[caption caption="Rakyat Kaltim saat mengikuti sidang putusan uji materi Pasal 14 e dan f UU 33/2004 di Mahkamah Konstitusi 12 September 2012 lalu. Dalam uji materiil ini 4 Anggota DPD RI asal Kaltim menjadi pemohon. (Tribunnews.com)"]
[/caption]
Luther Kombong beringsut di tempat duduknya saat Mahfud MD membaca putusan sidang hasil judicial review atau uji materiil di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 12 September 2012 lalu. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Kalimantan Timur (Kaltim) tersebut hadir di sana bersama Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, Ketua DPRD Kaltim Mukmin Faisal, serta belasan pejabat dan tokoh dari Kaltim lainnya.
"Kita cari cara lain," bisik Luther kepada Awang Ferdian, Anggota DPD asal Kaltim lain yang duduk di sebelahnya. Semua wajah dari Kaltim yang sebelumnya tegang, mendadak jadi murung. Beberapa tak bisa menyembunyikan ekspresi marah. Saya yang hadir di situ bisa merasakan kekecewaan mereka.
Majelis hakim MK menolak seluruhnya uji materiil pasal 14 e dan f UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diajukan Kaltim. Pasal tersebut mengatur soal dana bagi hasil (DBH) migas untuk Pusat dan daerah. DBH minyak dibagi 84,5% untuk Pusat dan 15,5% untuk daerah. Sementara DBH gas 69,5% untuk Pusat dan 30,5% untuk daerah. Kaltim merasa pembagian ini tidak adil dan meminta ada kenaikan prosentase DBH untuk daerah. Dibanding Aceh dan Papua prosentase ini bak bumi dan langit. Berdasarkan UU Otonomi Khusus, keduanya mendapatkan DBH 70% buat daerah, 30% untuk Pusat. Pertimbangan yang dipakai semata-mata alasan politik dan hankam.
Topik uji materiil ini digulirkan dan gerakannya digalang secara maraton setahun lebih di Kaltim. Semua Pemda ikut aktif, begitu juga dengan ormas. Saya ditunjuk sebagai koordinator kampanye di media massa. Anggota DPD dari Kaltim tak hanya aktif. Keempatnya bahkan menjadi pemohon. Mereka adalah Luther Kombong, Awang Ferdian, Bambang Susilo dan Muslihuddin Abdurrasyid.
Peran aktif Anggota DPD asal Kaltim ini berbanding terbalik dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI asal Kaltim yang jumlahnya dua kali lipat. Dukungan yang mereka berikan sebatas dukungan opini di koran. Malah, para Anggota DPD dari daerah penghasil migas lain di Indonesia ikut berjuang dalam barisan. Mereka yang ikut adalah Anggota DPD dari Kepulauan Riau, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Mereka yakin bila uji materiil ini dikabulkan MK, perubahan besar juga akan terjadi di daerah asal mereka. Aceh dan Papua tidak ikut.
"Gerakan kita ini tak hanya langkah hukum, tapi juga gerakan politik. Selama ini Kaltim kurang diperhatikan karena posisi tawar kawan-kawan dari Kaltim di DPR kurang kuat dan terikat kebijakan partai. Kami yang di DPD secara politik jauh lebih leluasa bergerak, jumlah konstituen juga lebih banyak. Tapi lihat sendiri, DPD lemah dalam daya tawar politik karena dibatasi oleh sistem," ucap Luther kepada saya beberapa waktu sebelum sidang putusan.
Dalam sidang mendengarkan keterangan ahli pada uji materiil di atas, perwakilan dari Kementerian Keuangan memberikan kesaksian mengejutkan. Prosentase DBH migas di atas, dikatakannya adalah kesepakatan antara Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU. Tidak pernah ada kajian akademis yang membahas apakah prosentase DBH itu adil atau tidak bagi daerah penghasil.
Kalau sejak dulu sampai sekarang daerah penghasil migas selalu mengeluh soal kesenjangan ekonomi Pusat-daerah, mengapa pasal 14 e dan f UU 33/2004 itu bisa lolos di parlemen? Ke mana suara mereka? Kalaupun baru sadar belakangan DBH itu tidak adil, mengapa UU tersebut tak pernah direvisi? Mengapa tidak pernah ada politic enforcement (dorongan politik) dari para legislator dari daerah penghasil? Sementara, pertambangan adalah satu dari total 31 satu urusan yang menjadi kewenangan daerah.
SENTRALISASI PARLEMEN DI NEGARA DESENTRALISASI
"Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis Presiden bertanggungjawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil golongan langsung daripada rakyat Indonesia," cetus Mohamad Yamin dalam pidatonya sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 31 Januari 1941.