Apakah kalian tahu?? Jika hukum di Indonesia masih pake hukum kolonial belanda. Untuk melepaskan hukum pidana kolonial yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang mengekang masyarakat Indonesia, makanya nih kita butuh RUU KUHP buatan Indonesia agar sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Namun, seiring perkembangannya  alih-alih yang harusnya kita melakukan dekolonialisasi, pemerintah dan DPR RI malah seperti merekolonialisasi kita semua, apakah sudah proporsional? karena saat ini terasa bukan penjajah yang menjajah namun negara sendiri.
RUU KUHP yang telah di sahkan pada sidang paripurna di Jakarta menjadi UU oleh DPR pada selasa tanggal 6 desember 2022 berikut dapat mengancam kebebasan berpendapat, berikut pasal yang bermasalah :
1. Pencemaran Nama Baik (Pasal 218 ayat 1 )
"Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV atau setara Rp. 200 juta"
Karena menurut PSHK, Presiden tak memiliki fitur moralitas untuk merasa dihina. Setiap komentar merupakan bentuk penilaian atas kinerja
Namun menurut ahli hukum, mengapa bisa presiden dan wakil presiden memiliki hak istimewa bukankah ini diskriminasi padahal sudah ada pasal penghinaan untuk setiap orang? Karena presiden dan wakilnya adalah orang pertama dari yang sederajat, untuk melindungi martabat, dan yang perlu di tekankan esensi penghinaan ada dua yaitu menista dan fitnah. Maka orang penafsir harus ditentukan betul agar tidak salah kaprah.
2. Penghinaan Terhadap Pemerintah Atau Lembaga Negara (pasal 240 ayat 1)
"Setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau Lembaga negara. Dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak ketegori II atau setara Rp. 10 juta"
LBH Jakarta menilai bahwa suatu "penghinaan itu sulit dibedakan dengan kritik sehingga memungkinkan terjadi salah paham maupun salah kaprah.
3. Pers dan berita yang dianggap "bohong" (Pasal 263 ayat 1)
"Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita tersebut bohong dan dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat. Dipidana  dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda pidana  paling banyak kategori V atau setara Rp. 500 juta"
Dewan pers menyatakan apabila begitu wartawan bisa dihukum karena dugaan menyebarkan kabar yang dapat menimbulkan keonaran.
Apakah kita ingat pasal 28 UUD 1945 yaitu berbunyi " kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya di tetapkan oleh undang-undang" hal diatas tidak selaras dengan pasal RKUHP saat ini, karena tentu kita ketahui bersama bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang fundamental untuk menyuarakan HAM apabila negara luput memenuhi janji.
 Menurut Zainal Arifin Mochtar " Dalam membentuk UU tidak boleh sembrono menganggap enteng hal tersebut karena masih ada MK sebagai keranjang sampah sebagai uneg -uneg warga negara seakan akan menghilangkan tanggung jawab negara, Maka pemerintah memiliki kewajiban untuk membuat undang undang yang baik dan proporsional menuju system hukum yang lebih baik untuk masyarakat indonesia"
Maka dari itu dari pembahasan di atas seandainya kebijakan publik yang di ambil bersifat transparan baik dari proses sampai hasil, mengadakan dialog terbuka yang dilindungi konstitusi sehingga beragam suara rakyat indonesia dapat tersampaikan.
Kita tidak perlu mengecilkan suara jika yang dibutuhkan adalah teriakan!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H