Saya menyimak pernyataan Leila Mona Ganiem, 4 Oktober lalu, yang menyatakan pada Harian Media Indonesia bahwa para pakar pendidikan kedokteran sejatinya meyakini standar kompetensi yang tertera dalam standar kompetensi dokter Indonesia (SKDI) 2012 pada pendidikan dokter umum sudah cukup untuk menghasilkan dokter yang baik.Â
Tetapi untuk menilai kualitas dokter yang ada di Indonesia tentu memerlukan berbagai aspek penilaian. Tidak dapat serta merta kita menentukan kualitas para dokter di Indonesia itu dengan melakukan generalisasi. Saya sepihak dengan pernyataan beliau bahwa SKDI 2012 yang menjadi dasar acuan para perguruan tinggi untuk mencetak dokter itu sudah cukup untuk menjamin. Yang menjadi pertanyaan adalah apa semua perguruan tinggi sudah melaksanakan kegiatan akademik yang berdasar SKDI ini dengan baik?
Dari 75 Fakultas Kedokteran yang ada, baik negeri ataupun swasta, baru 23 persen yang menyandang akreditasi A. Bila kita menilik pada website BAN-PT, ada sekitar 15 lebih Fakultas Kedokteran yang baru terdaftar. Selebihnya akreditasi B 37 persen dan akreditasi C 40 persen. Untungnya untuk menjadi dokter memerlukan sebuah 'ujian nasional' yang sudah terstandardisasi untuk menjadi sebuah wujud nyata usaha pemerataan terhadap kualitas.Â
Namun, 'ujian nasional' tersebut juga masih mempunyai masalah dalam meluluskan calon dokter seperti angka kelulusan ternyata lebih banyak dicapai oleh lulusan fakultas terakreditasi A. Bagi para calon yang belum lulus, berhak mengulang sampai tiga kali. Dengan segala sistem yang sudah berjalan, saya menarik kesimpulan bahwa dokter Indonesia mempunyai kualitas yang mumpuni karena selalu dikawal oleh lembaga negara, yaitu Konsil Kedokteran Indonesia, meski masih memerlukan perbaikan pada beberapa aspek dalam pendidikannya.
Bila dilihat dari segi kuantitas, jumlah dokter umum yang terdaftar dalam KKI.go.id adalah 114.602 jiwa dan dokter spesialis 31.784 jiwa (terhitung sampai awal Oktober). Mengingat jumlah rakyat Indonesia, maka rasio dokter umum dengan masyarakat adalah 1:2.225 dan rasio dokter spesialis dengan masyarakat adalah 1:8.022. Rasio tersebut meningkat setiap tahunnya.Â
Target ideal rasio dokter umum dengan masyarakat adalah 1:4.000 dan rasio dokter spesialis dengan masyarakat adalah 6:100.000. Untuk tahun 2016 ini, dapat disimpulkan bahwa jumlah dokter yang dibutuhkan rakyat Indonesia masih kurang. Tetapi kita patut optimis bahwa tahun-tahun ke depan akan mencapai angka yang ideal, mengingat terjadi kenaikan tiap tahunnya. Meski begitu, masalah yang utama menurut saya bukanlah pada kuantitas. Saya lebih menitikberatkan pada permasalahan distribusi.
Distribusi dokter yang belum merata masih merupakan sorotan publik. Kita mendapati bahwa dokter wilayah Indonesia Timur adalah yang paling sedikit (1.643 dokter umum, terhitung sampai awal Oktober), dilanjutkan dengan Indonesia Tengah (16.548 dokter umum). Kesan bahwa dokter lebih memilih untuk melakukan praktik pada kota/kabupaten daripada di daerah lain semakin terasa benar. Meski begitu, di dalam kota/kabupaten pun dokter harus melakukan struggle dengan kesejahteraannya.Â
Menilik opini dr. Surya di Kompasiana.com, bila pilot mempunyai batas jam terbang maksimal (30 jam seminggu dan off 24 jam), bagaimana dengan dokter? Dokter masih pontang-panting praktik di banyak tempat. Sistem regulasi tempat bekerja mengatur jam kerja. Lelahnya seorang dokter berisiko terhadap pasien yang ditangani. Sistem regulasi waktu kerja dokter masih menjadi persoalan sendiri.
Bila di kota besar para dokter kerap terganggu kesejahteraannya, bagaimana ada yang sukarela pergi ke daerah terpencil? Saya setuju dengan dr. Surya dalam hal ini. Hemat saya, dengan terjaminnya kesejahteraan dokter di daerah terpencil, ini dapat menjadi solusi. Belajar dari sejawat kita almarhum dr. Andra yang meninggal ketika menjalankan program internship, pemerintah sudah seharusnya mengalihkan perhatian kepada sistem penjamin kesejahteraan dokter.Â
Aspek insentif atau kompensasi finansial merupakan pertimbangan terpenting sebagai motivasi dokter untuk mengabdi di daerah terpencil. Selain aspek tersebut, aspek sarana prasarana kerja yang memenuhi standar kedokteran, aspek kemungkinan pengembangan karir dan dasar hukum yang jelas merupakan aspek lain yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Sebagai kesimpulan, permasalahan dokter yang pelik ini tentu memerlukan perbaikan dalam berbagai aspek. Mahasiswa sebagai wujud nyata roda pembangunan tentu harus menyuarakan solusi bersama dengan pemerintah. Kita dapat menuangkan segala ide, kritik dan saran pada wadah Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia atau ISMKI.Â