Terdapat dampak langsung (sistem pangan yang terganggu) dan tidak langsung (akses ekonomi terhadap pangan terganggu) dari COVID-19 pada ketahanan pangan. Menurut World Food Program (WFP) dampak ekonomi dari pandemi dapat mengakibatkan dua kali lipat jumlah orang yang menderita kelaparan akut pada akhir tahun 2020. FAO memperkirakan bahwa pandemi COVID-19 dapat menambah 83--132 juta orang menjadi kekurangan gizi pada tahun 2020.
Selama beberapa tahun ini, sistem perdagangan global semakin terdistorsi oleh berbagai tindakan proteksionis dan pembatasan perdagangan. Biasanya, pemerintah berupaya membuat negara mereka mandiri pangan dengan melindungi produsen pangan dalam negeri. Di banyak negara berkembang dan negara kurang maju (Least Developed Country/LDC), larangan ekspor telah diberlakukan untuk mengekang inflasi pangan dan membangun cadangan makanan pokok. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Â melaporkan bahwa sejak dimulainya pandemi, Kyrgyzstan, Makedonia Utara, Ukraina, Thailand, dan Mesir memulai larangan ekspor pada berbagai produk makanan dan pertanian dan secara khusus mengaitkan tindakan tersebut dengan COVID-19 (WTO, 2020). Rusia, pengekspor gandum terbesar di dunia, dan Vietnam, pengekspor beras terbesar ketiga, menerapkan tindakan pembatasan ekspor pangan sementara. Pandemi tersebut telah memperburuk ketegangan perdagangan AS-China, di mana tarif perdagangan makanan secara intensif digunakan sebagai alat tekanan ekonomi. Sebagian besar negara telah menerapkan kontrol bea cukai tinggi pada kapal kargo, dengan risiko khusus untuk makanan yang mudah busuk dan dengan risiko membahayakan aktivitas pengiriman. Terdapat langkah-langkah kebijakan yang bertujuan untuk menghindari penyebaran COVID-19 yang dapat memperlambat produksi pangan dan meningkatkan harga pasar secara global (misalnya, standar kesehatan yang lebih ketat di pertanian dan pabrik pangan, pembatasan pergerakan pekerja pertanian, kekurangan pupuk, obat-obatan hewan, dan input lainnya). Secara total, setidaknya dua pertiga negara telah menerapkan berbagai tindakan proteksionis yang saat ini memengaruhi sekitar 5% produk pangan dan pertanian yang diperdagangkan secara global.
Ketika pemerintah di seluruh dunia memberlakukan pembatasan ekspor pangan yang dapat menciptakan volatilitas yang ekstrem di pasar, memicu kekurangan pangan dan mengakibatkan krisis pangan. Misalnya, selama kemerosotan ekonomi global 2007-2008, kenaikan dua kali lipat harga pangan dunia terutama disebabkan oleh pembatasan perdagangan yang diberlakukan oleh eksportir beras, gandum, dan kedelai terbesar. Tindakan yang bertujuan untuk mencegah kekurangan nasional di beberapa negara berkontribusi pada putusnya rantai logistik untuk makanan pokok di banyak pasar nasional. Negara berkembang sangat rentan terhadap distorsi semacam itu. Pada tahun 2020, WFP memperkirakan peningkatan paling substansial dalam jumlah orang yang menderita kelaparan akut terjadi di seluruh LDC di Afrika Sub-Sahara dan negara berkembang di Timur Tengah serta Amerika Latin. Sebagian besar negara ini adalah pengimpor pangan dan produk pertanian. Menurut FAO, dari 65 negara berkembang dan LDC di mana dampak merugikan yang baru-baru ini terjadi dari penurunan ekonomi akibat pandemi COVID-19 terhadap ketahanan pangan paling kuat, 52 negara di antaranya sangat bergantung pada impor pertanian. Dalam situasi yang mengganggu pasokan pangan, ketergantungan pada impor sangat mengancam ketahanan pangan negara-negara tersebut, terutama ketika pembatasan ekspor diberlakukan oleh pemasok terkemuka dunia seperti Rusia, Vietnam, dan Ukraina. Seiring penyebaran COVID-19 dan tindakan karantina yang ketat memicu penurunan ekonomi, bahkan negara maju pun mengalami kenaikan harga pangan kecuali jika pemerintah mengambil tindakan pencegahan atau pengecer menanggung sebagian biaya. Sejak Februari 2020, harga rata-rata beras global telah meningkat 7,1%, daging sapi sebesar 7,0%, daging ayam sebesar 5,5%, dan kentang sebesar 8,3% (FAO, 2020). Karena kapasitas yang terbatas untuk memproduksi tanaman pokok di dalam negeri, negara berkembang lebih rentan terhadap inflasi pangan dan kekurangan pasokan. Hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2020 di awal wabah COVID-19, lebih dari lima belas negara berkembang telah mengalami peningkatan cost of a basket of food staples (lebih dari 10%) (WFO, 2020). Di banyak pasar, harga pangan meningkat karena masalah logistik lokal (FAO, 2020). Ada juga ketergantungan negara berkembang terhadap sumber daya mereka yang terbatas pada sejumlah kecil produk makanan yang diekspor ke beberapa pasar, banyak di antaranya telah terpengaruh oleh wabah COVID-19 (WTO, 2020). Dalam salah satu skenario perdagangan yang disimulasikan oleh Vos et al., perlambatan ekonomi global sebesar 1% akibat pandemi dapat menyebabkan penurunan ekspor pangan negara berkembang hampir 25%.
Ada serangkaian penelitian yang membahas aspek perdagangan pasokan pangan (Ritson, 1980), tetapi sebagian besar berfokus pada kemandirian pangan daripada ketahanan pangan. Menurut FAO, sebuah negara swasembada memenuhi kebutuhan pangannya melalui produksi dalam negeri. Meskipun beberapa negara berkembang di Afrika (Mali dan Senegal) dan Amerika Latin (Bolivia, Ekuador, dan Venezuela) telah menganut ide swasembada pangan dalam kebijakan nasional mereka (Shattuck, 2015), kemajuan liberalisasi perdagangan pangan selama beberapa dekade terakhir telah memfokuskan kembali perhatian dari swasembada, sebuah konsep yang sering dikaitkan dengan proteksionisme dan bahkan autarki (Kofman, 1997). Sebagian peneliti mengartikan ketahanan pangan tentang membangun keseimbangan antara produksi dalam negeri dan impor, banyak penelitian lain mengkategorikan ketahanan pangan sebagai masalah pertanian (Squires, 2020), ekonomi (Manap, 2019), atau kesehatan (Kinsey et al.) daripada sebagai masalah perdagangan.
Namun, di puncak krisis COVID-19, baik kesenjangan permintaan yang lebih besar maupun lonjakan harga pangan menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan internasional memainkan peran yang lebih luas dalam memastikan ketahanan pangan di tingkat nasional daripada yang diperkirakan sebelumnya. Dengan latar belakang krisis kesehatan, peningkatan jumlah orang yang kekurangan gizi dibarengi dengan perlambatan ekonomi global --- sebuah trilema yang belum dieksplorasi secara memadai. Dalam studi kolektif yang disusun oleh Komite Koordinasi Kegiatan Statistik UNCTAD, tiga lusin organisasi dan lembaga mengidentifikasi saluran utama penularan pandemi ke sektor pangan dan pertanian, dan menghitung potensi dampak wabah COVID-19 pada input pertanian, pasar, perdagangan pangan, dan konsumsi pangan. Dampak ekonomi dan perdagangan COVID-19 pada ketahanan pangan tidak dirinci untuk negara berkembang dan LDC. Â Â Â Â Â
Demikian pula, dampak perdagangan pada rantai pasokan makanan masih sedikit dieksplorasi di berbagai penelitian tentang COVID-19 yang muncul pada tahun 2020. Sebagian besar artikel terbaru secara khusus menekankan aspek keamanan pangan (Unhale, 2020), produktivitas pertanian (Mukiibi, 2020), dan gizi (Rahman, et al.), daripada impor pangan dan neraca perdagangan sebagai dimensi ketersediaan pangan. Dampak fluktuasi nilai tukar internasional dan inflasi pangan terhadap pilar akses ketahanan pangan juga masih diamati. Hubungan antara kenaikan harga dan akses pangan telah dipertimbangkan terutama dalam hal gangguan pasokan dan kekurangan di sepanjang rantai pasok pangan (Zurayk, 2020). Sampai saat ini masih belum ada penelitian komprehensif yang menghubungkan tingkat kejadian COVID-19 dengan jumlah orang yang kekurangan gizi atau tingkat ketergantungan pada impor makanan.
Referensi
Benton, T. COVID-19 and Disruptions to Food Systems. Agric. Hum. Values 2020
Food and Agriculture Organization of the United Nations. Daily Food Prices Monitor. Available online: https://datalab.review.fao.org/dailyprices.html (accessed on 10 July 2020).
Food and Agriculture Organization of the United Nations. Food, Nutrition, and Agriculture; FAO: Rome, Italy, 1992.
Food and Agriculture Organization of the United Nations; International Fund for Agricultural Development; United Nations Children's Fund; World Food Programme; World Health Organization. The State of Food Security and Nutrition in the World 2019. Safeguarding against Economic Slowdowns and Downturns; FAO: Rome, Italy, 2019.