Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menunggu Akhir Derita Startup

22 Mei 2015   12:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:43 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_419294" align="aligncenter" width="568" caption="Ilustrasi startup (e27.co)"][/caption] Kamis malam lalu (21/5) saya menjadi salah satu partisipan Kompasiana Hang Out di Kompas TV. Di acara dengan narasumber utama Nukman Luthfie ('Bapak' social media Indonesia) dan Amir Karimuddin (Editor in Chief Daily Social) tersebut membahas tentang startup di Indonesia. Ada juga Jemy Confindo dari Telkom Indihome, serta Bambang dan Caroline yang juga Kompasianer. Videonya bisa dilihat di sini. Ini adalah pertama kali saya ikut di Kompasiana Hang Out. Kesan pertama adalah: durasinya amat singkat. Dipotong durasi berita dan iklan, durasi yang tersisa hanya sekitar 30 menit. Masing-masing Kompasianer hanya dapat kesempatan bicara 1 kali dengan durasi sekitar 1 menit, termasuk saya. Oke, ini kritik saya terhadap acara tersebut yang merasa bahwa Kompasianer hanya 'dipajang' saja dalam acara berdurasi 1 jam itu. Tapi tulisan ini bukan soal kritik ke Kompas TV atau Kompasiana. Nukman dan Amir bicara banyak soal pendanaan dan investasi buat startup. Sementara Jemy banyak bicara soal infrastruktur yang disediakan Telkom. Menurut saya ini bukan persoalan utama startup, terutama di daerah (dan saya tak sempat mengutarakan ini karena durasi). [caption id="attachment_1725" align="aligncenter" width="600" caption="Kompasiana Hang Out Kamis Malam (21/5) di KompasTV dengan topik Internet Startup. (Rama Mamuaya)"]

[/caption]

STARTUP JUNGKIR BALIK SENDIRIAN DALAM EKOSISTEM BURUK Sebagai pendiri dan pemilik startup Social Lab (dulu bagian Discover Borneo) di Balikpapan, Kaltim, saya merasakan sendiri betapa beratnya membangun startup dalam ekosistem yang tidak mendukung. Pendanaan (funding) dan infrastruktur justru bukan masalah utama. Persoalan besarnya ada di mentor, promoter, network, inkubator, akselerator dan regulator. Investor justru belakangan. Faktor-faktor di atas saling terhubung secara mutual dalam sebuah ekosistem. Dan ekosistem ini lah yang paling penting. Startup sudah punya masalah sejak awal ketika mereka memilih produk/jasa dan model bisnis. Bisnis digital sangat rawan hype. Ketika e-commerce booming, semua bikin toko online. Saat mobile app booming, ramai-ramai jadi mobile developer. Ketika bisnis buzzer gurih, semua bikin akun buzzer. Padahal belum tentu pilihan mereka tepat bila dilihat dari potensi market, kompetensi dan masa depan usaha. Apalagi startup mayoritas diisi anak-anak muda yang mudah terbujuk hype dan tren. Mereka mungkin sedang gandrung, tapi belum tentu punya passion. Punya passion, tapi belum tentu punya kompetensi. Punya kompetensi, belum tentu marketnya ada. Bisa jadi potensi usernya terbuka lebar, tapi nilai bisnisnya kecil. Ketika salah di langkah awal, langkah selanjutnya bisa sangat buruk. Apalagi sudah jadi keniscayaan bahwa setiap bisnis internet dan digital tempat tarungnya sekup global, tingkat dunia. Minimal nasional. Dunia digital yang tanpa batas membuat standar penilaian kualitasnya juga borderless (tanpa batasan teritori). Sebuah produk buatan startup lokal di sisi user akan dibandingkan dengan produk serupa buatan sebuah perusahaan raksasa di Silicon Valley. Ladang pertempurannya juga berdarah-darah karena mempertemukan pemain besar dengan pemain kecil -- bahkan yang baru lahir. Sebagai industri kreatif, startup bisa dilakukan oleh siapa pun. Kata Bapak Nukman, orang bodoh, orang pintar, orang kaya, orang miskin, bebas masuk dan memulai bisnis startup. Bisnis digital itu tempat tarung yang super sadis dan uang tidak jadi segala-galanya. Startup saya sendiri adalah korban hype ketika bisnis buzzer Indonesia sedang booming akhir 2000-an. Lewat akun Twitter informasi perkotaan @KotaBalikpapan, saya dan seorang teman memulai usaha buzzer. Tak ada satu pun dari kami yang tahu ini 'barang apa'. Nekat saja pokoknya. Tanpa guru, tanpa promoter, tanpa ikubator. Yang dimiliki cuma network dan kompetensi bidang IT. Dalam hitungan minggu, kami sudah bisa meraba model bisnisnya dan agak percaya diri pergi ke prospect client dan investor. Prospect client dan investor tingkat lokal juga bingung, ini 'barang apa'. Yang mereka tahu, Twitter itu 'barang mainan' dan gratis. Kalau beriklan mereka lebih memilih ke media mainstream. Investor juga tidak mau 'buang uang' ke bisnis yang menurut mereka tidak jelas keuntungannya begini -- dan kelihatannya lebih jelas main-main dan ruginya. Menurut mereka kami cuma anak muda yang sedang ikut-ikutan tren saja. Memang tidak salah, sih! Padahal dari segi user, @KotaBalikpapan tumbuh sangat cepat. Sekarang followernya sudah 110.000 lebih dan jadi yang paling besar di Indonesia Tengah dan segera di Indonesia Timur juga. Padahal populasi Balikpapan hanya 600 ribu. Artinya dari segi user prospektif, tapi dari segi income dan investor buruk sekali. Tapi apakah bila tak punya uang artinya harus berhenti di sini? Tidak. Apalagi anak muda (yang katanya) pantang menyerah. Maka datanglah ke bank cari kredit. Gampang sekali dapatnya. Nah, sekarang punya uang (agak banyak juga), punya user, tapi tetap tak punya income (client). Padahal cicilan dan bunga jalan terus setiap bulan. Kondisi ini masih diperparah dengan nihilnya kompetensi dan pengalaman kami memiliki dan mengelola perusahaan. Perusahaan ini mau dikelola seperti apa, tidak ada yang bimbing. Akhirnya trial and error, dan otomatis menguras biaya. Sampai pada titik kami makin tercekik dengan cicilan itu di saat income tidak juga membaik. Sebenarnya kami kenal sangat dekat dengan Walikota Balikpapan Bapak Rizal Effendi. Tapi beliau juga tidak paham 'barang' apa yang kami miliki ini. Jadi, kegiatan marketing kami sebenarnya bukan memasarkan atau menjual, tapi 'mengedukasi' calon klien. Bisa saja calon klien itu kemudian jadi teredukasi, tapi bukan level pembuat kebijakan yang rata-rata berusia tua. Bisa saja si pembuat kebijakan teredukasi, tapi tidak ada anggaran. Ini benar-benar menguras tenaga, waktu, pikiran dan perasaan. Pilihannya jadi sangat sulit. Kalau bisnis ini ditutup, utang bank tetap jalan. Cari investor, mereka tidak paham bisnisnya. Terus dijalankan, income juga tidak membaik. Tapi akhirnya kami pilih terus dijalankan karena Rp1 dikurang Rp1 juta itu lebih baik dibandingkan Rp0 dikurang Rp1 juta. Katanya posisi terjepit itu membuat orang jadi kreatif. Itu terjadi pada kami yang harus mengubah 'bencana' ini jadi berkah. Kawan saya yang mengurus perusahaan melakukan efisiensi besar-besaran. Saya yang mengurus operasional langsung banting setir: tak bisa hanya mengandalkan buzzer dan tak bisa mengandalkan pasar lokal. Dari segi produk, saya memperluas jenis produk/jasa dengan sekup lebih luas ke social commerce developer & consultant, big data analytic, business intelligence, reputation management, dan trainer. Geraknya jadi lebih leluasa. Sebagai orang yang juga bekerja di surat kabar, saya punya kompetensi dan pengalaman di bidang komunikasi dan konten. Sementara di bidang IT, saya sudah punya pengalaman sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dari segi market, saya berhenti cari klien di Balikpapan. Saya merambah ke Jakarta dan ikut dalam lelang pekerjaan freelance di internet secara global. Satu per satu uang datang dan brand-brand besar skala nasional dan internasional jadi klien. Sekarang income-nya bisa buat menjalankan dan mengembangkan usaha serta bernafas sampai 3-4 tahun ke depan. Dari keseluruhan omzet, 90% datang dari Jakarta, 7% internasional dan 3% lokal. Saya sampaikan ke teman saya, "Kenapa juga kita dari dulu habis waktu, tenaga, dan uang di pasar lokal yang nggak paham dan nggak ada duitnya begini? Padahal dapat uang di Jakarta jauh lebih mudah dan sangat besar size-nya." Kisah pengalaman saya di atas adalah cerminan betapa rentannya para startup bila tak didukung dalam ekosistem yang baik. Startup yang dijalankan anak-anak muda -- terutama di daerah -- yang minim pengalaman berbisnis dan mengoperasikan perusahaan, berhadapan dengan potensi yang sangat besar tewas di tengah jalan. Akhirnya bisnis digital dan internet dianggap hype, sesuatu yang dilebih-lebihkan tapi nilainya rendah. Saya memahami kenapa Bapak Nukman dan Amir menitikberatkan pembicaraan pada pendanaan atau investor. Secara teritori, Bapak Nukman dan Amir hidup di Jakarta yang market dan user-nya sudah terbentuk, begitu pula dengan investornya yang sudah bermunculan. Meski, para investor startup Indonesia yang berhasil lebih didominasi investor luar. Tapi untuk startup di daerah seperti saya, market dan investor itu belum terbentuk, apalagi regulator. Meski, dari segi ukuran user sangat prospektif.

