Cobalah Anda google search kata "hadis huru-hara jumat", maka ada beberapa situs yang memuat berita tentang ramalan akan terjadinya kejadian dahsyat pada pertengahan bulan ramadlan. Dilengkapi dengan sebuah hasil "kajian NASA" tentang planet X yang dihubung-hubungkan dengan sebuah hadis yang menjelaskan tentang kejadian dahsyat tadi.
Ada beberapa orang yang nampaknya termakan berita tersebut, terutama karena pencantuman hadis sebagai referensinya. Apalagi dengan "didukung" analisis dari temuan-temuan ilmiah fenomenal saat ini, kepercayaan intuitif terhadap otoritas hadis seakan-akan berpadu dengan logisitas suatu analisis ilmiah yang melahirkan sikap histeria tertentu. Ada yang secara taken for granted menyerap berita tersebut lantas menyebarkannya dengan copy-paste, baik dibumbui basa-basi maupun tidak, melalui berbagai media penyebaran berita. Ada yang melemparnya sebagai "bahan diskusi" dalam forum-forum tertentu baik formal maupun non-formal. Ada juga yang menjadikannya sebagai "resep ampuh" untuk menggiring kalangan-kalangan tertentu ke arah "refleksi-pertaubatan" baik secara massal maupun individual....
Sebagai sebuah berita, tidak ada yang tidak wajar jika kemudian informasi tersebut menyebar begitu saja dan memotivasi berbagai sikap dari para penerimanya. Kita masih ingat beberapa tahun ke belakang ketika film 2012 yang disutradarai Roland Emmerich beredar. Berita tentang film itu begitu menghebohkan sehingga semakin memperkuat bukti kehebatan kapitalisme yang mampu menyeret semua orang dalam pusarannya, bahkan orang yang anti terhadap kapitalisme bisa menjadi alat bagi kapitalisme untuk menggemukkan dirinya. Hal ini sangat jelas tergambar betapa sikap mengharamkan film 2012 justru menjadi iklan gratis bagi film 2012 untuk semakin banyak menyedot penonton.
Namun lain lagi ceritanya jika berita tersebut telah melibatkan hadis sebagai sumber informasi dengan otoritas Rosulullah SAW, maka secara ekslusif hadis tersebut perlu dipastikan dulu validitasnya mengingat otoritas Rosulullah SAW tadi. Dan untuk memastikan hal ini ada disiplin ilmu hadis yang membahasnya. Dengan ilmu hadis ini umat Islam khususnya, diarahkan pada satu etika dan sikap untuk tidak menyalahgunakan otoritas Rosulullah SAW, bahkan untuk tujuan kebaikan sekalipun. Dengan kata lain, sebaiknya umat Islam membiasakan sikap kritis dan tidak mudah meyakini apalagi menyebarkan sebuah berita berlabel hadis,  terlepas dari kepentingan apapun yang berkaitan dengan penyebaran "berita berhadis" seperti itu.
Dalam ilmu hadis ada dua macam kritik terhadap hadis : kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad berkaitan dengan kritik terhadap periwayatan sebuah hadis yang meliputi kesinambungan pemberitaan antar periwayat mulai dari Nabi sampai ulama yang membukukan hadis, serta terhadap integritas moral dan intelektual para periwayat. Sementara kritik matan berkaitan dengan kritik terhadap isi berita dari hadis.
Terkait berita menghebohkan yang memuat hadis tentang huru-hara di pertengahan ramadlan, secara kritik sanad, ada periwayat yang integritasnya dicela oleh kebanyakan kritikus hadis sehingga hadis-hadis yang berasal dari atau melalui dia termasuk hadis munkar (layak diingkari validitasnya). Periwayat tersebut bernama Nu'aim bin Hammad yang banyak meriwayatkan "hadis" dalam kitab Al-Fitan yang banyak memuat cerita-cerita berkenaan kisah akhir zaman. Dr Fahd Salman Audah mengatakan hadis itu sangat lemah (dlo’if jiddan) atau palsu (maudlu’). Bahkan Imam Az-Zahabi mengatakan : “Tak seorang pun boleh berhujjah dengan hadith Nu'aim bin Hammad sebab dia telah mengarang kitab tentang fitnah akhir zaman dengan memuat keajaiban-keajaiban dan banyak pula hadis yang dibawanya adalah Munkar. Dia banyak mengambil hadis dari Ka'ab bin al-Ahbar yang dikenali lantaran banyak merujuk pada kitab-kitab Israiliyyat. Dia juga banyak mengambil hadis dari orang-orang yang tidak dikenal dan diragukan".
Dalam memahami matan atau isi hadis pun kita hendaknya mensingkronkannya dengan ayat-ayat al-Quran yang relevan. Jika isi hadis bertentangan dengan isi al-Quran, maka hadis tersebut validitasnya dianggap lemah, dan seterusnya.
Akhirnya, ada yang lebih penting dari sekedar beriman, yakin, atau percaya terhadap peristiwa-peristiwa ghaib seperti itu. Adalah jangan sampai ketakutan manusiawi kita terhadap peristiwa-peristiwa seperti itu mengalahkan ketakutan kita terhadap Allah SwT. Jangan sampai kita rajin "beribadah" karena tahu dan yakin bahwa peristiwa kiamat itu dahsyat seperti dijelaskan dalam alquran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H