[caption id="attachment_416861" align="aligncenter" width="500" caption="Aksi mendukung regulasi Net Neutrality di AS tahun lalu. (sumber: Chicago Tribune)"][/caption]
Di Indonesia diskusi soal internet baru mencakup tiga topik: ketersediaan dan kualitas, nilai ekonomi dan moralitas (hukum). Pemerintah, masyarakat dan pelaku industri kita belum sampai pada topik bahwa akses internet adalah bagian dari hak azasi manusia seperti yang dideklarasikan PBB. Ia bagian dari hak azasi manusia fundamental untuk mendapatkan informasi, berpendapat dan berekspresi.
Tahun lalu Pemerintahan Barack Obama mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang Net Neutrality atau Netralitas Internet. UU ini sejalan dengan usulan Federal Communications Commision (FCC) yang mengatur administrasi telekomunikasi di AS. Saat ini AS masih menjadi jalur utama internet dunia. Regulasi yang berlaku di sana pasti akan berimbas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Netralitas Internet adalah sebuah prinsip di mana perusahaan yang mengkoneksikan kita (pengguna) ke internet tidak boleh mengontrol apa yang kita lakukan di internet (The principle that the company that connects you to the internet  does not get to control what you do on the interne). Netralitas Internet berada dalam 3 topik umum: kebebasan akses, jaminan kecepatan dan blokir/sensor.
KEBEBASAN AKSES
Netralitas Internet menganggap semua jenis data harus diperlakukan sama. Tak boleh ada diskriminasi atas akses data tertentu. Contoh mudahnya, di Indonesia masih banyak operator selular yang menyediakan 'paket data hemat' dimana pengguna hanya bisa menggunakan messenger, email dan social media, tapi tidak bisa mengakses situs dan video. Netralitas Internet melawan hal ini. Akses pengguna ke semua jenis data harus dibuka, dan data itu diperlakukan sama. Tidak boleh ada data yang mengharuskan pengguna membayar tarif tertentu agar bisa diakses.
Yang belakangan diributkan adalah Internet.org yang digagas oleh Mark Zuckerberg, pendiri Facebook. Dari luar Internet.org ini sangat murah hati karena menyediakan internet gratis untuk 2/3 populasi dunia. Tapi hanya situs-situs tertentu yang digratiskan. Hal ini melanggar Netralitas Internet.
Diskriminasi yang sama juga terjado pada protokol. Tidak sedikit internet service provider (ISP) yang memblokir protokol tertentu seperti torrent (peer-to-peer sharing), atau membatasi akses streaming.
JAMINAN KECEPATAN
Sebagai seorang warga Balikpapan, saya hanya bisa menikmati kecepatan internet di ponsel maksimal 2 Mbps. Kalau berada di Jakarta, kecepatan internet ponsel saya bisa sampai 20 Mbps. Padahal operatornya sama. Luar biasa perbedaanya. Operator selular yang saya pakai dalam brosur jualannya menyebutkan kecepatan internet kartu yang saya pakai Up to 30 Mbps. Semua provider internet semua memakai kata 'Up to' ini, yang artinya 'bisa sampai'. Kata 'Up to' ini adalah pintu diskriminasi pembatasan kecepatan dan tidak terjaminnya kualitas kecepatan. Seakan-akan provider mau bilang: "kecepatan internet kami bisa sampai 30 Mbps, tapi nggak jamin juga bisa segitu".
Lalu sebenarnya berapa kecepatan internet yang dijaminkan provider kepada setiap penggunanya? Tidak ada. Bahkan yang Up to 30 Mbps itu dalam realitanya bisa 0,01 Mbps. Namanya juga 'bisa sampai'...
Netralitas Internet melawan cara-cara penyedia jaringan internet yang tidak terbuka dan tak menjamin kualitas kecepatannya. Bukan berarti semua provider harus menyediakan internet super cepat. Tapi ia harus menyediakan apa yang dijanjikan secara tegas, jelas dan transparan. Saya dan warga Jakarta sama-sama dijanjikan kecepatan internet 30 Mbps, tapi diperlakukan berbeda. Kalau saya hanya dijanjikan dan dijamin dengan kecepatan 1 Mbps, tidak masalah, selama saya tidak dijanjikan 30 Mbps tapi dengan kata 'Up to'.
Kekuasaan provider pada pembatasan atau diskriminasi kecepatan ini juga terjadi pada protokol dan alamat IP. Misal, protokol FTP dibatasi kecepatan upstream-nya, begitu juga dengan protokol dan alamat IP penyedia streaming dan torrent.