INKUBASI: FILANTROPI ATAU STRATEGI PEMASARAN?

Saya mengapresiasi PT Telkom yang saat ini punya program inkubasi bagi startup. Di Balikpapan pun Telkom sudah membangun Digital Innovation Lounge (Dilo) sejak tahun lalu. Saya juga dekat secara pribadi dan bisnis dengan petinggi Telkom di Kaltim dan sempat melakukan beberapa kerjasama termasuk mentorship. Namun saya merasakan ada gap (jurang) yang cukup lebar soal pemahaman bisnis digital dan startup antara awak Telkom pusat dan Telkom daerah. Saya merasa (ini cuma perasaan saja) lebih banyak tidak nyambungnya ketimbang nyambungnya kalau bicara tentang bisnis digital dan startup dengan awak Telkom daerah. Saya juga melihat kegiatan inkubasi atau pembinaan startup di Balikpapan lebih kepada strategi pemasaran, bukan filantropi. Padahal saya sangat berharap program inkubasi dan pembinaan ini murni filantropi atau CSR, bukan ajang pemasaran BosToko, Indihome atau WifiID. Saya rasa Telkom juga tidak bebas dari jebakan hype. Februari lalu Telkom menggelar Indigo Apprentice Awards 2015 sebagai ajang kompetisi mobile app. Pemenangnya akan diberi pendanaan, mentor dan network. Begitu lah, ketika mobile app sedang populer, Telkom juga ikut ramai-ramai di mobile app. Telkom yang mengklaim acara ini sebagai 'berburu startup lokal', menurut saya juga harus mengubah polanya menjadi kompetisi di internal Telkom itu sendiri. Telkom yang memiliki program inkubasi harus mendorong Telkom daerah untuk memaksimalkan inkubasi itu, mendidik dan membina anak-anak dalam inkubasinya dan membawa mereka berkompetisi dengan anak-anak inkubasi Telkom dari daerah lain. Jadi, posisinya bukan Telkom sebagai penyelenggara acara, tapi fasilitator, mentor, promoter dan networker. Itu bila memang niatnya filantropi. Kalau sekedar bikin lomba, sudah sangat banyak lomba sejenis ini dari tingkat lokal sampai internasional.

KEMANDIRIAN STARTUP DAN EKOSISTEM YANG MENDUKUNG

Tulisan saya di atas mungkin bernada mengeluh. Tapi kenyataannya, startup yang saya miliki tidak pernah sepeser pun didanai dan dapat pemasukan dari pemerintah. Meski bermitra dengan Telkom, tapi tak sepeser pun pernah dapat bantuan dari Telkom. Dan memang bukan itu yang kami cari. Sebaliknya, kami memberikan nilai tambah yang sangat besar kepada pemerintah dan Telkom dalam turut menciptakan ekosistem digital perkotaan. Kisah saya tadi adalah gambaran anak muda daerah berjuang sendirian membangun startup dalam ekosistem yang tak mendukung -- dan berhasil survive meski berdarah-darah. Saya yakin anak muda Indonesia tidak pantang menyerah, siap mandiri bahkan jungkirbalik dalam membangun wirausaha. Tapi menceburkan mereka bersamaan ke lautan darah persaingan bisnis digital saat masih 'lugu-lugunya' dan ketika slogan 'Kami Dukung Bisnis Startup!' bertebaran, sungguh tidak pantas. Di sisi pemerintah, startup butuh dukungan terwujudnya ekosistem yang baik. Bukan butuh didanai pakai APBD atau dibangunkan tempat. Utamanya adalah didukung lewat pengakuan, promosi dan network ke kalangan pemilik modal dan market. Pemerintah juga harus mampu menciptakan ekosistem digital perkotaan yang pada akhirnya membuat produk/jasa milik startup punya value. Misal, sebuah startup membuat mobile app informasi perkotaan. Pemerintah mendukungnya bukan lewat membeli aplikasi itu pakai APBD, tapi ikut mempromosikannya kepada khalayak, dan mempertemukan startup itu dengan orang-orang yang bisa membantu mengembangkan bisnisnya. Startup butuh didukung lewat pengakuan dan ekosistem, bukan 'disusui'. Bila sampai saat ini Pemda rajin ikut pameran dan eksibisi memamerkan kerajinan daerah sampai luar negeri, sudah saatnya produk startup turut di-endorse sebagai produk daerah. Sementara program inkubasi dari pihak swasta juga mesti jujur, apakah ia filantropi atau strategi bisnis. Inkubasi juga harus didefinisikan lagi: apakah ia jadi fasilitas pembesaran atau sebatas fasilitas balai latihan? Di saat program dan tempat berlabel 'inkubator' tumbuh cukup banyak, sampai sekarang saya tidak melihat ada kompetisi antar inkubator. Bila startup dianggap bayi, maka pelaksana inkubator selayaknya dianggap ibu. Selama ini yang dikompetisikan hanya bayi-bayi itu saja, dan kebanyakan bayi ini jungkirbalik sendirian. Saya menunggu adanya para 'ibu' ini ikut dikompetisikan sebagai cara kita mengukur keberhasilan inkubator. Sehingga, program inkubasi menjadi program yang berkelanjutan dan intens. Bukan sekedar membangun fasilitas, menyediakan internet, bikin lomba, selesai. Begitu juga cara memandang kebutuhan startup terhadap pendanaan. Bukan soal bagaimana cara agar startup mendapatkan investor. Tapi bagaimana menciptakan ekosistem, iklim bisnis dan tata niaga yang baik untuk bisnis digital, serta membina startup agar bisnis dan produk mereka dihargai investor. (*) *Tulisan ini adalah versi Kompasiana dari tulisan aslinya di Blog Social Lab oleh penulis yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun