Pemerintah akhirnya mengambil keputusan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Sabtu (3/9). Langkah ini tentu menghadirkan "kepanikan" di tengah masyarakat, pasalnya sektor kehidupan diasumsikan belum sepenuhnya pulih, karena dampak dari hantaman pandemi covid-19.
Sehingga, kenaikan harga BBM pasti membawa efek kumulatif terhadap kehidupan masyarakat. Walaupun kenaikan harga BBM dapat dinilai sebagai kebijakan yang mengedepankan risk and return management dalam menghadapi tingginya tingkat konsumsi energi serta harga minyak global yang masih mahal.
Tapi, tetap saja diperhadapkan pada selentingan-selentingan negatif yang disampaikan masyarakat, ekspresi semacam ini setiap merespon kenaikan harga BBM, dan bukan hanya pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, melainkan di era SBY yakni pada 2008 silam, protes yang sama pun dilancarkan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menaikan harga BBM. Dan' bakal tetap sama jika ada kenaikan harga BBM di tahun-tahun mendatang.
Sebab, BBM dipandang saking krusial untuk kehidupan manusia saat ini, sehingga wajar apabila kenaikan harga dasar BBM mendapat reaksi publik, lantaran BBM memberi dampak domino yang menjalar ke berbagai aspek kehidupan.
Di satu sisi menyambut kesan yang ditimbulkan atas problem tersebut, pemerintah tentu mengkaji secara cermat, sebelum menggulirkan kebijakan menaikan harga BBM, seperti distribusi bantuan sosial untuk menggenjot daya beli masyarakat, sebagai respons tendensi harga yang berasal dari pengaruh ekonomi global.
Dan' kebijakan tersebut dalam pandangan sejumlah kalangan dinilai sebagai langkah menyelesaikan permasalahan secara holistik dan terintegrasi. Namun, di sisi lain, tidak sepenuhnya menghindari masyarakat dari kemelut kehidupan.
Penilaian ini, merujuk pada gambaran kehidupan saat berlangsungnya pandemi covid-19, di mana berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2020, BPS mencatat angka kemiskinan bertambah 2,76 juta jiwa menjadi 27,55 juta jiwa (baca: Di Tengah Pandemi, Angka Kemiskinan Meninggi/Indonesiabai.id).
Walaupun pada Maret 2022, jumlah penduduk miskin Indonesia mengalami penurunan sebanyak 9,54 persen atau menjadi 26,16 juta orang (baca:kompas.com, 16 Juli 2022). Tapi, setidaknya grafik penurunan penduduk miskin tidak menunjukkan angka yang signifikan.Â
Sehingga, kebijakan pendistribusian bansos kepada masyarakat dipersepsikan sebagai strategi Think Out Of The box, namun tidak serta merta menepiskan kegalauan masyarakat.
Lantaran sepanjang 2022 gejolak harga bahan makanan (volatile food) sebagai dampak harga pangan global, memengaruhi inflasi di tanah air. Sebab, pada Juli lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan harga-harga atau inflasi, meningkat hingga 4,94 persen. (Baca: bbc.com, 3 agustus 2022).
Sehingga, inilah menurut penulis sebagai kemelut yang dihadapi masyarakat hingga menjelang akhir 2022, maupun menyongsong 2023 mendatang. Jadi, kenaikan harga BBM tentu memengaruhi ritme ekonomi yang berdampak pada daya beli masyarakat.
Karena, selain kenaikan harga BBM, di satu sisi masyarakat diperhadapkan pada pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 tahun 2005 dan PP No. 49 tahun 2018 terkait larangan terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Instansi untuk melakukan pengangkatan honorer dan/atau tenaga non-ASN (baca: BKN Mulai Data Pegawai Honorer di Instansi Pemerintah/ Kompas.com 31 agustus 2022).
Dengan pembatasan tenaga honorer dan diperhadapkan pada kenaikan harga BBM, dipastikan menjadi problem serius yang dihadapi pemerintah di segala sektor kehidupan pada tahun-tahun mendatang.
Seperti di Maluku Utara, belakangan ini salah satu komoditas unggulan  petani -- Kopra,  mengalami penurunan harga, yang semula bertengger pada angka Rp 11 ribu, kini beranjak turun pada harga Rp 6 ribu.Â
Sebelumnya, kenaikan harga kopra ikut menghadirkan dampak positif terhadap ekonomi masyarakat, begitupun pada sektor pendidikan, stabilnya harga kopra memberi aura positif terhadap keberlangsungan pendidikan anak-anak. Â Dan' kini kenaikan harga BBM serta menurunnya harga kopra, praktis memunculkan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Walaupun, komoditas lainnya tidak mengalami penurun harga secara signifikan, namun Kopra merupakan salah satu komoditas primadona bagi para petani di sejumlah kabupaten di Maluku Utara.Â
Sehingga, selain pemberian bantuan sosial, juga dibutuhkan sense of crisis dari pemerintah dalam merespons harga komoditas unggulan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di provinsi Maluku Utara.
Pada sektor kelautan, kenaikan harga solar bersbsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, dipastikan memengaruhi biaya transportasi laut. Selain itu, harga pasaran nelayan juga bakal mengalami perubahaan, lantaran dampak dari kenaikan BBM.
Begitupun juga dengan transportasi darat, pasti terjadi penyesuian tarif baru. Sehingga, kondisi ini berpengaruh pada ekonomi masyarakat, terlebih masyakarakat miskin. Sebab, di satu sisi menjaga kestabilan keuangan keluarga, di sisi lain, diperhadapkan pada perubahan tarif angkutan darat, maupun laut.
Kenaikan harga BBM, tentu menghadirkan dampak domino pada berbagai aspek kehidupan. Namun, apapun kemelut kehidupan yang dihadapi masyarakat, dipastikan akan mendapat kemudahan, seperti ditegaskan Allah Swt dalam Q.S Al-A'raf ayat 96:Â
Walau anna ahlal-qura amanu wattaqau lafatahna 'alaihim barakatim minas-sama 'iwal-ardi wa laking kazzabu fa akhaznahum bima kanu yaksibun.Â
Artinya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI