Awal tahun 2020, tepatnya pada bulan Maret, dunia dikagetkan dengan serangan wabah covid-19 yang mematikan dan bersumber dari Wuhan, Cina. Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk terbanyak ke 4 berupaya untuk mencegah lonjakan korban akibat virus tersebut. Salah satu cara yang ditempuh yaitu menetapkan kebijakan WFH (Work from Home)—banyak istilah baru bermunculan dengan makna yang sama seperti: SFH (Study from Home), PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), BDR (Belajar dari Rumah), PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Perkantoran), dll. Sehingga aktivitas di berbagai sektor terpaksa diberhentikan, atau lebih tepatnya dipindahkan ke rumah masing-masing.
Melihat kondisi seperti ini, masyarakat khawatir akan terjadinya Lost Generation. Sebuah fenomena dimana generasi tertentu hilang akibat terabaikannya pendidikan anak-anak selama era pandemi (Biyanto, 2021). Sehingga pada awal bulan 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan program baru yakni Kampus Mengajar Perintis. Dengan memberdayakan mahasiswa yang berdomisili di daerah tempat tinggal masing-masing, program ini diharapkan dapat menjadi solusi, membantu proses belajar mengajar di tengah pandemi, serta meningkatkan mutu sekolah dasar, khususnya, dengan akreditasi B dan C.
Program ini diikuti oleh mahasiswa dari seluruh Indonesia. Salah satu sekolah tempat berlangsungnya kegiatan Kampus Mengajar Perintis (KMP) adalah SDN Dewi Sartika. Berlokasi di Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Penugasan disesuaikan dengan jarak terdekat sekolah dan domisili mahasiswa KMP, guna menghindari penyebaran virus corona. Maka jumlah mahasiswa yang ditempatkan di sekolah ini hanya 1 orang.
Setelah melakukan perizinan ke Kantor Dinas Kabupaten Tasikmalaya, UPT Kecamatan Singaparna, dan sekolah terkait, relawan KMP ditugaskan untuk membantu kinerja guru kelas 1 baik dalam kegiatan mengajar, adaptasi teknologi, dan melengkapi administrasi. Langkah pertama setelah penetapan tugas yaitu melakukan observasi terkait keaadan kelas dan sekolah. Penulis pun memakai teknik wawancara kepada kepala sekolah, guru pamong, orang tua, dan siswa. Adapun hal yang ditanyakan terkait kondisi sarana prasarana, tenaga pendidik, peserta didik, sistem KBM yang sedang berlangsung, dan hambatan yang dialami.
Kegiatan Belajar Mengajar kelas 1 dilakukan secara blended: kombinasi luring (tatap muka) di ruang kelas, dan daring melalui grup platform WhatsApp. Mata pelajaran yang disampaikan mencakup seluruh subjek yang sudah terkurikulum dan tersusun dalam buku penunjang “Tematik”. Dalam prosesnya, siswa/i kelas 1 lebih difokuskan pada pengajaran literasi dan numerasi. Kegiatan literasi ditargetkan agar di akhir tahun pelajaran, siswa dapat mengenal huruf, membaca, memahami, dan menulis teks pendek. Bahan ajar dibuat menyesuaikan dengan kondisi tiap siswa yang pastinya berbeda. Adapun kegiatan numerasi berupa mengenalkan angka, proses hitung penjumlahan dan pengurangan menggunakan media ajar yang telah disiapkan oleh mahasiswa KMP, ataupun menggunakan media gambar di papan tulis.
Adapun program unggulan yang penulis lakukan ialah mengadakan pembelajaran Bahasa Inggris untuk siswa kelas 1 sebagai kegiatan mulok. Program ini dilaksanakan tiap hari sabtu. Mengingat di kurikulum 2013 pelajaran Bahasa Inggris tidak disertakan. Padahal belajar Bahasa Inggris merupakan hal yang fundamental. Terlebih di era revolusi 4.0 ini. Setidaknya siswa/i dikenalkan dan mengetahui kosakata dasar dalam Bahasa Inggris. Materi yang disampaikan pun tergolong ringan yakni terkait pembelajaran warna, anggota tubuh, bagian-bagian wajah, dan perkenalan diri.
Selama 10 pekan, terhitung sejak 12 Oktober 2020 s.d. 18 Desember 2020, program KMP dilaksanakan dengan lancar disertai segala suka duka yang ada. Bagaimanapun penulis sangat bersyukur bisa mengikuti Kampus Mengajar Perintis. Sebab melalui program ini, mahasiswa non-kependidikan dapat merasakan pengalaman mengajar, meningkatkan kemampuan hidup bermasyarakat, public speaking, menjalin silaturahim dengan guru-guru, warga sekolah, dan masih banyak pelajaran berharga yang didapatkan.
Selain itu, sistem belajar Blended Learning, sebagaimana yang diterapkan oleh kelas 1 SDN Dewi Sartika, sudah tepat. Sebab siswa kelas rendah lebih memerlukan bimbingan secara langsung dari pendidik. Begitu juga kombinasi belajar online via platform tertentu, serta media ajar yang didapat dari YouTube membuat suasana belajar lebih disukai anak-anak, bervariasi dan tidak monoton, meskipun dilakukan dari rumah.
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/380505/mewaspadai-lost-generation