Hidup memang aneh, saya yang notabene bukan orang yang berdomisili di Sumatera Utara, malah adem ayem mencari nafkah di provinsi ini, sendirian tanpa kerabat sama sekali di sini. Hidup memang aneh, atau memang hidup normalnya seperti ini? Sudah genap tiga puluh bulan saya merantau di sini, terhitunglah dengan jari berapa kali saya pulang kampung, satu, dua, tiga, empat, dan... baru empat kali ternyata.
Saya orangnya malas pulang ke rumah, mageran kalau bahasa millenialnya, malas packing, malas membawa oleh oleh, malas juga mengeluarkan uang untuk pulang kampung, kalau dihitung hitung sekali pulang bisa menghabiskan kurang lebih empat juta rupiah, jumlah yang tentu tidak sedikit bagi saya yang hanya pegawai pemerintahan biasa.
Selain itu faktor keluarga juga banyaknya ikut andil dalam kemalasan saya ini, sedari kecil saya sudah dididik dan dipaksa hidup mandiri, mengerjakan semuanya sendiri, menyelesaikan masalah sendiri dan sebisa mungkin mengurangi beban bagi orang tua. Jadi kemalasan saya ini terbentuk dari dua hal yang pada hakikatnya baik, hemat dan mandiri.
Memang orangnya malas pulang ke rumah, tapi setelah mendengar lebaran tahun ini dilarang mudik (eh atau pulang kampung, masi bingung) terkesan berdosa sekali saya jika tidak pulang ketika lebaran, setidaknya satu tahun sekali, menengok rambut ayah-ibu yang mulai beruban, menghitung ulang kucing-kucing rumah yang sudah beranak pinak atau sekadar mengobrol panjang lebar dengan kerabat-kerabat jauh yang sengaja datang, padahal saya sendiri lupa lupa ingat nama mereka. Setidaknya satu tahun sekali.
Omong-omong soal lebaran, dia itu bukan sekadar hari raya, dia punya sifat-sifat yang khas dan abnormal, mengikat semua orang dikenalnya pada kenyataan-kenyataan manis, terkadang pahit namun terasa manis, dia ditunggu, dia dinantikan.
Bau udara pagi sebelum sholat ied, aroma gulai kambing di dapur, sesaknya toko baju, macetnya jalan arteri, angpao-angpao, harum bunga melati di pusara kampung, tidak peduli dari lapisan masyarakat mana berasal, yang pastinya semua orang memaksakan menghabisakan rejekinya ketika lebaran, memenuh sesakkan pasar, menumpah ruahkan tepi jalan, mengusir jauh frasa “tidak punya uang”, yang penting suka cita lebaran.
Banyak banyaklah berdoa ketika berlebaran di perantauan, berdoalah rasanya akan sama saja dengan berlebaran di kampung, jangan sampai takbir-takbir di perantauan malah terasa sumbang, jangan bengong ketika sedang menjarah kaleng Khong Guan, alih alih mendapat rempeyek dan rengginang kalian malah dapat biskuit dan wafer, jangan sampai ketika orang lain sungkem kepada orang tua kalian malah sungkeman sama pohon beringin, pokoknya jangan sampai.
Beberapa hari terakhir saya lebih sering berbicara dengan diri sendiri, berbicara tentang bodohnya orang dewasa. Orang-orang dewasa selalu tak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sederhana, apakah tindakan ini sudah tepat? Apakah orang-orang di rumah tidak sedih? Apakah beliau benar tidak tersinggung? Dan setumpuk pertanyaan lainnya. Anehnya orang dewasa selalu berpura-pura tahu segalanya, sekaligus tahu semua akan baik baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Agaknya, momen lebaran dan mudik (ternyata benar mudik bukan pulang kampung) kedepannya menjadi hal yang relatif, bergeser dari sebuah kepastian menuju garis putih ke abu-abuan, lalu akhirnya bermuara untuk mengisi satu ruang lagi dalam deretan harapan yang sudah terlanjur saya relakan, dan selayaknya merelakan, semua harus diikhlaskan, semua harus baik-baik saja.
Sampai jumpa di Lebaran berikutnya