[caption caption="Rencana impelementasi electric car charging lane di Inggris. Baterai mobil listrik yang melintas di atasnya secara otomatis diisi secara nirkabel. (sumber: stuff.co.nz)"][/caption]
"Kita tidak akan bisa membangun perusahaan privat untuk berkompetisi melawan monopoli terbesar di planet ini, yaitu minyak bumi."
Shai Agassi melanjutkan, "Tapi kita bisa menghadapinya bersama-sama."
Tahun 2003 CNN-Time Magazine menobatkan Agassi sebagai Top 20 Global Influental. Di usianya yang baru 30-an, pria asal Israel ini sudah menjabat sebagai salah satu Presiden di SAP, perusahaan perangkat lunak kelas dunia. Ia hengkang dari SAP 2007 dan mendirikan Better Place, sebuah perusahaan electric car network atau jaringan mobil listrik dan menjadi CEO. Impian Agassi bukan hanya sekedar menghadirkan teknologi baru dalam dunia mobil listrik. Tapi mimpi tentang sebuah ekosistem mobil listrik.
[caption caption="Stasiun penggantian baterai mobil listrik yang dibangun Better Place di Denmark. (sumber: cleanrider.com)"]
MOBIL LISTRIK SEBAGAI BAGIAN SISTEM INFRASTRUKTUR
Bahwa kendaraan listrik adalah yang paling ramah lingkungan, itu bukan berita baru. Tapi sulitnya menjual kendaraan listrik saat ini hampir sama dengan menjual MP3 di tahun 90-an saat belum ada iPod. Industri otomotif berlomba menciptakan kendaraan listrik, bahkan performanya melampaui kendaraan berpembakaran. Tesla Motor telah menciptakan mobil listrik berkecepatan maksimal 250 km/jam dan daya tahan baterai 402 km. Begitu juga dengan sepeda motor listrik yang tak kurang canggihnya. Inovasi kendaraan listrik juga bermekaran dari dalam negeri, khususnya perguruan tinggi.
Tapi kenapa kendaraan listrik belum populer sampai sekarang? Karena mahal, baik harga kendaraan maupun baterainya.
Kenapa mahal? Karena permintaan pasar sangat terbatas sehingga industri otomotif belum mau memproduksi massal.
Kenapa permintaan pasar sangat terbatas? Karena belum ada infrastruktur yang memadai.
Tak ada yang mau beli kendaraan listrik kalau tak ada tempat mengisiulang baterai. Sama seperti tak ada yang mau beli kendaraan berpembakaran bila tak ada SPBU. Lalu tanggungjawab siapa sebenarnya menghadirkan infrastruktur vital kendaraan listrik ini?
Di Indonesia bicara mobil listrik seperti ayam dan telur: mana yang duluan. Pemerintah mengatakan siap menghadirkan infrastruktur mobil listrik bila industri otomotif sudah siap memasarkan dalam jumlah massal. Lebih bagus lagi bila harganya terjangkau. Tapi perusahaan otomotif juga tidak mau memproduksi massal kalau belum ada infrastrukturnya. Berputar-putar di situ terus.
Tapi bila kita melihat negara-negara yang berhasil dengan program mobil listriknya, pemerintah mereka hadir lebih dulu sebagai pendorong awal untuk menghidupkan industri mobil listrik. Langkah awalnya adalah menjadikan mobil listrik sebagai bagian dari sistem infrastruktur.
Pemerintah harus mengubah paradigma dengan melihat fasilitas pendukung kendaraan listrik sebagai bagian dari sistem infrastruktur dan sebuah ekosistem. Sama seperti pemerintah membangun jalan, rambu, lahan pakir dan lahan SPBU. Lewat Pertamina sebagai BUMN, negara telah mengamanatkannya mencari, mengeksploitasi, mengolah, sampai mendistribusikan BBM. Bagaimana jika Pertamina juga diberi amanat untuk membangun electric car network serta pendistribusian isi ulang baterai kendaraan listrik? Sangat hebat tentunya.
Infrastruktur kendaraan listrik ini harus dibangun pemerintah untuk menciptakan permintaan. Inovasi pengisianulang baterai (charging spot) kendaraan listrik sudah sebegitu majunya. Mereka bisa ditempatkan di tempat parkir, stasiun khusus, bahkan garasi pribadi. Teknologi charging spot Tesla Motor bahkan hanya perlu 90 detik, dua kali lebih cepat dibanding mobil pembakaran.
[caption caption="Charging spot Tesla Motor. (sumber: cst.org)"]
[caption caption="Charging spot di garasi pribadi. Tak perlu ke stasiun pengisianulang lagi. (sumber: plugincars.com)"]
Kalau ini masih belum cukup canggih, BMW telah bekerjasama dengan Qualcomm membangun Qualcomm Halo. Ia berbentuk perangkat yang ditanam di jalan atau lantai dan dapat mengisi ulang baterai pada mobil listrik yang melintas di atasnya secara nirkabel (wireless). Tak perlu tempat pengisianulang lagi. Hanya dengan berjalan atau berhenti di atas Qualcomm Halo selama 1 jam, baterai mobil berkapasitas 7,2 kW langsung full bar! Inggris akan segera mengimpelementasikannya  dalam bentuk electric car charging lane. Ini adalah jalur khusus di jalan raya yang mampu mengisi baterai mobil mobil listrik yang melintas di atasnya.Â
[caption caption="Sebuah BMW sedang siap parkir di atas perangkat pengisianulang baterai mobil listrik Qualcomm Halo. (sumber: arstechnica.net)"]
[caption caption="Arsitektur sederhana charging lane di Inggris. (sumber: slidesharecdn.com)"]
Negara-negara yang sadar bahwa infrastruktur kendaraan listrik adalah tanggungjawab mereka antara lain Jepang, Denmark, Jerman, Austria, Amerika Serikat sampai Israel. Tak hanya membangun charging spot secara masif, tapi juga menuangkannya dalam regulasi. Di Jepang, taksi wajib mobil listrik. Dengan hadirnya infrastruktur, hadirlah permintaan. IBM, Intel, AT&T, Google, Cisco telah mengganti seluruh armada mereka ke kendaraan listrik. Dengan hadirnya permintaan, produksi bisa dilakukan secara massal, berharga lebih terjangkau dan mendorong inovasi lebih cepat.
Negara-negara di atas mayoritas bekerjasama dengan Better Place. Shai Agassi, mengatakan, "Negara harus melihat segala elemen yang dibutuhkan kendaraan listrik adalah bagian sistem dan jaringan infrastruktur, bukan tanggungjawab industri. Karena tak ada pendorong yang lebih besar dalam pelestarian lingkungan hidup kecuali negara."
Kepada pengguna kendaraan listrik, Better Place menerapkan pembayaran berlangganan seperti operator selular. Selain memberi kemudahan, biaya yang prediktif dan banyak bonus, juga berbiaya 80% lebih rendah dibanding BBM. CEO Tesla Motor, Elon Musk, meyakini harga mobil listrik bisa 50% lebih murah 3-4 tahun ke depan dengan hadirnya kesadaran negara dan tumbuhnya inovator seperti Better Place.
Bagaimana hal ini bisa diterapkan di Indonesia?
Paling mudah adalah tinggal mencontoh saja yang sudah dilakukan negara lain di atas. Regulasi-regulasi baru juga mesti turut dihadirkan. Seperti mewajibkan angkutan umum menggunakan kendaraan listrik, mal dan perkantoran wajib sediakan charging spot dan tempat parkir khusus, serta membiayai penelitian kendaraan listrik. Regulasi juga diperlukan bagi industri otomotif existing dengan mewajibkan memasarkan kendaraan listrik sekian persen dari total yang dijual per tahun. Insentif berupa keringanan pajak bukan saja bisa diberikan ke industri yang memasarkan kendaraan listrik, tapi juga pengguna kendaraan listrik. Dengan demikian, permintaan bisa tercipta karena kendaraan listrik adalah bisnis yang seksi bagi industri dan menjanjikan banyak keuntungan bagi pemiliknya.
[caption caption="Tempat parkir dengan fasilitas pengisianulang baterai mobil listrik di Norwegia. (sumber: inhabitat.com)"]
[caption caption="Tempat parkir dengan fasilitas pengisianulang baterai listrik secara nirkabel. (sumber: bu.edu)"]
OTOMOTIF DALAM OPEN PLATFORM DAN BELAJAR DARI TIONGKOK
"Kita tidak bisa lagi menjalankan industri otomotif dengan cara lama," ucap Bill Ford, Executive Chariman raksasa otomotif Ford.
Ford tahu benar apa dampak industri otomotif bagi peradaban, baik dan buruknya. Kendaraan itu mahal, bahkan aset terbesar kedua rumah tangga. Emisi kendaraan bermotor adalah salah satu penyumbang terbesar pencemaran. Memelihara kendaraan juga tidak murah: harga BBM kian tinggi dan tidak stabil karena sifatnya yang tak terbarukan. Sementara jalan makin macet dan biaya parkir mahal. Tapi, rata-rata penggunaan kendaraan di dunia hanya 1 jam per hari. Sisanya dihabiskan di tempat parkir atau garasi.
Namun punya kendaraan itu menyenangkan. Karena ia tak sebatas alat transportasi pribadi, tapi kebebasan mobilisasi dan status sosial. Tingginya mobilitas dan pertumbuhan ekonomi tidak sebanding pertumbuhan jalan. Di Indonesia pertumbuhan penjualan mobil 1,2 juta unit dan sepeda motor 10 juta unit per tahun. Perlu dibangun lebih banyak jalan dan BBM untuk dibakar. Di negara berkembang luas jalan sudah 40% dari kawasan urban dan pasti meningkat. Betapa berat beban bumi kita, ekonomi masyarakat dan nasib masa depan.
Itu sebabnya industri otomotif berlomba-lomba menciptakan produk ramah lingkungan dan hemat energi. Standar kelayakan yang ditetapkan oleh organisasi otomotif juga makin tinggi dalam aspek keramahan lingkungan.
"Tapi, lupakan hybrid," tukas Agassi.
Ia katakan, satu-satunya kendaraan yang bebas emisi yang sejati untuk masa depan adalah yang bertenaga listrik. Agassi bertaruh harga komponen mobil listrik, terutama baterai, tak lama lagi akan murah. Keterjangkauan harga dan biayanya akan mengalahkan mobil berpembakaran meski harga minyak bumi jatuh.
"Dalam satu dekade ke depan, biaya produksi BBM akan lebih mahal ketimbang memproduksi listrik untuk kendaraan," sergah Agassi.
Sebagai mantan seorang 'kaisar' di 'kerajaan'Â software dunia, Agassi tahu benar bagaimana bisnis ini dijalankan. Hanya ketika ilmu pengetahuan dibukalah ia bisa berkembang. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia software. Sebutlah Android, Linux, PHP, Apache, MySQL dsb yang berhasil mengubah wajah dunia digital kita. Begitu juga selayaknya dengan industri otomotif. Teknologi itu harus dibuka seluas-luasnya untuk dikembangkan secara bersama-sama oleh seluruh lapisan masyarakat.
"Anda akan menyimpan erat-erat pengetahuan sebagai aset inti perusahaan anda, atau membagikannya kepada orang lain agar mereka juga bisa ikut mengembangkan aset tersebut?" kata Agassi.
Yang dimaksud Agassi adalah industri otomotif tak bisa lagi menutup erat-erat teknologi yang mereka kuasai demi monopoli bisnis bila memang bertujuan menciptakan dunia yang lebih baik. Teknologi, paten, pengetahuan yang selama ini dipegang korporasi harus dibuka kepada masyarakat agar setiap orang bisa berkontribusi, berinovasi serta meningkatkan nilai. Ia mesti dijalankan secara open platform atau platform terbuka.
Tiongkok jauh lebih cepat dalam hal ini. Sebagai negara sosialis, hak paten sebagai hak kekayaan pribadi adalah hal asing di sana.  Segala sesuatu dianggap milik masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan. Itu sebabnya seseorang di Tiongkok bisa membuat sepeda motor bahkan mobil di bengkel pribadi rumahnya. Sangat banyak distrik di Tiongkok yang produksi andalannya adalah produk otomotif dan mereka beri merk 'seenaknya'. Distrik Jiading, contohnya.
Tiongkok juga punya rencana ambisius dalam mewujudkan electric car network. Negeri Tirai Bambu itu menargetkan pemakaian 5 juta mobil listrik pada 2020. Mereka membangun electric car network berupa stasiun pengisian listrik di pemukiman, distrik bisnis, ruang publik, serta jalan raya antar kota. Setiap komplek perumahan baru harus punya minimal satu stasiun pengisian baterai. Sementara 10 persen dari luas parkir umum diwajibkan untuk menjadi lahan stasiun pengisian. Harus ada setidaknya satu stasiun pengisian untuk setiap 2.000 mobil listrik. Itu artinya, proyek ini berencana untuk menambah jumlah stasiun pengisian listrik hingga jumlahnya mencapai 2.500 unit.
