Mohon tunggu...
Asep Hilman Yahya
Asep Hilman Yahya Mohon Tunggu... profesional -

I'm just an ordinary teacher... write down my full name in search engine box, so you'll find a little bit about me...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa Kabar Guru Bangsa? "Experience is the Best Teacher"

1 November 2011   15:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:11 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"...oleh karena itu, bangsa ini harus mampu belajar dari pengalaman.......".

Bila bangsa ini sepenuhnya belajar dari pengalaman, maka sesungguhnya apa yang mereka alami akan sangat beraneka ragam, sebagaimana beranekaragamnya bangsa Indonesia ini. Belajar dari pengalaman, bisa saja tidak memberikan dampak perubahan yang berarti. Misalnya ketika sebuah pengalaman hanya bersifat semu sebagai hasil dari sebuah rekayasa pembodohan masal.
Dalam beberapa pemberitaan mass media, pernah disajikan kilasan sejarah para pemimpin bangsa ini yang menerangkan bahwa sebelum mereka duduk di kursi kepemimpinan, mereka terlebih dahulu mengalami suatu penderitaan dengan beraneka ragam variasinya. Penderitaan tersebut kemudian berbuah simpati rakyat. Dan ketika simpati itu mengalir dalam arus demokrasi, jadilah ia sebuah perahu yang mengantar sang teraniaya ke muara kekuasaan. Sayangnya di muara kekuasaan itu, sang teraniaya yang telah berhasil menjadi nakhoda terkadang lupa daratan atau bingung. Perahu tidak pernah mengalami proses renovasi yang serius, sementara beban muatan semakin berat, akhirnya ia dan perahunya pun karam.
Episode timbul dan tenggelamnya perahu simpati ini sepertinya telah menjadi sebentuk pola hubungan antara rakyat dan pemimpinnya di negara demokrasi yang unik ini. Dipikulnya amanat penderitaan rakyat oleh pemimpin yang berhasil bangkit dari lembah derita, ternyata tidak kunjung mampu mengangkat rakyat dari kubangan deritanya. Adakah ini akibat dari pasal konstitusi yang berbunyi, “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, yang diinterpretasi secara analogis dengan memelihara atau beternak ayam dimana keberhasilan sang peternak ditunjukkan dengan peningkatan kuantitas ternak peliharaannya, meski dengan modal pinjaman dari sana-sini. Ketika jumlah ternak tidak lagi terimbangi oleh persediaan pakan ternak yang produk impor itu, dengan mudahnya ternak dijual atau digadaikan. Dan tidak perlu heran jika di antara ternak-ternak itu hanya sebagian kecil saja yang protes atau kabur ketika menyadari dirinya akan dijual, digadaikan atau bahkan dimusnahkan oleh sang peternak.
Alhasil, bagi kebanyakan rakyat yang oleh sementara pihak - yang juga rakyat – dikatakan tengah menderita, istilah “penderitaan” sepertinya sudah kehilangan maknanya yang signifikan. Mereka sudah sedemikian terlatih bahkan terdidik untuk bisa menikmati penderitaan ketimbang untuk berusaha keluar dari penderitaan. Dan itulah barangkali aset kekayaan bangsa kita yang masih tersisa dan patut disyukuri terutama oleh para politisi busuk sejak tahun 1945 sampai saat ini — aset sumber daya manusia yang kurang familiar dengan ungkapan “terjajah oleh bangsa sendiri”, siap dijual, digadaikan, bahkan dimusnahkan, asal oleh saudara sebangsa–. Tidak jadi soal apakah saudara sebangsa itu dalam posisinya sebagai suami, istri, anak, orang tua, pemuka agama, pemuka masyarakat, ketua RT sampai kepala negara, anggota dewan rumah ibadat sampai dewan perwakilan rakyat, pemimpin partai, LSM, atau ormas-ormas. Tidak juga jadi masalah apakah saudara sebangsanya itu dalam posisinya sebagai koruptor, bandar judi, bandar narkoba, germo, mucikari, gembong residivis, atau hanya preman kampung. Soalnya, jangankan untuk belajar dari pengalaman, untuk belajar saja kebanyakan rakyat masih harus bermimpi dulu jadi wakil rakyat yang berani meningkatkan anggaran pendidikan dalam RAPBN.
Jika pepatah mengatakan, “Ora et Labora”, maka sesungguhnya bangsa ini baru sebagian kecil saja yang berkesempatan belajar, sementara sisanya hanya baru bisa berdo’a dan berdo’a. Oleh sebab itu wajar jika kebanyakan rakyat yang “belum terpelajar”, dengan bersahaja baru bisa bersuara :
”Kami merasa nyaman dengan kemampuan kami yang hanya bisa berdo’a, dan kami merasa lebih mudah mencerna bahasa-bahasa mereka yang sekelas dengan kami. Do’a kami yang sering tidak terkabul memang kami sadari, karena mungkin Tuhan sering tersinggung oleh sikap kami. Dalam kefakiran yang menenggelamkan kesabaran, kami sering menitipkan do’a lewat wakil-wakil pilihan kami yang tentunya bersedia memberikan setetes prosentase pengabulan awal dari selautan prosentase do’a kami. Bahkan sebelum do’a kami panjatkan di waktu dluha, pengabulan awal itu sudah turun di saat fajar. Dan ketika Tuhan mengabulkan selautan prosentase do’a kami, wabah amnesia lalu menjangkiti kami dan wakil-wakil pilihan kami, sehingga pengabulan lanjutan dari do’a yang pernah kami titipkan dulu, sudah terlupakan”.
Mereka juga barangkali wajar jika merasa tidak berurusan dengan konsekuensi logis beban piutang nasional sebanyak kira-kira Rp. 8 juta per kapita itu. Mana ada “ayam” yang peduli dengan utang peternaknya, atau merasa malu jika peternakan tempat mereka hidup menempati peringkat yang signifikan dalam hal budidaya korupsi. Untuk kesadaran dan kepedulian nasional itu, perlu proses evolusi “chicken being humanization” yang memakan waktu cukup lama, sebanding dengan lamanya proses “human being chickenization”.
Dalam ke-gharim-an dan ke-muflish-an bangsa ini, jika rasa heran sudah tidak punya tempat dalam panggung politik, maka rasa syukur patut kita panjatkan kepada Allah bahwasanya masih ada bahkan banyak anak bangsa ini yang masih “nekad” mengajukan diri untuk jadi pemimpin nasional. Sebuah fenomena yang dianggap tabu pada masa Orde Baru, sampai akhirnya di tahun ‘90-an ada anak bangsa yang “nekad” berani mengetuk-ngetuk pintu istana dengan “salam suksesinya”. Meski salam itu pada mulanya sering dijawab gonggongan anjing serta cercaan para simpatisan status quo, namun “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, salam itu ibarat virus, ia menembus dinding-dinding kampus dan merambat di kesadaran rakyat sampai akhirnya berhasil mendobrak terbuka pintu istana. Walhasil, kini banyak rakyat yang tanpa malu-malu lagi berkata : ”Jadi Presiden, siapa takut ?”. Maka untuk nikmat terbukanya pintu demokrasi itu, jika ungkapan terima kasih bagi sang pendobrak dikhawatirkan jadi door prize politik yang terlalu pragmatis, maka kita pun patut bersyukur kepada Allah yang telah berkenan mengirim dia sebagai door prize-Nya bagi kita.
Setelah bersyukur, tentunya kita berdo’a lagi semoga pemimpin nasional kita nanti menjadi imam yang betul-betul memahami makna seruan adzan yang kemudian dia aplikasikan dalam shalat berjama’ah yang khusyuk, penuh keikhlasan dan diapun faham betul kondisi jama’ah yang menjadi makmum di belakangnya. Sebab dalam shalat berjamaah, hakikat mengikuti imam itu bukan karena taat atau takut kepada sang imam, tapi semata-mata karena taat kepada Allah SWT. Demikian pula jika sang imam melakukan kesalahan, ada prosedur yang jelas untuk mengoreksinya, tanpa merusak atau membubarkan kelangsungan berjamaahnya sendiri.
Selanjutnya kita juga perlu berdo’a bagi kita sendiri, terutama do’a agar kita diberi kekuatan ekstra dalam menghadapi kenyataan apapun yang akan terjadi nanti sebagai akibat dari ketetapan hati kita untuk memilih atau tidak memilih pemimpin nasional kita. Sebab, meski era kita ini adalah era informasi, namun tetap saja kita berada dalam relativitas keterbatasan dalam mengetahui secara memadai jati diri para calon pemimpin yang hendak kita pilih, bahkan bisa juga informasi yang kita terima itu bertolak belakang dengan kenyataannya. Apalagi jika uang berikut berbagai macam penjelmaannya sudah ikut berbicara, dengan setting krisis ekonomi yang kita hadapi, mungkin berita yang tertulis di media-media cetak itu hanya setahi kuku saja bobotnya dibandingkan dengan angka nominal yang tercetak di lembaran-lembaran atau lempengan-lempengan alat tukar tersebut, karena lebih simpel, efektif, dan tidak perlu susah-susah belajar membaca apalagi berpikir. Semua itu bisa mengakibatkan terjadinya salah pilih, dan kesalahan itu harus siap kita hadapi akibatnya minimal untuk lima tahun ke depan. Itupun jika jarum jam sejarah bangsa ini tidak diputar mundur oleh pemimpin kita nanti.
Akhirnya, penulis sebagai seorang yang berusia baru kepala tiga, merasa wajib mengajak bangsa ini untuk berenang dalam dzikir dan do’a, menepi di antara khauf dan raja’, tentunya setelah kita berusaha optimal dan maksimal dalam menunaikan “ibadah mencari pemimpin” dalam pemilu 2014 nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun