“Kerja di mana Bu?” Pertanyaan ini kadang kudapat dari teman lama yang sudah lama tidak bertemu atau seseorang yang ngobrol denganku dalam suatu kesempatan. Kalau kujawab, “Hanya kerja di rumah aja”, biasanya masih ada pertanyaan lanjutan yang diluncurkan, seperti, “Oh buka usaha di rumah ya Bu?”. Tentu saja kujawab bukan dan menjelaskan maksudku adalah jadi ibu rumah tangga dan melakukan pekerjaan rumah tangga sebagaimana ibu rumah tangga lazimnya. “Oh, kirain”, begitu biasanya reaksi mereka dan aku sembari geli dalam hati membayangkan aktivitas rutinku sehari-hari, seperti memandikan para balita dan batita-ku, menyuapi mereka, menghadapi kerewelan mereka, mengantar ke sekolah, mengurus rumah, belanja untuk menu harian lalu memasaknya dan beberapa pekerjaan lainnya. Kadangkala ada juga yang bertanya rada-rada gimana gitu, “Ada yang bantu gak Jeng? (maksudnya pembantu) Khan lumayan jadi bisa kerja diluar, juga buat nambah-nambah atau biar gak jenuh dengan urusan rumah yang membosankan”. Waduh diriku cuma pasang muka mesem-mesem mendengar komentar terakhir tadi. Sebab kusadari, apa yang menjadi dasar atau ukuran dari pertanyaan tersebut tidak terlepas dari standar materi. Padahal pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga sejati bagiku memiliki ukuran yang jauh melebihi materi. Kalaupun ukuran materi dipertimbangkan, kira-kira apa pendapat anda dengan hasil survei yang dilakukan terhadap 18.000 ibu rumah tangga di Toronto sebagaimana yang diungkapkan situs http://www.reuters.com mengenai daftar pekerjaan rumah tangga mereka sehari-hari? Sebuah perusahaan standar penggajian mendeskripsikan nilai, harga dan gaji yang pantas terhadap pekerjaan para ibu rumah tangga bila mereka digaji. Disebutkan pendapatan mereka per bulan menurut standar penggajian Kanada mencapai $124.000 atau setara Rp1,116 milyar (kurs $1 = Rp9000). Dengan nilai sebesar itu yang harus diperoleh oleh seorang ibu rumah tangga, tentu hanya seorang CEO sebuah perusahaan besar atau pemilik perusahaan multinasional yang dapat menyamainya. Lena Boltos, seorang surveyor yang melakukan survei dan kalkulasi tersebut mengatakan, “Sebuah kesalahpahaman yang sangat jamak jika pilihan seorang wanita untuk menjadi ibu rumah tangga dianggap lebih mudah dan lebih ringan daripada menjadi wanita karir…” Maka amatlah disayangkan jika seorang ibu lebih rela mengorbankan urusan rumah tangga dan memilih menyerahkannya kepada pembantu dan baby sitter hanya karena sibuk bekerja demi gaji yang ternyata tidak sebanding dengan nominal di atas. Dari segi waktu, seorang ibu rumah tangga kadang melakukan pekerjaan rumahnya jauh sebelum terbit fajar dan baru berhenti jika seluruh penghuni rumah lainnya terlelap. Bahkan bagi ibu yang punya batita atau menyusui anaknya mesti terbangun di tengah-tengah tidurnya yang hanya memiliki waktu relatif singkat. Tentu ini melelahkan dan teramat melelahkan bagi ibu yang juga bekerja di luar rumah bila harus bangun malam untuk mengurus keperluan si kecil. Bisa diprediksikan bagaimana pelayanan dan perhatian seorang ibu yang sudah kelelahan terhadap kebutuhan bayi dan batitanya, meski hal ini relatif sifatnya. Jika dilihat dari pandangan agama, maka Islam tidak melarang para wanita untuk bekerja di luar rumah, akan tetapi Islam telah meletakkan posisi asli wanita sebagai ibu dan pengurus rumah tangga (ummun wa rabbatul bait) sehingga ia bertanggung jawab penuh atas pengurusan rumah tangganya dan perawatan serta pendidikan anaknya. Dengan kata mengurus rumah tangga dan menjalankan peran keibuannya adalah wajib sementara bekerja atau memperoleh penghasilan sendiri adalah boleh atau mubah selama tidak melalaikan kewajiban . Bahkan Islam memberikan kedudukan yang mulia dan terhormat kepada ibu rumah tangga sebagaimana yang digambarkan dalam hadist berikut:
Dari Anas ra berkata: “Serombongan wanita mendatangi rasulullah SAW dan berkata Asma binti Yazid, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah utusan bagi seluruh wanita di belakangku. Seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan, apa yang kutanyakan sama dengan pernyataan mereka dan pendapat mereka sama dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan perempuan, kemudian kami beriman kepadamu dan membai’atmu. Adapun kami para perempuan terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami hanyalah tiang penyangga (pengurus) rumah tangga kaum laki-laki, dan kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka. Kamilah yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi kaum laki-laki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat jum’at, mengantar jenazah dan berjihad. Apabila mereka keluar rumah untuk berjihad, kamilah yang menjaga harta mereka dan mendidik anak-anak mereka. Maka apakah kami juga mendapat pahala sebagimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?” Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah SAW tertawa dan menoleh kepada para shahabat seraya bersabda, ” Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang Dien yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”. Para shahabat menjawab, “Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu (mengutusmu) bahwa perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya, dan meminta keridhaan suaminya, mengikuti (patuh terhadap) apa yang disetujuinya, itu semua setimpal (dapat menyamai pahala) dari seluruh amal laki-laki yang kamu sebutkan tadi”. Maka Asma’ kembali kepada kaumnya sambil bertahlil dan bertakbir karena merasa gembira dengan apa yang disampaikan Rasulullah SAW kepadanya”. (HR al-Baihaqi).
Subhanallah! Inilah gambaran Islam tentang posisi ibu yang ditetapkan Allah dan RasulNya sebagai posisi yang mulia. Sehingga tidak layak ada kata-kata yang melemahkan atau mengecilkan peran sebagai ibu rumah tangga bahkan meninggalkannya. Berkaca lebih dalam dari hadist tentang Asma’ di atas, seorang ibu agar dapat mengoptimalkan perannya diharuskan untuk belajar dan meningkatkan pemahaman terhadap dien-Nya sebagaimana yang dilakukan oleh serombongan wanita yang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya kepada beliau. Proses pembelajaran ini tidak akan pernah terlepas dari aktivitas dakwah Islam yang tidak hanya dibebankan Allah kepada kaum laki-laki tetapi juga dibebankan kepada para muslimah. Dengan kata lain dalam Islam, muslimah haruslah berada pada posisi utamanya sebagai ummun wa rabbatul sekaligus pengemban dakwah. Oleh karenanya, jadilah ibu rumah ++, yaitu ibu rumah tangga sekaligus pengemban dakwah. Jika pun bekerja dan berkarir, pekerjaannya ini tidak membuatnya melalaikan kedua hal tersebut. tulisan ini dapat dilihat pula di http://ummuaysyahumairo.wordpress.com/2010/06/19/ibu-rumah-tangga-dalam-pandangan-islam/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H