Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Social Government I: Kebangkitan Pemerintahan Open Source

11 Mei 2016   11:47 Diperbarui: 11 Mei 2016   13:36 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (sumber: breakinggov.com)

"Pertanyaannya: perlukah saya pergi ke Jakarta untuk ikut Pilkada Gubernur DKI 2017? Mohon alasannya. Hatur nuhun."

Ridwan Kamil rupanya belum tidur di hari Minggu tengah malam 28 Februari lalu. Pukul 00.23 malam, Walikota Bandung itu menulis pertanyaan di atas di fanpage Facebook-nya yang memiliki 2 juta liker. Pertanyaan itu direspon oleh lebih dari 55 ribu  orang dalam bentuk komentar, dan 69 ribu lebih reactions (like, love, sad, dll). Pertanyaan yang sama juga ia ajukan di akun Instagram pribadinya dan mendapatkan gelombang respon yang sama besarnya.

Tindakan Kamil ini asing dalam dunia sosial politik kita, khususnya dalam hubungan antara pemimpin pemerintahan dengan warga daerahnya. Yang lumrah selama ini bila seorang pemimpin politik atau daerah ingin mengambil sebuah keputusan politik penting, ia akan pergi ke petinggi parpol, tokoh masyarakat, akademisi, staf ahli, atau ke pengusaha. Kalau mau bertanya ke masyarakat, tinggal ke perwakilannya di DPRD. Tak pernah ada komunikasi langsung ke masyarakat luas. Akan terlalu bising, kompleks, makan waktu, mahal dan membingungkan. Atau mungkin suara masyarakat (setelah Pilkada selesai) itu dianggap tidak penting. Komunikasi antara pemimpin dan warganya terputus, suara masyarakat hilang dalam proses pengambilan keputusan.

Dulu, komunikasi langsung secara masif, global, real-time dan mampu menghasilkan output yang terukur antara pemimpin dan warganya adalah hal yang mustahil. Itu sebabnya lembaga perwakilan lahir. Namun internet dan media sosial telah mengubah segalanya; membuat yang mustahil itu kini jadi mungkin. Internet dan media sosial telah menjadi sebuah ruang publik dimana setiap orang bisa ikut berpartisipasi secara langsung, membuat suara mereka terdengar dan berarti, serta membantu pihak lain -- termasuk pemimpin -- membuat keputusan penting.

Sejauh mana internet mampu menghadirkan tata kelola baru pemerintahan dan tatanan sosial politik sebuah wilayah? Apa yang dijanjikan internet untuk keterbukaan dan akuntabilitas pemerintah? Sejauh mana internet membuat suara seorang individu penting dalam proses pengambilan keputusan? Seberapa besar tenaga yang mampu ia berikan kepada masyarakat awam dalam percaturan politik? Apakah ia ancaman bagi masa depan institusi politik seperti parpol dan DPR/DPRD?

SISTEM LAMA YANG TERDIGITALISASI

Ada dua gelombang yang dihadirkan oleh teknologi digital dalam pemerintahan. Gelombang pertama adalah saat digunakannya perangkat komptutasi dalam pemerintahan yang dimulai sejak sekitar empat puluh tahun yang lalu. Hasil yang kita lihat dalam gelombang pertama ini komputer di gunakan oleh PNS, software administrasi dan layanan publik, serta hadirnya situs-situs pemerintahan. Ia menghadirkan apa yang kita sebut e-government (e-gov) generasi pertama. Khususnya di Indonesia, masing-masing institusi pemerintahan sampai pemda berlomba-lomba membangun e-gov. Namun inilah yang kita lihat: korupsi masih terjadi, layanan publik masih payah, lelang proyek online masih diakali, bahkan proyek e-gov itu sendiri menjadi sasaran korupsi yang empuk. Dimana salahnya? E-gov hanya dijadikan perangkat atau cara untuk 'mendigitalisasi korupsi' dan 'mengotomatisasi sistem lama yang korup'.

