[caption id="" align="aligncenter" width="554" caption="Beberapa platform ephemeralnet (sumber: uxmas)"][/caption] Salah satu pertanyaan terpenting dan terbanyak yang dilontarkan oleh kolega pelaku bisnis yang terlibat dalam social commerce kepada saya adalah: Bagaimana masa depan Twitter dan Facebook? Apa platform social media populer masa depan? Saya memahami kekhawatiran para pelaku bisnis yang akan atau telah berinvestasi dalam social commerce. Mereka cemas mengeluarkan uang pada aktivitas yang temporer, hype atau ramai-ramai sementara saja. Mereka melihat fakta bahwa Facebook dan Twitter memang masih raja social media, tapi di saat yang sama platform baru terus bermunculan dan populer. Antara lain seperti Path dan Snapchat. Apakah Path dan Snapchat akan jadi masa depan social media? Bila iya, mereka akan lebih memilih platform masa depan ketimbang platform populer (Facebook dan Twitter) yang segera akan basi. Apalagi saat ini berkembang isu-isu tentang keamanan privacy, kekerasan di dunia maya dan eksploitasi data pengguna oleh penyedia platform. Hal ini melahirkan platform social media yang ephemeral atau selintas. Platformnya dinamakan Ephemeralnet, contohnya Snapchat dimana pesan hanya dikirim ke lingkaran kecil yang kita pilih dan bisa dihilangkan dengan segera. Mereka yang percaya dengan Ephemerality seperti CEO Snapchat, Evan Spiegel, yakin bahwa di masa depan social media akan semakin tertutup dan lingkaran jejaring pengguna akan semakin kecil. Spiegel bahkan mengatakan ephemerality adalah keharusan dan inti dari percakapan. Meyakinkan kah pernyataan Spiegel ini? Menjawab Ephemerality lewat Piramida Maslow Internet dan social media bisa begitu populer bukan karena ia adalah teknologi terbaru yang hadir di zamannya. Ia hanya perangkat. Mereka bisa populer karena bisa memenuhi kebutuhan manusia. Teknologi dan platform baru akan selalu lahir tiap detik. Ini bukan persoalan 'barang baru', namun bagaimana barang baru itu bisa memenuhi kebutuhan manusia yang bahkan sebelumnya tidak terduga atau tak terpetakan. Dalam tulisan saya Social Media dan Homo Socialis dan Social Media dalam Piramida Maslow, saya menjelaskan kebutuhan-kebutuhan manusia yang bisa dipenuhi lewat social media. Ephemerality yang selalu bicara soal keintiman berada pada tingkat ke-3 Piramida Maslow. Benar bahwa manusia memiliki kebutuhan keintiman. Pendukung ephemerality ingin social media hanya digunakan sebagai perangkat membangun keintiman dan keintiman itu tak bisa tercapai lewat Facebook atau Twitter. Namun pendukung ephemerality hanya sebatas melihat social media sebagai perangkat pemenuhan kebutuhan keintiman. Mereka tak melihat manusia memiliki kebutuhan lain di tingkat ke-4 dan ke-5 dalam Piramida Maslow. Manusia punya kebutuhan (atau obsesi) pada self-esteem, respect, confidence, problem solving, creativity dan morality. Kebutuhan yang saya sebutkan belakangan ini nyatanya berada dalam tingkat yang lebih tinggi dibanding keintiman. Platform Ephemeralnet tidak akan bisa menjawab atau memenuhi kebutuhan ini. Tapi Facebook, Twitter dan blog bisa! [caption id="attachment_1508" align="aligncenter" width="477" caption="Piramida Maslow (sumber SMTT)"]
[/caption] Apakah Snapchat bisa menjawab kebutuhan keintiman? Ya! Apakah Snapchat menjawab kebutuhan di tingkat ke-4 dan ke-5 Piramida Maslow? Tidak Apakah Twitter dan Facebook bisa menjawab kebutuhan keintiman? Ya. Tapi keliru membangun keintiman personal lewat Twitter dan Facebook. Apakah Twitter dan Facebook menjawab kebutuhan di tingkat ke-4 dan ke-5 Piramida Maslow? Ya. Intimacy vs Self Esteem Kita tidak bisa membandingkan platform ephemeralnet seperti Snapchat dengan social media populer seperti Facebook dan Twitter. Keduanya memenuhi kebutuhan yang berbeda. Sehingga, tak ada manfaatnya 'membenturkan' Snapchat dan Facebook/Twitter. Facebook/Twitter dan social blog seperti Kompasiana turut dipergunakan sebagai perangkat pengelola reputasi dan mendapatkan social currency (nilai seseorang dalam pergaulan). Tanpa Facebook dan Twitter kita tak akan melihat nama-nama seperti Raditya Dika, Jonru atau Felix Siaw. Tanpa social blog seperti Kompasiana kita tak akan melihat tulisan seperti Rumah Kaca Abraham Samad. Facebook, Twitter atau Kompasiana adalah perangkat self-publishing sehinga setiap orang bisa menjadi publisher dan pencipta konten. Maka, bila ingin membangun keintiman, maka tempatnya bukan di social media populer. Path Takluk Pada Kebutuhan Self-Esteem Ketika lahir pada 2010, pengalaman lain yang ditawarkan Path adalah keintiman dan privacy. Pengguna Path hanya bisa memiliki 150 teman. Path menjawab keluhan pengguna Twitter/Facebook yang terlalu 'berisik' dan berisi teman-teman yang tidak terlalu dekat. Dengan hanya 150 teman, Path menawarkan keintiman dan tak terlalu berisik. Jumlah 150 ini dipilih Path berdasarkanpenelitian Professor Robin Dunbar dari Oxford University bahwa hubungan dekat seorang manusia hanya terjadi ke maksimal 150 orang. Uniknya, tidak sedikit pengguna Path yang membagi konten mereka ke akun Facebook dan Twitter. Tahun 2014, Path menambah batas jumlah teman menjadi 500. Path 'takluk' pada tuntutan kebutuhan penggunanya sendiri yang ingin mencapai self-esteem dan social currency di network yang lebih luas. Path 'mengkhianati' Robin Dunbar. Alasan lain, Path ingin menambah jumlah user dengan menaikkan jumlah maksimum pertemanan. Karena nilai bisnis tak akan bisa naik bila jumlah user stagnan. Kalau dibandingkan dengan Facebook, rata-rata pertemanan di Facebook adalah 303 orang per user. Jumlah ini bahkan lebih sedikit dibanding angka 500 milik Path. Jadi, dengan fitur yang lebih kaya dan popularitas lebih tinggi, membangun keintiman di Facebook-pun bukan hal mustahil. Saya pribadi yang menjadi user Facebook sejak 2006 hanya memiliki 312 teman. [caption id="attachment_1563" align="aligncenter" width="560" caption="Rata-rata jumlah teman per user Facebook tahun 2013 (sumber: Edison Research)"]
Rata-rata jumlah teman per user Facebook tahun 2013.
[/caption] Lalu apa point keintiman yang hendak dijual oleh Path? Sampai kapan Path malu-malu menaikkan lagi angka 500 itu demi mendapatkan user? Awalnya Path coba menjual angka 150 itu dengan referensi penelitian Robin Dunbar. Tapi pada akhirnya Path harus takluk pada kebutuhan penggunanya yang awalnya ingin privacy, tapi akhirnya juga ingin eksis di jejaring yang lebih lebar. Berada di tingkat ke-3 Piramida Maslow ternyata tidak cukup bagi pengguna Path. Mereka ingin naik kelas ke tingkat ke-4 dan ke-5. Masa Depan Social Media Ephemeralnet jelas bukan masa depan social media. Ia adalah tesis yang berlawanan dengan cita-cita para pendiri social media untuk menciptakan dunia yang terbuka dan terhubung. Revolusi Arab Spring, Mesir, Tunisia, Iran, tak akan terjadi bila Facebook dan Twitter adalah bagian dari ephemeralnet. Kita tak akan bisa cekakak-cekikik melihat #SaveHajiLulung atau #GwMahGituOrangnya bila Twitter hanya dibuat untuk membangun keintiman. Kita tak bisa memantau kemacetan, cuaca, kebakaran, kecelakaan atau bahkan berkomunikasi dengan seorang presiden, bila Facebook/Twitter diciptakan seperti Snapchat. Selalu akan ada orang yang menggunakan Snapchat atau Path, sama seperti akan ada orang yang hanya ingin membangun keintiman dan privacy di social media. Saya tidak akan mengatakan Snapchat atau Path akan tutup atau bangkrut. Tapi selama mereka hanya memakai dalih keintiman dan berdiam di tingkat ke-3 Piramida Maslow, rasanya mustahil bisa menyaingi popularitas Twitter/Facebook. [caption id="attachment_1566" align="aligncenter" width="500" caption="Platform social media dan jumlah penggunanya (Sumber: Silverpop)"]
Platform social media dan jumlah penggunanya
[/caption] Social media masa depan bukan soal platform. Sangat mungkin Twitter dan Facebook akan kalah atau tergantikan dengan platform lain di masa depan. Tapi bukan karena platform itu lebih canggih. Namun bagaimana platform itu bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang belum terdefinisikan dengan jelas. Dalam hal ini, saya lebih percaya dengan virtual reality sebagai masa depan social media. Bahkan Mark Zuckerberg telah mengakuisisi Oculus VR. Dengan ini, manusia tak hanya bisa berbagi pengalaman, ide dan perasaan lewat teks, foto dan video. Tapi juga mengizinkan teman-teman mereka merasakan pengalaman yang nyaris nyata yang bisa dirasakan berbagai indera. Namun apapun bentuknya, social media masa depan tetap diselenggarakan untuk membangun dunia yang terbuka dan terhubung -- sebuah dunia yang lebih baik. Dan itu tidak akan bisa dicapai lewat ephemerality. (*) * Tulisan ini adalah versi Kompasiana dari tulisan aslinya di Blog Social Lab oleh penulis yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Inovasi Selengkapnya