Mohon tunggu...
Dave Ronel
Dave Ronel Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang karyawan di pabrik kimia dan juga seorang penulis ilmiah di jurnal-jurnal internasional

Selanjutnya

Tutup

Nature

Green Diesel (D100) dari Minyak Kelapa Sawit Diproduksi Pertamina guna Mengurangi Impor Bahan Bakar Solar

23 Juli 2020   01:43 Diperbarui: 23 Juli 2020   01:41 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Baru-baru ini PT Pertamina persero melalui kilang minyak Dumai berhasil memproduksi green diesel (D-100) yang merupakan bahan bakar diesel terbaharukan yang di produksi dari minyak kelapa sawit (minyak nabati) seperti di sampaikan oleh Budi Santoso Syarif selaku Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) pada acara Hot Economy yang disiarkan langsung secara live streaming di Berita Satu TV pada Senin, 20 Juli 2020. 

Terobosan ini dilakukan oleh Pertamina berdasarkan instruksi dari Presiden Indonesia, Bpk Joko Widodo, untuk bisa terus berinovasi dalam hal menghasilkan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan memanfaatkan sumber daya alam domestic Indonesia yang melimpah untuk membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional dan guna mengurangi defisit import neraca perdagangan bahan bakar minyak berbasis minyak bumi seperti yang disampaikan oleh Direktur Utama Pertamina, Ibu Nicke Widyawati.

Menurut Sugiyono, Indonesia telah mengimport bahan bakar minyak mentah hingga mencapai 116.6 juta barrel di tahun 2018 untuk memenuhi kekurangan produksi minyak mentah. Kebutuhan minyak mentah Indonesia sekitar 74.1 juta kilo liter dengan jumlah produksi 44.1 juta kl sehingga harus mengimport sekitar 27.9 juta kl seperti disampaikan oleh Directorate General of Oil and Gas, Oil & Gas Statistic, Ministry of Energy and Mineral Resources. 

Berdasarkan data dari kementrian, Indonesia mengimport sekitar 19 juta kl gasoline (68% dari total import bahan bakar minyak), 6.5 juta kl solar (23%), dan sisanya 5% untuk avtur dan 3% untuk yang lainnya. Bahkan, Yudiartono memprediksi bahwa import bahan bakar minyak Indonesia akan terus meningkat dari 32.2 juta kl di tahun 2020 sampe 183.2 juta kl di tahun 2050 mendatang dimana import solar pun akang terus meningkat dari 6.6 juta kl di tahun 2020 hingga 54.5 juta kl di tahun 2050. 

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mencari bahan bakar alternative pengganti solar yaitu green diesel (D100) berbasis minyak nabati (minyak kelapa sawit) guna memenuhi kebutuhan solar nasional.

D100 merupakan 100% green diesel sebagai bahan bakar pengganti solar dan biodiesel yang ramah lingkungan karena D100 menghasilkan gas buangan CO2 yang lebih sedikit bila di bandingkan dengan biodiesel dan mengandung sedikit oksigen sehingga tidak membentuk air. 

Kalnes menjelaskan bahwa D100 yang diproduksi dari minyak nabati melalui proses hydrorefining menghasilkan bahan bakar solar yang lebih baik bila dibandingkan dengan solar berbasis minyak bumi dan biodiesel karena D100 mengandung sulfur kurang dari 1 ppm dan cetane number paling besar yakni sekitar 70 -- 90 sementara solar 40 dan biodiesel 50 -- 65 dengan stabilitas yang baik.

Pemerintah Indonesia sudah merencanakan untuk memproduksi D100 dalam skala besar yang bekerja sama antara Pertamina dengan kampus ITB selaku pemasok katalis dengan jumlah produksi D100 sekitar 3000 barrel per day di tahun 2021 dan akan di kembangkan hingga mencapai 6,000 barrel per day di tahun 2022 di daerah Cilacap Indonesia. Sedangkan, kapasitas produksi D100 sebesar 20,000 barrel per day akan di rencakan didaerah Plaju Indonesia. 

Untuk memproduksi D100 dalam sekala besar pemerintah Indonesia akan menginvestasikan dana sebesar 500 juta dollar US dan jumlah kelapa sakit yang diperlukan sekitar 20,000 barrel dengan harga kelapa sawit sekitar 500 -- 600 dollar/ton. Dengan ada nya D100 pemerintah berharap agar D100 bisa mengatasi masalah kebutuhan import solar yang terus meningkatkan dan mengurangi masalah pencemaran lingkungan serta ketergantungan Negara terhadap solar berbasis minyak bumi yang terus menipis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun