Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kita dan Hiperealitas

17 Juni 2015   11:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:40 14783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita bisa kasmaran dengan seseorang di Facebook yang belum pernah kita temui hanya karena fotonya. Bisa dengan mudahnya menghina orang lain di Twitter, padahal kita adalah orang yang santun di kehidupan sehari-hari. Atau, dengan gampangnya merendahkan keyakinan orang lain di internet, tapi (tentu saja) tak berani melakukannya terang-terangan di dunia nyata.

Jadi, siapakah kita sebenarnya? Kita yang di kehidupan sehari-hari atau kita di internet? Apa yang membatasi teritori keduanya?

Guys Louis Debord membantu kita menjawabnya: dalam dunia postmodern, realitas sudah mati, yang tersisa adalah persepsi. Pendiri Situationist International ini mengatakan, ekonomi dan politik bukan lagi fundamen di masyarakat, tapi persepsi. Itu sebabnya Jokowi terus di-bully, dihina dan dicacimaki di media sosial tak peduli apa yang sudah dilakukannya, melainkan apa yang orang persepsikan terhadapnya. Tak peduli apakah persepsi bahwa Jokowi itu komunis atau kafir itu benar atau tidak, karena hiperealitas sudah mengaburkan batasan antara yang nyata dan fantasi.

Lalu dimana sebenarnya batas teritori antara realitas dan fantasi? Tidak ada.
Beaudrillard menjelaskan, konsep hiperealitas adalah konsep hubungan antara peta dan teritori. Objek pada peta tidak bisa memuat semua aspek yang ada dalam teritori. Pada hiperealitas teritori ini sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanya peta. Ini disebut simulacrum: peta yang mendahului teritori.

Selain hilangnya teritori antara yang nyata dan fantasi, hiperealitas juga menghilangkan asal-usul. Tidak ada lagi sumber atau referensi utama akan kebenaran. Dalam derasnya arus informasi, setiap individu bergerak bebas menentukan persepsinya. Meski melahirkan pemahaman dan makna baru, tapi juga membuat kebenaran makin sulit didapat. Hal ini seperti yang saya jelaskan dalam tulisan Distorsi Kebenaran di Era Internet of Things.

E-PERSONALITY DAN SCHIZOFRENIA

Pernahkah anda punya teman yang sehari-hari begitu lembut dan ramah tapi judesnya bukan main di media sosial? Atau, seorang teman yang galaknya minta ampun di Facebook tapi sangat pemalu dan pendiam di dunia nyata?

Jadi, yang mana kepribadian orisinil teman kita itu? Karena menurut Beaudrillard teritori sudah hilang, maka ya keduanya. Wah, bipolar (kepribadian ganda) dong namanya? Sakit jiwa dong kawan kita satu ini?

Istilah E-personality pertamakali dikenalkan oleh Elias Aboujaoude, ahli kejiwaan dari Stanford University dalam bukunya Virtually You. E-personality menjelaskan tentang perbedaan sifat manusia di dunia maya dan dunia nyata. E-personality sangat mungkin mengarah ke gangguan mental yang disebabkan trauma, kemarahan, kekecewaan, obsesi, kebingungan yang bertumpuk dan terpendam. Semua itu ditumpahkan di internet, termasuk media sosial, dalam bentuk kepribadian yang berbeda. Kepribadian ini terputus dengan kepribadian asli dan kenyataan di sekitar. Seperti itu lah penyakit kejiwaan schizophrenia didefinisikan.

Hiperealitas dan E-personality bisa membawa kita ke schizophrenia bila tidak mampu lagi bertindak rasional di 'dua alam' dan melakukannya secara kontinyu serta kehilangan kontrol. Misal, merasa diri kita sungguh hebat dan dihormati orang karena punya banyak follower dan liker di media sosial. Sehingga, kemanapun kita pergi, kita merasa jadi selebriti dan menuntut dihormati. Mungkin terdengar lucu. Tapi saya punya teman model begini. Punya puluhan ribu follower di akun Twitter pribadi, ia merasa kemana-mana sebagai artis dan menganggap semua orang mengenalnya. Pernah suatu ketika ia nongkrong di sebuah kafe dan mengundang followernya untuk 'jumpa fans'. Tapi tidak ada satu pun yang datang. Di timeline ia mengamuk. Untungnya, teman ini masih punya kontrol dan tak terus-menerus begitu.

Hiperealitas bukan hanya monopoli entitas internet, tapi juga media mainstream. Sindromnya bahkan bisa menyerang praktisi media itu sendiri. Ketika Pemilu 2014 lalu, teman-teman wartawan dari surat kabar lokal di daerah saya ramai-ramai maju jadi Caleg DPRD tingkat kota sampai DPR. Mereka menganggap sering tampil di surat kabar (sendiri), punya relasi luas dan mampu mengendalikan isu pemberitaan, cukup untuk menggerakkan pemilih di bilik suara. Mereka merasa realitas di media itu sama dengan realitas publik atau dunia nyata. Tapi tak ada satu orang pun yang terpilih. Di Pilkada serentak Desember nanti, sudah ada satu kawan wartawan yang mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah. Padahal di Pemilu 2014 lalu ia juga jadi caleg dan hanya dapat suara sangat minim. Sindrom hiperealitas di kalangan praktisi media ini turut disoroti oleh pengamat komunikasi politik Universitas Airlangga, Sukowidodo.

HIPEREALITAS PADA KITA

Hiperealitas membawa kita pada situasi punya banyak teman di Facebook, tapi tak punya sahabat di kehidupan nyata. Sering berbincang dengan seseorang di negara lain, tapi tak kenal tetangga sendiri. Makin punya banyak informasi, tapi makin jauh dari fakta. Makin berilmu, tapi makin emosional dan impulsif. Makin terhubung, tapi makin minim tindakan. Sehari menghabiskan waktu 2-3 jam untuk chatting, tapi makin jarang ngobrol dengan anak atau pasangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun