Mengapa demikian? Karena masyarakat sebagai konstituen tentu memiliki fanatisme yang berbeda terhadap partai politik dan bakal calon presiden. Sehingga, saling counter dalam membela dan menjatuhkan partai politik serta bakal calon presiden saat berlangsungnya momen pemilu sulit dihindari.Â
Nuansa pemilu 2014, pilkada DKI Jakarta 2017 dan pemilu 2019 menjadi indikator atas sikap reaktif: pro dan kontra, dalam merayu opini publik yang dilancarkan simpatisan maupun kader partai serta buzzer politik dalam memengaruhi preferensi pemilih.
Kondisi seperti ini memang sangat dikhawatirkan saat menjelang dan berlangsungya pemilu mendatang.Â
Kecenderungan meng-counter informasi untuk memperkuat posisi partai maupun mendongkrak popularitas dan elektabilitas bakal calon presiden, merupakan pilihan tepat bagi masing-masing simpatisan dan kader partai.
Terlebih sistem politik Indonesia pasca reformasi menghadirkan nuansa yang berbeda dengan era otoritarianisme Orde Baru, dimana perilaku pemilih telah bertransformasi dari pola panutan atau tradisional menjadi rasional.Â
Untuk itu, reaksi terhadap dinamika politik yang dilancarkan masyarakat pemilih melalui media digital, dapat dipahami sebagai ekspresi cerdas dan rasional masyarakat di era demokrasi.Â
Keberadaan media digital dianggap sebagai sarana ideal dalam mengekspresikan kritik terhadap partai politik dan pemerintah, disamping itu juga media digital dimanfaatkan partai politik untuk melakukan promosi dan sosialisasi politik demi meraih simpati publik.
Dan, jika ditelisik perubahan perilaku pemilih pada setiap momentum tahun politik; baik pada level global, maupun di tanah air, dapat dikatakan implikasi dari Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi.Â
Hal ini seperti dikatakan Richard Groper yang disitir Sufyanto (2015:220) bahwa teknologi komunikasi sebagai penyeimbang yang memiliki kekuatan untuk membangun demokrasi yang lebih baik.Â
Kecenderungan partai politik memanfaatkan perangkat-perangkat digital sebagai instrumen politik dinilai cukup efektif dalam melakukan pendekatan komunikasi politik.Â
Sebab, segmentasi pemilih pada ranah ini kebanyakan pemilih pemula dan generasi muda, atau disebut sebagai generasi z.Â