by Rafa Fayza AfrizalÂ
Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi salah satu kebijakan pemerintah yang banyak diadopsi, khususnya oleh negara-negara berkembang, dalam rangka pemberian perlindungan bagi masyarakat miskin dan rentan pada suatu kondisi tertentu. Kontroversi mengenai program BLT sudah menjadi momok perbincangan sejak awal kemunculannya, salah satunya yaitu anggapan bahwa BLT merupakan kebijakan yang "malas".
Pasalnya, bagi sebagian orang, BLT bak menjadi kartu As pemerintah terkait kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam urgensi tertentu. Pemberian BLT dinilai "malas" dalam penyelesaian masalah kemiskinan sebab seringkali BLT diberikan untuk meredam tekanan politik sesaat dan tidak memberikan solusi penyelesaian jangka panjang terkait permasalahan kemiskinan.
Sejumlah bantuan yang diberikan juga disinyalir tidak tersalurkan secara tepat, di mana pada survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia (2022) menunjukkan bahwa 59,8% masyarakat menilai bantuan tunai sebagai kompensasi dampak kenaikan harga BBM tidak tepat sasaran. Terlebih lagi, terdapat kekhawatiran dari sejumlah pemangku kebijakan dan masyarakat bahwa BLT akan membuat masyarakat miskin menjadi tidak termotivasi untuk bekerja.
Lantas, jika BLT dianggap sebagai kebijakan "malas", mengapa pemerintah terus menjadikan BLT sebagai strategi pemberantasan kemiskinan?
BLT sejatinya merupakan kebijakan pemerintah yang ditujukan sebagai shock absorber atas urgensi tertentu, contohnya pada saat pemotongan subsidi BBM. Saat terjadi pemotongan subsidi, harga BBM yang naik kemungkinan besar akan menyebabkan second-round effect pada kenaikan harga-harga komoditas lainnya akibat kenaikan harga produksi, termasuk penyesuaian gaji, yang biasanya terlihat beberapa bulan setelahnya. Peran BLT dalam mengkompensasi gejolak peningkatan harga-harga ini tentu dapat memberikan manfaat bagi masyarakat tidak mampu.
Kebijakan BLT yang berulang tak melulu mencerminkan kebijakan yang "malas". Efektivitas BLT pun tergolong baik. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh SMERU menemukan bahwa transfer tunai tanpa syarat dalam jangka pendek terbukti tidak memengaruhi perilaku atau preferensi penerima manfaat, seperti perubahan jam kerja, kebiasaan merokok, maupun kepemilikan asuransi. Dengan bukti dampak positifnya dalam memitigasi dampak guncangan ekonomi yang ditimbulkan, temuan tersebut juga menunjukkan bahwa transfer tunai tanpa syarat dalam jangka pendek masih layak dalam program perlindungan sosial pemerintah.
Dalam menilai fungsinya sebagai suatu kebijakan yang memberikan perlindungan sosial yang strategis, tentu perlu berbagai penyesuaian yang dilakukan oleh pemangku kebijakan agar BLT dapat menjadi kebijakan yang optimal, seperti sasaran penerima manfaat, besaran bantuan, dan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi efektivitas program untuk memberikan pemberdayaan ekonomi pada penerima bantuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H