Hari Musik Nasional jatuh setiap 9 Maret. Tanggal penetapan Hari Musik ini diputuskan ketika zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013.Â
Tanggal itu juga diambil dari hari kelahiran Wage Rudolf (WR) Supratman tahun 1903 di Purworejo, Jawa Tengah. Seorang masetro musik sekaligus pahlawan Indonesia yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tentu kita bangga WR Supratman pernah hidup di Indonesia. Sebab di tangan ajaibnya musik Indonesia terangkat pada zamannya, bahkan sampai sekarang dimana saat kita mendengar atau menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya pastilah dada ini bergetar.
Namun, andai WR Supratman dihidupkan kembali dari liang kuburnya pastilah dia akan merasa pilu. Mengapa? Tentu karena kekalutan yang terjadi di negeri ini. Bahkan dia mungkin akan menjerit karena persoalan itu juga terjadi dalam 'pengindustrian' musik di negeri ini. Dari hari ke hari industri musik kita memang begitu sengkarut karena persoalan pembajakan yang merajalela.Â
Belum habis soal pembajakan, kita kemudian dikagetkan dengan adanya sebuah era baru yang mengubah segala sistem. Sebuah era dimana awalnya kita terbiasa dengan analog kini menjadi serba digital. Sial, rupanya kita belum mampu menghadapinya karena berbagai hal. Dimulai dari regulasi sampai infrastruktur yang belum ada untuk mengimbanginya menjadikan industri musik Indonesia mati terkapar.
Dulu, jika seseorang ingin menikmati lagu maka dia harus beli kasetnya, sehingga si pencipta lagu mendapatkan royalti dari hasil pembelian kaset itu. Walaupun si pencipta lagu sedang dalam keadaan tertidur, uang tetap mengalir ke tabungannya. Maka di situlah makna dari sebuah industri; si pemilik karya kapan pun mendapatkan keuntungan dari apa yang dia ciptakan.
Saya masih ingat betul ketika ingin mendengarkan band favorit saya, setidaknya harus merogoh uang sekitar Rp20.000 untuk membeli kasetnya, meski jumlah uang itu saya rasakan betapa besar pada waktu itu. Â Sementara pada saat ini, begitu mudahnya orang mendapatkan lagu-lagu hanya dengan tinggal klik. Jangankan satu lagu, ratusan atau bahkan ribuan lagu pun bisa didapatkan dengan hanya duduk santai dan cukup bermodalkan kuota saja tanpa takut akan dihukum. Â
Hal ini terjadi karena tidak ada perlindungan bagi anak bangsa dalam berkarya, dan akhrinya hanya mendorong mereka (musisi-red) lebih senang berkarya di luar negeri, seperti yang sudah dilakukan oleh Anggun C Sasmi, Agnez Mo, Stephanie Poetri dan sederet nama lainnya. Atau biasanya, di antara musikus tanah air akan mendaftarkan diri ke faltform musik milik asing seperti iTunes, Youtube dan yang semacamnya. Memang cara ini bisa mendatangkan popularitas tetapi dari sisi value tidak mereka dapatkan.
Keadaan yang tidak mengenakan ini sebetulnya pernah mendapatkan respons dari kalangan musisi atau pecinta musik tanah air dengan adanya sebuah gerakan bernama Heal Our Music (HOM). Menurut pengakuan salah satu anggota HOM, Andi S Trisnahadi, gerakan sosial yang sudah melintang pada medio 2006 ini sukses memperlambat arus pembajakan musik ilegal via digital. Cara kerja gerakan ini salah satunya adalah dengan menutup mulut pakai plester sebagai bentuk tuntutan atau advokasi kepada pemerintah agar memberikan regulasi untuk industri musik tanah air.
Pergerakan ini bukan tanpa cemooh, karena pada perjalanannya ada banyak yang menyangsikan oleh karena para musisi sudah dianggap kaya dan tidak perlu dibela. Namun, menurut Andi, apa yang mereka perjuangkan adalah lebih kepada persoalan menyelamatkan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa pencuri. Sebab, jika pada generasi sebelumnya, kita akan tahu sebuah karya harus diapresiasi dengan membeli bentuk kaset yang asli bukan bajakan.Â
Kalau generasi yang akan datang, atau bahkan telah terjadi pada generasi sekarang, sudah tidak paham bagaimana mengapresiasi sebuah karya. Di pikiran mereka, musik ya tinggal unduh saja. Sehingga secara tidak langsung kita diciptakan jadi bangsa pencuri. Nah, pada tataran generasi  saat ini juga,  mereka akan merasa aneh jika harus beli jika ingin mendengarkan musik. Secara tidak sadar, akhirnya kita pun terlahir menjadi bangsa yang tidak menghargai karya sebangsanya sendiri. Mengerikan sekali bukan?
Melihat permasalahan ini, Pemerintah mau tidak mau harus lebih cepat dalam menentukan flatform untuk industri musik Indonesia. Menbentuk kaset atau VCD tentu bukan lagi masanya.Â