Sebuah software, teknologi sistem informasi atau digital framework diciptakan untuk melayani manusia dengan cara yang ditentukan ketika ia dibuat dan digunakan. Yang berada di balik e-gov ini adalah paradigma, sistem, dan kerangka kerja lama khas pemerintahan: hierarkis, command-control, vertikal, berlapis-lapis, lamban, tak efisien, dan keras kepala. E-gov tak akan ada gunanya bagi masyarakat bila ia dibangun atas sistem lama tersebut. Maksimal ia hanya akan melahirkan otomatisasi dan manfaat jaringan online. Apakah masyarakat memerlukan e-gov hanya sebatas agar bisa mempercepat proses pembuatan KTP yang dulu saat masih pakai mesin ketik memakan waktu 1 bulan, dan ketika pakai e-gov jadi 1 minggu? Apakah para pembayar pajak perlu e-gov sebatas agar kepala daerah mereka bisa pamer senyum di website pemda? Atau, apakah warga memerlukan e-gov sebatas agar bisa mengirimkan penawaran lelang proyek secara online sementara pemenang proyek sudah diatur belakangan sebelumnya secara offline?

Karena itu saya tidak percaya ketika Presiden Jokowi saat kampanye dulu mengatakan hanya perlu 2 minggu membuat software e-gov. Karena yang perlu dibuat bukanlah sebuah software, melainkan menciptakan ulang (re-invent) sistem, paradigma, dan kerangka kerja pemerintahan yang sudah mengeras dan membeku selama berdekade. Dan itu bukan pekerjaan 2 minggu. Bila maksud Jokowi hanya perlu 2 minggu membuat software e-gov 'medioker' seperti yang ada sekarang, itu benar. Tapi bila Jokowi ingin, misalnya, sebuah e-gov dimana setiap daerah menampilkan detil anggaran pemerintah sampai satuan tiga secara terbuka di internet, ia bukan butuh software (karena software untuk ini sudah tersedia luas, gratis, dan open source). Tapi butuh regulasi, perubahan sistem, dan menghadapi perlawanan politik yang amat keras. Dan ini tidak disulap dalam 2 minggu. Karena yang hendak dihadirkan bukanlah sebuah sistem teknologi informasi, melainkan menghadirkan manusia-manusia dan sistem pemerintahan dengan paradigma, sistem dan kerangka kerja baru yang bertindak di atas prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, integritas dan berbagi -- prinsip-prinsip yang langka kita lihat dari pelaku pemerintahan yang ada sekarang.

DUNIA PASCA SOVYET

Namun untuk masuk ke dunia baru pemerintahan bukan hanya masalah besar bagi pelaku pemerintahan, tapi juga masyarakat. Benar bahwa pada setiap kampanye semua kandidat kepala pemerintahan menjanjikan perubahan. Benar bahwa setiap saat masyarakat selalu menyuarakan tuntutan perubahan pada pemerintah. Benar bahwa kandidat kepala pemerintahan dan konstituennya sama-sama bersepakat menghadirkan perubahan dalam masa kepemimpinannya kelak.

Namun benarkah kedua pihak ini sama-sama menginginkan perubahan? Karena inilah yang hadir mengiringi perubahan: ketidakstabilan, ketidakpastian, guncangan, dan semua yang berasosiasi dengan rasa sakit. Itulah paradoks perubahan: satu sisi ia terus dituntut, satu sisi ia menghadirkan rasa sakit. Perubahan ini kian sulit dicapai ketika secara alamiah pemerintahan dihadirkan untuk menciptakan kestabilan, bukan sebaliknya. Hal itu pula yang membuat mengapa pemerintah sulit berubah dan berinovasi: karena inovasi menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian, bahkan disruptif. Belum lagi bila kita bicara faktor betapa besarnya ukuran organisasi pemerintahan, sistem lama yang terlegitimasi berabad-abad, kepentingan pribadi, dan pertarungan politik.

Tapi inilah kabar baiknya: stabilitas sudah mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun