Sutan Sjahrir adalah salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahir di Padang, Sumatera Barat pada tahun 1909, ia memperoleh pendidikan yang baik di Belanda dan menjadi salah satu intelektual muda yang bersemangat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Setelah kembali ke Indonesia, Sjahrir terlibat dalam berbagai gerakan sosial dan politik, termasuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sutan Sjahrir bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada awal 1920-an ketika ia masih belajar di Belanda. Pada saat itu, PSI merupakan partai sosialis terbesar di Indonesia dan memiliki pandangan politik yang sangat kritis terhadap kolonialisme dan kapitalisme.
Bersama dengan sejumlah tokoh kiri lainnya, termasuk Musso, Tan Malaka, dan Alimin, Sjahrir mulai memperjuangkan pendirian partai komunis di Indonesia. Mereka melihat bahwa ideologi komunisme dapat menjadi solusi untuk mengatasi kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia, khususnya di antara kelas pekerja dan petani.
Pada bulan Mei 1920, mereka akhirnya membentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Musso sebagai ketua umum dan Sjahrir sebagai salah satu anggota pendiri. PKI kemudian menjadi salah satu partai kiri terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia pada masa itu.
Namun, pada pertengahan 1930-an, Sjahrir mulai mengalami perubahan pandangan politik dan mulai merasa tidak sepakat dengan arah yang diambil oleh PKI. Ia mengkritik beberapa kebijakan PKI, seperti taktik pemberontakan bersenjata dan penggunaan kekerasan dalam perjuangan politik.
Pada tahun 1934, Sjahrir keluar dari PKI dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang lebih moderat. Ia terpilih sebagai ketua umum PSI pada tahun 1935 dan menjadi salah satu tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia. Ia memimpin pemerintahan sementara selama beberapa tahun dan berperan penting dalam membentuk dasar-dasar negara Indonesia yang baru.
Dalam masa memperjuangkan kemerdekaan dari belanda dan jepang, jalan yang dipilih Sjahrir adalah jalur Politik dan Diplomasi, Sjahrir percaya bahwa kemerdekaan Indonesia harus ditempuh dengan perundingan melalui jalur politik. Bukan dengan cara kekerasan atau perang. Ia berpendapat bahwa jalur kemerdekaan harus dilakukan dengan cara-cara yang damai dan harus dilakukan dengan Diplomasi yang kuat.
Sjahrir melakukan berbagai upaya diplomasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di tingkat internasional. Beberapa diplomasi yang dilakukan oleh Sjahrir antara lain:
- Kepaniteraan PBB dan KTT Meja Bundar: Sjahrir menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia dalam Kepaniteraan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1946. Dia juga menjadi bagian dari delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, yang akhirnya menghasilkan kesepakatan antara Indonesia dan Belanda untuk merdeka.
- Hubungan dengan negara-negara lain: Sjahrir menjalin hubungan dengan negara-negara lain untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, seperti Amerika Serikat, Australia, India, dan Uni Soviet. Konferensi Asia Afrika: Sjahrir menjadi salah satu tokoh penting dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, yang menjadi momen penting dalam sejarah pergerakan non-blok.
- Perundingan Linggarjati: Sebuah perundingan antara delegasi Indonesia dan Belanda yang berlangsung pada 11-15 November 1946 di Linggarjati, Jawa Barat, Indonesia. Perundingan ini merupakan upaya diplomatik Sjahrir untuk mencari solusi damai atas konflik antara Indonesia dan Belanda yang telah berlangsung sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
- Perundingan dengan Inggris: Sjahrir juga melakukan perundingan dengan pemerintah Inggris untuk membahas status Indonesia sebagai negara merdeka. Pada tanggal 27 Desember 1949, Inggris secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia.
Tidak bisa dipungkir bahwa Diplomasi yang dilakukan oleh Sjahrir sangat penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di tingkat internasional, dan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan bagi Indonesia.