Hari berganti hari hingga saatnya pengambilan raport. Seharusnya Ibu yang datang, tapi seperti biasa aku yang akan mengambilnya sendiri. Wali kelas membacakan hasil belajar siswa satu per satu, dari peringkat kelima hingga peringkat pertama.
"Marisa Andrasena peringkat ketiga."
Deg!
Jantungku seperti berhenti berdetak untuk sesaat. Seolah-olah waktu tidak lagi berjalan, aku hanya bisa terdiam sambil mencoba percaya bahwa apa yang kudengarkan adalah kenyataan. Karena Ibu tidak bisa hadir, aku menunggu giliran paling akhir untuk mendapatkan raportku.
"Selamat, ya, Marisa. Pertahankan terus hasil belajar kamu, kalau bisa malah naik jadi juara satu. Mengerti?"
"Iya, Bu. Terima kasih."
Aku berlari cepat setelah keluar dari area sekolah. Kali ini kakiku seperti mendapat banyak kekuatan untuk segera menemui Ibu.
"Bu, Mar dapat peringkat tiga. Mar masuk sepuluh besar, Bu!"
Aku terduduk di depan nisan yang telah menjadi tempat tidur abadi untuk Ibu. Ibu menghabiskan banyak waktu untuk mendukung kekuranganku, tapi dia tidak dapat menunggu sedikit lebih lama untuk membanggakanku pada keluarga yang membuangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H