[caption id="attachment_408038" align="aligncenter" width="576" caption="PUTRA BANGSA DEMI ENERGI INDONESIA: Pekerja migas Indonesia menggelar upacara bendera di Central Plant Pertamina Hulu Energy Offshore North West Java (PHE ONWJ) di lepas pantai Karawang-Indramayu di Laut Jawa (22/7/14) (Sumber: Tribunnews)"][/caption] MINYAK dan gas bumi (migas) sudah sejak lama menjadi komoditas politik ketimbang sekedar komoditas ekonomi. Ia sangat menentukan kelangsungan hidup sebuah bangsa. Rasio ketergantungan dunia terhadap energi primer dari fosil ini terus menanjak. Konsumsi migas dunia rata-rata naik 1,5-3% per tahun seiring dengan target pertumbuhan ekonomi rata-rata di dunia 3%. Di dalam negeri, migas masih menduduki posisi teratas pemenuhan konsumsi energi: minyak 48%, gas 18%, dengan pertumbuhan konsumsi rata-rata 4,7% per tahun. Sedangkan pertumbuhan produksi migas dunia tidak bisa menyamai permintaan dengan celah (gap) 3-4% dan diyakini akan terus menurun seiring dengan sifatnya yang takterbarukan. [caption id="attachment_1520" align="aligncenter" width="567" caption="Laporan dan prediksi produksi berbanding konsumsi minyak bumi dunia (sumber: propertyinvesting)"]
Laporan dan prediksi produksi berbanding konsumsi minyak bumi dunia (sumber: propertyinvesting)
[/caption] Migas adalah energi primer utama bak darah dalam tubuh perekonomian setiap negara. Abad ke-21 adalah era di mana dominasi dibangun melalui kekayaan dan kesejahteraan, tidak lagi militeristik. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa saat ini dan di masa depan berlangsung 'pertempuran' antarnegara merebutkan sumberdaya energi, khususnya migas, dan memperkuat posisi mereka melalui ketahanan energi (energy security) nasional. Pemenuhannya tidak lagi dilakukan di tingkat domestik, tapi sudah berekspansi mengamankan pasokan di negara lain. Volatilitas harga minyak, ketegangan politik di negara produsen, tingginya target pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di negara-negara industri berkembang, menjadikan topik ketahanan energi kian kompleks. Sementara pemanfaatan energi terbarukan juga masih rendah dan belum dapat bersaing dengan energi fosil karena biaya pokok produksi yang tinggi dengan output relatif rendah. Tiga variabel yang saling terhubung dan menentukan dalam ketahanan energi adalah sumber (resource), rantai suplai (supply chain) dan harga (price). Ketiganya tak dapat dipisahkan dan memerlukan strategi penanganan yang integratif. Seperti juga masalah umum negara lain, Indonesia juga menghadapi tantangan terbatasnya sumber energi dan tidak meratanya distribusi. Negara kita mengalami ketergantungan pada satu bentuk energi, satu sumber dan satu sistem distribusi. Sumber minyak Indonesia mayoritas terletak di Pulau Sumatera dan Kalimantan, sementara pusat industri berada di Pulau Jawa. Indonesia sebagai negara kepulauan menghadapi tantangan rumit dan mahalnya pengangkutan, yang otomatis dimensi ketahanan energi kian kompleks. Bersamaan dengan itu, produksi turun dengan natural decline 16% per tahun. Soal gas pun tak kalah rumit. Cadangannya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, namun infrastruktur distribusi terutama pemipaan pemipaan masih rendah. Kuantitas tampungan kilang pengolah juga jauh dari ideal dan hanya bisa memproses gas tertentu. Padahal gas diharapkan bisa menjadi energi primer dan final bagi pembangkit listrik, industri, bahkan rumah tangga. Persoalan ini juga masih ditambah dengan transmisi ke energi final, khususnya listrik dan gas ke sektor industri yang masih belum merata. Akibatnya laju perekonomian tertahan dan menambah beban industri dalam membiayai kebutuhan energi secara mandiri.
A. STUDI KASUS CHINA: ZONA EKONOMI BERORIENTASI ENERGI
Dr Bruce C Arntzen, Senior Research Director di MIT Center for Transportation and Logistic, mengatakan diskusi ketahanan energi di abad-21 tidak akan bisa dimulai tanpa melihat dulu ke China. Negeri Tirai Bambu itu dianggap sebagai model ideal ketahanan energi yang agresif sekaligus diplomatif dalam manajemen ketahanan energi, terutama sumber dan rantai suplai. Indonesia juga mengalami tantangan yang mirip dengan China. Cadangan minyak dan batubara China berada di kawasan utara dan timur laut seperti Huabie, Daqing, Shengli dan Zongyuan. Gas terletak di kawasan barat dengan geografis yang kompleks. Sementara industri dan konsumen berada di wilayah tenggara. Setidaknya ada empat strategi yang diterapkan China: A.1. Right shoring China mendekatkan industrinya ke lokasi sumber energi atau bahanbaku. Mereka membangun zona ekonomi khusus baru yang berorientasi energi di Zhuhai, Shantou, Xiamen dan Shenzen, yang semuanya berorientasi pasar dan menarik masuk investasi. Lokasi-lokasi tersebut berdekatan dengan sumber atau setidaknya dekat dengan kilang pengolah dan depot utama. Dengan demikian, waktu, risiko dan biaya akibat distribusi bisa ditekan. Ganjarannya adalah nilai produksi yang makin kompetitif, harga yang sangat bersaing dan peluang kerja lokal. Di Indonesia, strategi ini sedikit tampak di Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang ditetapkan di era Presiden SBY. Sumatera dan Kalimantan ditetapkan sebagai koridor energi atau lumbung energi. Namun zona industri masih dipegang Jawa sebagai pangsa energi dan konsumen terbesar. Strategi di Indonesia tampaknya masih terbatas soal memindahkan sumberdaya dari zona energi ke zona industri di pulau terpisah. A.2. Investasi dan Insentif Infrastruktur Eksplorasi, Produksi, Distribusi dan Transmisi Selain berinvestasi besar, pemerintah China memberikan insentif pajak yang sangat menarik dan bunga bank sangat rendah bagi investor yang mau membangun infrastruktur energi, termasuk distribusi dari sumber ke zona industri. Dalam waktu relatif singkat mereka berhasil membangun pipa gas dari barat ke timur dan jalur kereta pengangkut batubara dari barat ke timur. Minyak juga berhasil dialirkan dari basis produksi di Daqing, Shengli, Liaohe dan Tarim melalui pipa ke zona industri dalam waktu relatif singkat. Pemerintah China turut berinvestasi miliaran dolar untuk membangun pembangkit listrik yang kini kapasitasnya lebih dari 1,3 juta megawatt. Listrik raksasa ini menjamin keberlangsungan industri mereka yang tumbuh 7,9% per tahun. Sementara Indonesia baru memiliki listrik 55.00 megawatt. A.3. Memperbesar Inventori Untuk menekan biaya, waktu dan risiko distribusi migas serta menaikkan stok, China menambah jumlah dan kapasitas pengangkut seperti tanker dan kereta. Kilang turut diperbesar untuk menaikkan inventori dalam rangka mengamankan cadangan energi. Saat ini China adalah negara paling agresif di dunia dalam menumpuk migas dari dalam dan luar negeri demi kelangsungan ketahanan energi dengan kapasitas 12,7 juta barel per hari. Stok migas mereka cukup untuk lebih dari 90 hari, jauh lebih tinggi dari standar OPEC. Inventori minyak di Indonesia hanya cukup 17 hari, turun dari 20 dan 18 hari. Selain menurunnya produksi domestik, kapasitas kilang Indonesia juga hanya 1 juta barel per hari. Dewan Energi Nasional (DEN) merekomendasikan pemerintah harus segera membangun atau upgrading kilang dengan kapasitas minimal 3,6 juta barel per hari. [caption id="attachment_1525" align="aligncenter" width="490" caption="Kapasitas kilang pengolahan di dunia (Sumber: British Petroleum)"]
Kapasitas kilang pengolahan di dunia (Sumber: British Petroleum)
[/caption] A.4. Industri Manufaktur yang fleksibel Salah satu kritik terhadap MP3EI bahwa industri yang dibangun di masing-masing koridor meski unik tapi tidak fleksibel. Hal ini membawa daerah di koridor tertentu ke dalam risiko yang rentan terhadap goncangan ekonomi dan volatilitas pasar komoditas. Seperti halnya Kalimantan yang ditetapkan sebagai koridor energi dengan pengembangan industri bidang migas, pertambangan, agrobisnis dan kehutanan. Ketika harga minyak dan batubara jatuh sejak tahun lalu, beberapa kota di Kalimantan Timur mengalami kelesuan ekonomi. Tidak sedikit perusahaan tambang dan pendukungnya yang tutup, ribuan pekerja di-PHK dan konsumsi masyarakat menurun signifikan. Industri di Kalimantan Timur yang didominasi pertambangan tidak memiliki fleksibilitas yang cukup untuk segera melakukan diversifikasi ke industri lain ketika komoditasnya mengalami goncangan. Sementara, mayoritas industri di zona ekonomi China memiliki fleksibilitas tinggi dan tak hanya tergantung pada produksi satu komoditas. Mesin-mesin mereka bisa menyesuaikan dengan cepat jenis bahanbaku untuk memproduksi tipe produk yang berlainan. Sekarang, hampir tidak ada produk yang tidak bisa diproduksi di China, termasuk industri yang menopang hulu migas. Dengan tetap bergeraknya industri karena fleksibilitas ini, konsumsi mereka atas energi yang disediakan juga tetap stabil sambil terus meningkatkan laju ekonomi. Kemampuan industri China pada fabrikasi penopang industri hulu migas juga telah mampu memenuhi local content atau Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di atas 60% sesuai dengan regulasi pemerintah setempat.
B. MANUSIA SEBAGAI KUNCI, INDUSTRI SEBAGAI LOKOMOTIF, PEMERINTAH SEBAGAI PENDORONG
Kebangkitan industri dan ekonomi China dengan laju pertumbuhan 7-10% per tahun dimulai belum lama bila dibandingkan Amerika Serikat dan Eropa. Di era Perang Dingin, China adalah negara terisolir dengan politik tertutup. Keterbukaan ekonomi China baru dimulai 1978 di era Deng Xiaoping dan dilanjutkan Li Peng yang sangat fokus di ketahanan energi. Ketika China mulai fokus para ketahanan energi mereka terkendala dengan penguasaan teknologi dan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk menunjang program ini. Padahal, besarnya jumlah penduduk China yang 1 miliar lebih itu membuat konsumsi energi terus menanjak. Tantangan pemerintahan kala itu adalah bagaimana secara cepat, efektif dan efisien China menguasai teknologi dan memenangkan kualitas SDM menggunakan besarnya jumlah penduduk. Pemerintah China menjalankan strategi berikut ini: B.1. Ilmu Terapan, Bukan Ilmu Murni Pemerintah China mendorong sektor pendidikan untuk fokus di bidang ilmu terapan dan industri dengan kualitas kebutuhan global. 'Ekspor' pelajar yang dimulai sejak 1978 ke Eropa dan Amerika Serikat sudah sejumlah 2,6 juta orang sampai 2013 dengan beasiswa penuh dan diwajibkan pulang serta diberikan pekerjaan dengan bayaran menggiurkan. Sepulangnya mereka akan bekerja di proyek-proyek pemerintah yang sedang giat-giatnya dan melakukan riset teknologi terapan. China adalah negara yang paling banyak di dunia mengirimkan penduduknya belajar ke luar negeri, disusul India. Indonesia sejauh ini baru mengirimkan 34.000 pelajar ke luar negeri yang mengikuti beragam program pendidikan yang tak hanya ilmu terapan. [caption id="attachment_1522" align="aligncenter" width="490" caption="Pertumbuhan pengiriman pelajar ke luar negeri (Sumber: Unesco)"]
Pertumbuhan pengiriman pelajar ke luar negeri (Sumber: Unesco)
[/caption] B.2. Syarat Transfer Teknologi China membuka kesempatan seluas-luasnya kepada investor dan pengembang infrastruktur dari luar negeri masuk ke negara mereka untuk membangun infastruktur khususnya yang berhubungan dengan energi, infrastruktur dan manufaktur. Pinjaman berbunga rendah dan insentif pajak ditawarkan. Ditambah, sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia China tentunya menarik bagi investor dan pengembang. Tapi Pemerintah China mensyaratkan setiap perusahaan pemenang kontrak dari luar negeri melakukan transfer teknologi ke warga China. Transfer teknologi harus dilakukan pemenang proyek ke BUMN China, dunia pendidikan, lembaga riset, industri serta lembaga sertifikasi. Secara cepat, warga China menyerap teknologi, aplikasi dan rekayasanya langsung dari pembuat atau operator alat. B.3. Syarat Membuka Spesifikasi Pemerintah China mensyaratkan setiap perusahaan pemenang kontrak proyek agar membentuk joint venture dengan BUMN atau BUMD. Lebih dari itu, spesifikasi alat semuanya harus dibuka dan diserahkan ke pemerintah. Spesifikasi alat dan teknologi disebarkan ke kalangan di poin ke dua di atas dalam rangka transfer teknologi. Dengan kebijakan ini, industri China 'secara gratis' mendapatkan spesifikasi alat, manufaktur dan teknologi secara terperinci. General Electric (GE) adalah salah satu yang menyerahkan spesifikasi teknologi turbin gas. Padahal, GE mengembangkan turbin ini bersama Departemen Energi Amerika Serikat dengan biaya setengah miliar dolar. Oleh China, teknologi turbin ini dikembangkan ke bentuk lain yang cara kerjanya meniru turbin, misalnya mesin pesawat. Faktor ini pula yang menyebabkan biaya produksi China begitu rendah dan diperdagangkan dengan harga yang sangat kompetitif. B.4. Syarat Joint Venture Pemerintah China mensyaratkan join venture yang sangat ketat kepada pemenang proyek dari luar negeri, terutama di bidang energi dan infrastruktur. Salah satu yang menjadi fokus joint venture adalah proyek eksplorasi dan produksi migas, pemipaan gas, peralatan pengeboran, pertambangan, pembangkit listrik, infrastruktur dan manufaktur. National oil company (NOC) China bidang migas seperti Petro China, Sinopec dan CNOOC diintensifkan dalam misi ini untuk menyerap teknologi dan manajemen operasi migas. Sehingga dalam waktu singkat sejak mereka didirikan awal 1980-an, ketiga NOC di atas sudah mampu berekspansi mengamankan kepentingan ketahanan energi China sampai luar negeri. Di Indonesia, CNOOC dan Petro China menguasai sumber minyak dengan produksi total 50.000 barel per hari, separuh dari produksi Pertamina di dalam negeri. Saat ini, China sudah mengirim lebih dari 3 juta pekerjanya ke luar negeri untuk mengerjakan berbagai proyek kerjasama antara Pemerintah China dan negara lain yang merupakan salah satu strategi China dalam ketahanan energi mereka. Kalimantan Timur termasuk yang dalam waktu dekat akan dibanjiri oleh pekerja China dengan segera dimulainya proyek China Railway sepanjang 800 km yang menghubungkan Kaltim, Kalsel dan Kalteng. Kereta ini utamanya untuk mengangkut batubara dan kelapa sawit di tiga daerah di atas yang konsesinya diberikan ke China, ke dermaga-dermaga terdekat untuk dibawa ke China. Material akan memakai produk China, begitu juga dengan pembiayaan utang luar negeri Rp88 triliun yang diberikan Bank Ekspor Impor China. Di Indonesia, sangat terbatas perusahaan domestik yang memiliki modal teknologi, SDM dan finansial yang bergerak di hulu migas. Skema ketahanan energi jangka panjang Indonesia di masa lalu belum agresif dan berorientasi pada ketahanan jangka panjang. Pasifnya kegiatan transfer teknologi, terbatasnya pengembangan SDM bidang teknologi terapan energi, rumitnya biroraksi serta belum adanya kebijakan yang integratif dari hulu ke hilir membut bisnis ini jadi kurang menarik. Di sisi lain , Pertamina sebagai NOC Indonesia lebih lama fokus di hilir dan pengolahan. Ketika Pemerintah harus memutuskan kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam di Kaltim yang dipegang Total EP (Prancis) dan Inpex (Jepang) yang berakhir 2017, Pertamina jadi calon kuat sebagai operator pengganti. Tapi sangat banyak pihak yang meragukan kemampuan Pertamina mengelola blok gas terbesar Indonesia tersebut. Salah satu alasan utamanya karena Pertamina dianggap kurang berpengalaman di industri hulu, belum begitu menguasai teknologi dan diragukannya kualitas SDM. Meski pada akhirnya Pemerintah pada Maret 2015 telah memutuskan mengalihkan operasi Blok Mahakam ke Pertamina, namun isu dan kecemasan ini tetap mengambang dan dianggap bisa mengancam devisa serta ketahanan energi nasional dengan turunnya produksi. [caption id="attachment_1523" align="aligncenter" width="500" caption="Kartun editorial tentang peralihan sahan dan operasional Blok Mahakam dari Total EP dan Inpex ke Pertamina (Sumber: Majalah Tempo, April 2015)"]
Kartun editorial tentang peralihan sahan dan operasional Blok Mahakam dari Total EP & Inpex ke Pertamina (Sumber: Majalah Tempo, April 2015)
[/caption] Masih di isu Blok Mahakam, Pemerintah Provinsi Kaltim tengah memperjuangkan pembagian saham (participating interest, PI) dari blok tersebut sebesar 10% seperti yang diatur undang-undang. Namun Pemerintah Pusat skeptis dengan kemampuan BUMD Kaltim yang ditunjuk dalam pengelolaan hak PI tersebut berdasarkan porfolio usaha dan pengalaman, serta khawatir PI dijadikan financial engineering yang menguntungkan pihak tertentu saja. Skeptis ini berlasan, tapi Pemerintah semestinya juga bertanggungjawab atas strategi ketahanan energi masa lalu yang minim transfer teknologi, pengembangan SDM dan joint venture. Pemerintah harus segera menemukan jalan untuk meningkatkan daya saing NOC dalam negeri dan pelaku bisnis lokal di industri migas untuk ketahanan energi jangka panjang. China sudah memberikan contoh yang luar biasa dan terbukti berhasil dalam hal ini. (*/bersambung ke bagian 2) Tulisan ini dibuat untuk Blog Competition: Peningkatan Peran SDM dan Industri dalam Negeri pada Kegiatan Hulu Migas yang diselenggarakan oleh SKK Migas bekerjasama dengan Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Money Selengkapnya