin gratis pada produk perikanan oleh instansi gabungan di bidang pengawasan mutu produk perikanan di Pasar Beringharjo tidak berapa lama yang lalu menemukan indikasi positif formalin pada produk ikan teri nasi (Stasiun KIPM Kelas I Yogyakarta, 2016). Tidak menutup kemungkinan peredaran ikan berformalin baik segar maupun awetan juga terjadi di pasar-pasar lain di wilayah Yogyakarta, mengingat selama ini distribusi produk – produk berbahan dasar ikan relatif tidak tercatat dengan baik oleh instansi pemerintah terkait.
Kekhawatiran akan keamanan produk ikan bagi kesehatan masyarakat cukup beralasan, karena dengan adanya tren peningkatan konsumsi ikan setiap tahun di wilayah Yogyakarta suplai ikan khususnya hasil tangkapan dari laut yang beredar di Yogyakarta justru didominasi produk dari kota-kota lain yang diketahui belum memiliki sistem pengendalian dan pencegahan peredaran ikan berformalin dan sering ditemukan kasus ikan berformalin dari asal produk tersebut. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan pasokan ikan segar laut untuk memenuhi kebutuhan warga Yogyakarta yang rata-rata perharinya dapat mencapai 18 ton dengan peningkatan kebutuhan selama ramadhan sebesar 20 %, diperoleh terutama dari Semarang dan Pati (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015), sedangkan ikan olahan berasal dari kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sayangnya, beberapa penelitian dan hasil sidak instansi berwenang menunjukkan bahwa ikan segar dan ikan asin berformalin atau mengandung bahan kimia berbahaya lain masih banyak ditemukan di berbagai pasar tradisional di kota-kota tersebut.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro, sepertiga dari sampel ikan yang diteliti yang berasal dari 6 pasar tradisional di Semarang positif mengandung formalin (Adisasmita, 2015; Telaumbanua, 2012). Penelitian lain menunjukkan kota-kota lain sebagai pemasok ikan segar dan olahan seperti Tegal, Rembang dan CIlacap juga masih ditemukan produk ikan berformalin (Agustini & Riyadi, 2008; Cessnasari, 2016). Bahkan zat-zat aditif berbahaya lain seperti rhodamin B, boraks, dan peroksida juga ditemukan dalam berbagai sampel produk berbahan dasar ikan di kota-kota tersebut. Tak ketinggalan, Jawa Timur sebagai salah satu asal produk ikan asin yang dipasok ke Yogyakarta juga masih ditemukan beredarnya ikan yang positif mengandung formalin atau bahan kimia berbahaya lain (Bisri, 2016; Saw & Fyd, 2016) terutama setahun yang lalu di Surabaya (Syarief, 2015). Yang lebih mengkhawatirkan, jaringan retail besar ternyata juga tidak luput dirambah produk ikan berformalin seperti yang terjadi di Palembang (Wulandari, 2016) walaupun di Yogyakarta sendiri hingga saat ini belum ditemukan positif formalin pada sampel ikan yang didistribusikan di pusat perbelanjaan tersebut.
Dari berbagai temuan produk perikanan yang positif mengandung formalin di Yogyakarta saat ini dapat dikatakan bahwa strategi pengawasan oleh instansi berwenang dengan melakukan sidak di berbagai pasar belum efektif untuk mengendalikan peredaran produk perikanan yang tercemar tersebut. Terlebih, temuan tersebut jarang ditindaklanjuti dengan tindakan hukum khususnya terhadap pelaku yang mengolah produk dengan menambahkan bahan kimia berbahaya dan pedagang yang mendistribusikannya sehingga tidak ada efek deterrant terhadap praktek ilegal tersebut. Disamping itu, penyuluhan yang dilakukan terhadap nelayan dan pengolah ikan juga belum dilakukan secara intensif dimana pengetahuan mereka tentang berbahayanya bahan-bahan tersebut bagi kesehatan masih sangat minim (Adisasmita, 2015; Agustini & Riyadi, 2008).
Dilain pihak peraturan daerah yang mampu mengendalikan dan mencegah produk perikanan yang tercemar dan beredar di Yogyakarta hingga saat ini belum cukup efektif. Justru sebaliknya, pelaksanaan peraturan perundangan untuk penjaminan mutu produk perikanan selama ini hanya difokuskan pada produk-produk ekspor karena permintaan yang ketat dari pihak buyeruntuk kepentingan penjaminan kesehatan konsumen di negara mereka. Oleh karena itu, pengawasan mutu produk perikanan disamping dilakukan di setiap rantai distribusi dari hulu hingga hilir juga mutlak harus dilakukan pada produk-produk yang diedarkan untuk pasar domestik.
TIdak kalah penting, instansi yang berwenang dalam pengawasan mutu perikanan khususnya di daerah harus melakukan penguatan kelembagaan dan peraturan perundangannya diantaranya dengan melaksanakan registrasi seluruh pedagang, melakukan pendataan seluruh pemasok produk perikanan yang masuk ke Yogyakarta dan dilanjutkan dengan monitoring berkala pada setiap simpul distribusinya serta melakukan penindakan hukum apabila masih ditemukan pendistribusi produk yang positif ditemukan bahan kimia berbahaya pada produknya. Disamping itu perlu dilakukan penetapan unit pengolahan ikan (UPI) dan inspeksi berkala terhadap UPI tersebut apakah telah melaksanakan cara pengolahan ikan yang baik. Tanpa pendataan dan pengendalian tersebut, program penjaminan mutu produk perikanan tidak akan representative menyatakan bahwa suatu daerah tertentu, misalnya Yogyakarta, telah bebas bahan cemaran berbahaya pada produk perikanan. Dengan strategi tersebut, setiap produk perikanan yang diedarkan di Yogyakarta akan memiliki ketertelusuran yang dapat dipertanggunjawabkan sebagaimana sistem yang sama diterapkan pada produk perikanan yang akan diekspor, untuk menjamin kualitas produk dan kesehatan konsumen domestik.
Referensi
Adisasmita, A. P. (2015). Survei keberadaan formalin pada produk perikanan laut segar yang dijual di pasar tradisional kota Semarang. (Sarjana Strata 1), Universitas Diponegoro. Retrieved from http://eprints.undip.ac.id/45879/
Agustini, T. W., & Riyadi, P. H. (2008). Model pengembangan kebijakan mutu dan keamanan produk perikanan di provinsi Jawa Tengah. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, 6(2), 167-178.