DUA SISI DAMARA
Damara menyatukan telapak kanan dan kirinya di depan dagu. "Masih ada yang perlu dibantu lagi?" Ibu di depannya hanya menggeleng lalu beranjak pergi.
Hari yang menyebalkan, ucap Damara membatin. Dari hari pertama ia menjadi teller di salah satu bank ternama. Keluh itu telah menjadi dzikir yang tak berhenti ia dawamkan.
Bahkan kini, ia makin merasa iri.
Batinnya menggerutu. Kala wabah Corona melanda dimana hampir semua orang bisa bekerja dari rumah. Ia masih harus tetap keluar rumah untuk bekerja.
Tak ada kelonggaran yang ia rasakan. Ia harus tetap masuk kerja, kepayahan megap-megap menghitung lembar uang yang bahkan bukan miliknya.
Mungkin bagi kebanyakan orang pekerjaannya adalah dambaan. Berseragam keren, wangi, bergaji tinggi dan prestisius. Namun, baginya kerja seharian mengulang pola yang sama. Apa bedanya dengan robot?
***
Selepas lulus kuliah, orang tuanya berharap Damara punya pekerjaan tetap seperti kebanyakan orang. Bukan luntang lantung gak karuan membawa buku catatan dan pena.
Membaca buku, mencoret puisi dan cerita dari mentari terbit hingga tenggelam. Kadang dapat honor kalau tulisannya dimuat, namun seringnya bokek tanpa uang.
"Dam, mama tahu kamu sangat suka menulis. Mama bisa lihat raut bahagia setiap tulisan kamu dimuat ..... Tapi Dam, mau sampai kapan kalau gini-gini terus? Mama malu ditanya saudara sekarang kamu kerja dimana." Keluh mama meledak melihat Damara masih nganggur 6 bulan selepas lulus kuliah.
"Coba kamu mulai melamar kerja sana! Cari kerjaan yang tetap, yang menjanjikan masa depan. Pegawai bank atau PNS. Bukannya penulis yang gak karuan penghasilannya." Mama melanjutkan keluhnya.