Tepat pada malam Senin kemarin, saya memutuskan untuk menonton film Jepang yang sudah cukup lama ingin saya tonton karena genrenya merupakan salah satu genre favorit saya dalam per-film-an, thriller.
Saya mengetahui film ini pada awal bulan Maret dari twitter. Ada seseorang yang merekomendasikan film ini lewat base twitter khusus film dan series. Saya pun tertarik, dan otomatis film ini saya masukkan ke dalam daftar watchlist saya.
Film ini berjudul Confessions, atau Kokuhaku dalam bahasa aslinya yang dirilis pada tanggal 5 Juni 2010. Disutradarai oleh Tetsuya Nakashima, berdasarkan novel misteri yang dibuat oleh Kanae Minato, seorang ibu rumah tangga yang menjadi pengarang. Buku ini sendiri telah diterbitkan pada tahun 2008, dan meraih kemenangan dalam Penghargaan Penjualan Buku Jepang yang bernama Honya Taisho pada tahun 2009.
Film ini juga mendapatkan atensi dari dari orang-orang luar Jepang, dan terpilih sebagai entri Jepang untuk Film Berbahasa Asing Terbaik di Academy Awards ke-83 yang diadakan oleh Academy of Motion Pictures Arts and Sciences di Amerika Serikat.
Di Jepang sendiri, film ini memenangkan penghargaan untuk Film Terbaik di Blue Ribbon Awards ke-53 yang merupakan penghargaan khusus film yang diberikan oleh para kritikus dan penulis di Tokyo, Jepang.
Tak hanya itu, film ini juga mendapatkan 6 nominasi dalam Penghargaan Film Asia ke-5 dan menjadikannya salah satu film dengan nominasi terbanyak.
Jujur saya cukup kaget ketika melihat ‘sejarah’ film keluaran tahun 2010 ini, karena hingga tahun 2021 sekarang, saya baru tahu ada film Jepang yang sebagus ini. Memang, dunia per-film-an Jepang berada di level yang berbeda.
Film ini memiliki sinopsis seorang guru yang membalaskan dendam kepada dua orang muridnya. Waktu saya membacanya pun, saya pikir alur ceritanya akan berfokus kepada ‘pembalasan dendam’ yang dilakukan sang guru, dengan gurunya sebagai tokoh utama.
Namun saya salah. Film ini memiliki alur yang kompleks, dan diceritakan dari sudut pandang sang guru dan kedua muridnya, ditambah beberapa orang yang ‘tertarik’ masuk ke dalam lubang konflik.
Pada awal film, saya melihat seorang guru yang sedang berada di suatu kelas dengan para murid-muridnya yang sedang meminum susu dalam mode slow motion. Saat itu, sekolah mereka dipilih sebagai Brand Ambassador sebuah produk susu.
Sang Guru menjelaskan pentingnya mengonsumsi susu kepada murid-muridnya, karena mereka adalah anak-anak SMP yang sedang dalam masa pertumbuhan. Namun, seluruh murid di kelas tersebut mengacuhkan guru tersebut, hingga akhirnya ketika guru tersebut mengatakan bahwa dirinya akan mengundurkan diri, barulah seluruh murid dikelas tersebut memperhatikan sang guru.
Guru yang hendak mengundurkan diri ini juga menceritakan tentang suaminya yang mengidap HIV-AIDS dan kematian anaknya yang berumur 4 tahun bernama Manami, diduga terpeleset dan jatuh ke dalam kolam. Namun guru ini tidak mempercayai polisi, dan memilih mengusut kasus yang sebenarnya terjadi.
Guru tadi membeberkan perbuatan kedua muridnya yang membunuh Manami di kelas tersebut tanpa menyebutkan nama kedua murid tersebut. Teman-teman sekelasnya pun dapat dengan mudah menebak siapa pelakunya.
Film ini berdurasi 106 menit, namun di menit-menit pertama saya sedikit bingung karena titik fokus film yang sesuai dengan sinopsisnya telah ditunjukkan di bagian awal film. Namun begitu saya menonton selama setengah jam lebih, film ini mulai memperlihatkan cabang masalah yang diakibatkan perkataan sang guru.
Alur film ini maju-mundur dengan sudut pandang yang berganti-ganti dari beberapa aktor utama. Saya akui cinematography dan efek tambahan film ini bagus dan terkesan natural, tidak berlebihan.
Karena film ini bergenre thriller, maka efek visual film ini memiliki tone yang gelap dan berkesan kelam, sangat mendukung alur cerita yang ditampilkan dengan rapi dan apik.
Ketika guru telah selesai membeberkan perlakuan kedua muridnya yang membunuh putrinya dengan menunjukkan barang bukti, guru menerangkan bahwa kedua muridnya tidak mendapatkan hukuman karena terlindungi oleh Juvenile Law, yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak.
Tentunya sang guru tidak terima, yang akhirnya membuat ‘pembalasan’ kepada kedua murid tersebut dengan caranya sendiri, yaitu menyiksa batin kedua murid itu secara perlahan yang sakitnya berkali-kali lipat.
Ketika guru menjelaskan pelaku pembunuhan Manami, guru menyebut kedua pelakunya itu sebagai murid A dan Murid B. murid A merupakan murid jenius yang memenangkan kontes ilmiah dengan alat ciptaannya berupa dompet yang dapat mengalirkan listrik bagi siapapun yang membuka dompet tersebut. Murid A ini juga menciptakan alat-alat lainnya yang ‘mematikan’, yang digunakan untuk menyiksa hewan.
Sedangkan Murid B hanya merupakan murid biasa yang kerap di-bully oleh teman-teman sekelasnya. Murid B ini tak sengaja ikut terbawa aksi pembunuhan putri dari gurunya karena ajakan dari Murid A. meskipun begitu, Murid B juga turut merasakan ‘hukuman’ kejam yang diberikan oleh gurunya.
Dari pertengahan film hingga ending yang menceritakan kedua murid yang sengsara akibat hukuman gurunya itu, saya bahkan hingga geleng-geleng kepala karena film yang ‘tak biasa’ ini. Dan yang membuat saya bergidik adalah, kejadian seperti di film ini memiliki kemungkinan akan terjadi di dunia nyata.
Bagaimana tidak, remaja adalah masa-masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang dapat dikatakan masa yang rumit, bahkan remaja sendiri sukar memahami dirinya sendiri. Baik dari segi fisik, psikologis, hormon, dan pola pikir mereka sedang berkembang.
Film ini juga menceritakan apa faktor-faktor yang membuat kedua murid ini melakukan tindak kejahatan dengan membunuh putri gurunya, dengan penjelasan latar belakang kedua murid tersebut.
Meskipun film ini memiliki latar pelajar anak SMP berusia 13 tahun, namun target penonton dari film ini adalah orang-orang dewasa. Jika kalian tertarik dengan film thriller, pasti kalian akan suka dengan film yang satu ini karena film ini bukanlah film thriller biasa.
Sejujurnya saya sedikit menyesal mengapa saya menonton film ini pada malam Senin, karena saya selesai menonton ketika pukul 00.38 pagi dan film ini sedikit membuat saya susah tidur, padahal hari Senin saya ada kelas pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H