Kepemimpinan angkatan muda adalah hal yang niscaya. Terjadi di mana-mana, di setiap belahan dunia. Tak terkecuali di ranah Badan Eksekutif Mahasiswa. Bukankah dalam sejarahnya pemuda tidak pernah absen dari perjuangan bangsa? Bahkan kemerdekaan pun dihasilkan dari pergerakan para belia. Jika angkatan muda tidak menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Proklamasi 17 Agustus tidak akan pernah berdengung di telinga rakyat Indonesia.
Salah satu ciri khas yang melekat pada pemuda adalah mental baja dan keberanian luar biasa. Meski demikian, etos memberdayakan sesama tetap jadi yang utama. Terlalu hina jika orientasinya mengejar jabatan semata.
Menjadi pemimpin harus siap banyak mendengar dan menerima kritik, bukan banyak bicara, menuntut dan otokratik. Jangan pernah membohongi diri bahwa rasa takut selama memimpin adalah hal yang wajar dan tak bisa dihindari. Akan tetapi, mengakui ketakutan dengan menetapkan langkah ke depan adalah pilihan yang harus dilakukan. Sangat wajar apabila rasa ini timbul sebelum menapaki satu anak tangga ke depan. Jika tidak? Sangat mungkin kerja-kerja kita hanya berupa hal biasa, tidak banyak berarti dan berdampak untuk khalayak.
Memimpin berarti harus melayani bukan untuk kepentingan golongan bahkan pribadi, tetapi untuk rakyat. Jangan sekali-kali berkoar mengkritisi tetapi tidak pernah turut andil untuk memperbaiki. Lantas setelahnya hanya mengamati dan tertawa serta menjelekkan sana sini tanpa langkah konkrit yang pasti.
Pada hakikatnya saya masih percaya bahwa kesuksesan diukur ketika bisa bermanfaat untuk orang lain. Dimulai dari langkah kecil untuk akhirnya melakukan lompatan besar.
-Semarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H