Penjualan mobil listrik belakangan sangat menjamur di Tiongkok. Dalam delapan bulan pertama 2015, penjualan mobil listrik melonjak 270 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya, atau terjual 108.654 unit, baik dari produsen lokal atau produsen global. Bahkan Zhejiang 001 Group menciptakan mobil listrik yang dilengkapi solar panel dengan harga hanya Rp55 juta per unit!
[caption caption="Seorang pengendara mobil listrik di Tiongkok sedang mengisiulang baterai mobilnya di tempat parkir. (sumber: people.cn)"]
[caption caption="Penyewaan mobil listrik untuk umum di Hangzhou, Tiongkok. (sumber: china.org.cn)"]
MOBIL LISTRIK SEBAGAI EKOSISTEM DAN PERTAMINA SEBAGAI GARDA DEPAN
Kita tak bisa melihat mobil atau kendaraan listrik lain hanya sebatas terobosan atau teknologi baru industri otomotif. Ia adalah jalan untuk menyelamatkan peradaban manusia, lingkungan, ekonomi dan sosial politik. Mobil listrik adalah jalan kita menuju kemandirian energi mengingat betapa banyak BBM yang kita bakar, dan hampir seluruhnya impor. Hingga untuk mewujudkannya tak bisa sekedar memandangnya sebagai entitas produk. Ia harus diwujudkan sebagai ekosistem. Ekosistem ini dibangun lewat infrastruktur, teknologi, kebijakan, insentif, anggaran, pemberdayaan masyarakat, kerjasama global, keterbukaan, integritas dan kolaborasi.
Kita mesti banyak belajar dari cara Google lewat Android dan Apple lewat iPhone berhasil membangun ekosistem smart device. Ekosistem itulah yang juga harus kita wujudkan dalam electric car network.
Pertamina sebagai pemain utama bidang energi di Indonesia, harus maju sebagai garda terdepan. Berkiprah dalam pengembangan teknologi mobil listrik juga bukan hal baru bagi Pertamina. Di lobi Gedung Utama Kantor Pusat Pertamina di Jakarta bahkan bertengger Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) atau SPBU Listrik.
Pertamina juga pernah menyumbangkan 6 unit mobil listrik mewah Toyota Alphard kepada Universitas Brawijaya, Universitas  Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Riau, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, untuk dikembangkan pada 2013. Mobil ini sebelumnya adalah karya anak perusahaan Pertamina, Pratama Mitra Sejati, pelaksana pembuatan mobil listrik yang pernah dipamerkan diajak KTT APEC 2013 di Bali.
[caption caption="Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto (kini mantan) bersama Rektor ITS Prof Triyogi Yuwono menjajal mobil listrik sumbangan Pertamina tahun 2013. (sumber: Jawa Pos)"]
[caption caption="Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) yang berada di Kantor Pusat Pertamina di Jakarta. (sumber: detik.com)"]
[caption caption="Mobil listrik Selo kelas high-end karya anak bangsa Indonesia. (sumber: liputan6.com)"]
Langkah tersebut adalah tindaklanjut dari surat Kementerian BUMN No. S-59/S.MBU/4.2013 tanggal 24 April 2013 perihal Program Pengembangan Mobil Listrik.
"Ini adalah bentuk partisipasi aktif Pertamina dalam pengembangan mobil listrik nasional. Pertamina sangat mendukung program pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN, dalam upaya pengembangan kapasitas dan kemampuan nasional untuk memproduksi alat transportasi yang ramah lingkungan dan tidak bergantung pada energi fosil yang tak terbarukan," tutur Direktur Umum Pertamina kala itu, Luhur Budi Djatmiko.
Kenyataan itu sudah jelas di depan mata: mobil listrik adalah masa depan dan mobil pembakaran akan punah. Cepat atau lambat kita pasti akan menggunakannya. Pilihan ada pada kita: menjadi pionir atau pengikut yang hanya bisa mengonsumsi?
Kita perlu jalur cepat membangun ekosistem mobil listrik ini di Indonesia. Dan kita boleh yakin bahwa bangsa Indonesia tengah berada di masa yang tepat karena memiliki pemimpin yang berani dalam terobosan serta mampu bekerja cepat. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H