Bertempat di lingkungan yang sibuk karena berada di wilayah Pasar Kranggan, Klenteng Poncowinatan merupakan tempat peribadatan orang-orang Konghucu yang tinggal di Yogyakarta. Pada hari jumat pagi, saya dan teman saya pergi untuk berkunjung ke klenteng tersebut. Di mulai dengan pergi ke Pasar Kranggan untuk membeli sarapan kemudian kami menuju ke Klenteng Poncowinatan.Â
Posisi Klenteng Poncowinatan berada di bagian belakang Pasar Kranggan. Dalam perjalanan menuju ke klenteng di pukul 9.30, jalan cukup padat karena masih dipenuhi oleh masyarakat sekitar yang berbelanja di Pasar Kranggan. Kami mengendarai motor untuk sampai ke tempat tujuan. Di jalan, kami sempat terhenti karena jalan yang cukup sempit dan terdapat truk yang berhenti membuat mobil di depan kami tidak bisa lewat. Kami menunggu sampai truk tersebut dapat bergerak barulah kami dapat bergerak. Tidak jauh setelah kami terbebas dari kemacetan, kami pun sampai di Klenteng Poncowinatan.Â
Kami memasuki pagar ke tempat parkir klenteng. Tempat parkir cukup luas, tetapi sayangnya kebanyakan yang parkir di sana merupakan masyarakat yang belanja di Pasar dan bukan pengunjung klenteng. Kami pun memarkirkan motor, melepas jaket, dan siap untuk berkeliling klenteng.Â
Bagian depan klenteng terbuat dari kayu, begitu pun dengan pintu-pintunya. Bagian depan dari pintu digambari dengan dewa-dewa di sana. Melihat bagian depan pintu klenteng rasanya bagaikan memasuki dunia baru yang belum pernah saya masuki walau begitu ada rasa haru yang dirasakan. Mungkin karena hari itu merupakan hari pertama saya mengunjungi klenteng tetapi bukan pertama kalinya saya mengetahui tentang dewa-dewa yang ada karena novel-novel china yang saya baca. Rasa haru yang saya rasakan mungkin karena saya menjadi tahu bagaimana dewa-dewa yang ada di novel ada di kenyataan, meskipun dewa-dewa tersebut berbeda. Ada pun rasa kagum, seperti "Wow.. menarik! Jadi seperti ini, klenteng.." yang juga saya rasakan. Namun itu baru bagian depan. Ketika memasuki klentengnya, saya merasakan lebih banyak lagi rasa takjub.
Ketika memasuki bagian dalam klenteng, kami merasa ragu antara tempat tersebut boleh dikunjungi untuk sebatas pengunjung atau tidak karena tempatnya yang cukup sepi. Kami melihat seorang penjaga yang duduk di kursi yang terdapat disana. Karena rasa takut salah yang kami rasakan, akhirnya teman saya bertanya ke penjaga tersebut apakah kami boleh untuk berkeliling di sana. Penjaga tersebut pun menjawab boleh. Barulah kami merasa tenang dan mulai mengelilingi klenteng.Â
Dari pintu masuk, kami melihat ke arah kanan. Terdapat meja panjang dan banyak sekali kursi yang entah untuk apa. Namun kesan pertama yang diberikan, tempat tersebut seperti meja makan untuk jamuan. Kemudian dibagian kiri terdapat seperti ruang utama dari kuil, tetapi kami melewatinya terlebih dahulu dan berjalan lurus kedepan. Saya sangat kagum dengan bagaimana klenteng tersebut dibangun. Bentuknya seperti huruf U yang bagian tengahnya terdapat ruang utama tersebut. Di bagian garis U nya, dibuat kamar-kamar kecil yang diisi dengan berbagai macam dewa. Ketika kami berkeliling, kami berpapasan dengan beberapa orang yang sedang sembahyang. Melihat dari tampangnya, mereka sepertinya berasal dari negara china atau sekitarnya. Kami sedikit membungkuk padanya, dan orang tersebut membungkuk kembali kepada kami sambil tersenyum lalu memasuki ruangan lain untuk melanjutkan sembahyangnya. Setelah itu, kami lanjut jalan hingga berada di ujung sisi yang lain. Kami pun memasuki ruang utama.
Ketika memasuki aula utama, secara spontan saya mengucapkan "Wow!" karena keindahan dari ruangan tersebut. Ruangan luas dengan satu patung dewa besar yang terpajang dan sebuah meja yang di atasnya terdapat seperti guci dari kuningan berisi tumpukan abu untuk menancapkan dupa bagi penyembahnya. Aura merah klenteng yang dipancarkan menambah rasa spesial ketika memasukinya dan juga lonceng besar di bagian pojok ruangan, memberikan rasa, "Yup! Inilah klenteng." Selain itu, terdapat buku --sepertinya kitab-- yang disediakan. Mereka juga menyediakan kalender gratis yang telah ditambahkan di dalamnya hari-hari penting agama tersebut. Di ruang itu, kami melihat orang yang berpapasan dengan kami sebelumnya, dan yup! mereka berasal dari daerah china karena kami mendengar mereka menggunakan bahasa china ketika mengobrol dengan yang sepertinya anggota keluarganya. Melihat mereka sangat menghormati dewa-dewa tersebut, seketika saya merasa tidak sopan karena mengambil foto para dewa tersebut. Namun teman saya bilang tidak apa, lagipula tempat tersebut dijadikan sebagai tempat wisata. Karena itu, sepertinya diperbolehkan.Â
Setelah puas melihat aula utama, kami keluar dari ruangan tersebut, dan kami ingat sebelum memasuki ruang utama kami melihat tangga untuk naik ke lantai dua, tetapi karena tidak ada tulisan apa-apa kami pun mengabaikannya. Namun bagaimanapun, rasa penasaran akan apa yang ada di lantai dua membuat kami memaksakan untuk naik ke lantai dua tanpa bertanya terlebih dahulu. Tangga naiknya sangat curam, cukup bahaya jika lengah sedikitpun. Setelah melewati tangga curam tersebut, sampailah kami di lantai dua.