Saat Jokowi berkampanye di Pilpres 2014 ia getol mengkampanyekan Kartu Indonesia Sehat (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan kartu-kartu lain. Saya nyengir-nyengir saja. Kenapa juga fasilitas-fasilitas itu tidak ditanam (embed) saja di dalam e-KTP kita yang sudah menggunakan chip itu? Tidak hanya hemat kartu, tapi juga hemat pembelian card reader, ringkas di sisi pengguna, serta mempermudah dan meringkaskan layanan publik.
KTP elektronik teringtegrasi (integrated e-ID) bukan barang baru. Di Finland, Belgia, Jerman, Prancis, Hongkong, Italia, Mexico, Nigeria dll, ia sudah diterapkan bahkan sebelum 2010. Integrated e-ID digunakan untuk berbagai keperluan seperti KTP, paspor, SIM, layanan dan rekam kesehatan sampai visa. Bahkan Uni Emirat Arab merekam catatan keuangan warga lewat e-ID. Integrated e-ID juga bukan barang di Indonesia. Sejak lama institusi pendidikan seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) sudah punya Gama Card yang mengintegrasikan kartu mahasiswa dan kartu ATM sejak 2004. Gama Card ini juga bisa digunakan untuk pembayaran moda transportasi Trans Jogja.
[caption id="attachment_1778" align="aligncenter" width="500"]
Belakangan, integrated e-ID ini rupanya tidak cukup. Kartu ini ditransformasikan menjadi National Mobile ID. Kartu e-ID itu mereka ‘tanam’ dalam ponsel. Negara-negara yang telah mengaplikasikan Mobile ID antara lain Oman, Finlandia, Swedia, Estonia dan Austria.
Tulisan saya ini tidak untuk mengkritisi kebijakan Pemerintahan Jokowi yang mempromosikan banyak kartu. Mungkin itu karena masalah teknis, regulasi atau birokrasi. Saya coba menyampaikan bahwa dalam kehidupan manusia yang kian kompleks, perangkat hidup makin ringkas dan integratif. Dematerialisasi adalah keniscayaan.
SEHARI TANPA DOMPET
Mark Denton dari BT Expedite menceritakan pengalamannya sehari hidup di London Inggris tanpa tunai, tanpa kartu dan tanpa dompet di 2013. Ia cuma membawa sebuah ponsel pintar (smart phone). Nekat ‘kan?
Tapi ia berhasil menjalani harinya dengan normal: naik angkutan umum, makan di restoran sampai berbelanja. Semua pembayaran ia lakukan lewat mobile payment. Di negara maju, pembayaran bukan lagi sekedar non tunai (cashless), tapi juga non kartu (cardless). Hampir semua pembayaran bisa dilakukan dengan satu barang yang selalu kita bawa: ponsel.
Penetrasi sinyal selular dan internet melahirkan ‘barang’ baru: mobile wallet atau dompet ponsel. Mobile wallet yang digunakan sebagai mobile payment (pembayaran lewat ponsel) diyakini sebagai metode pembayaran masa depan. Sebelumnya uang sudah ditransformasikan menjadi kartu. Kini kartu ditransformasikan menjadi data digital yang ditransmisikan lewat ponsel sebagai perangkat bergerak. Cara membayarnya tinggal dekatkan saja ponsel kita ke alat pembayaran pembaca data (Electronic Data Capture, EDC) berbasis Near Field Communication (NFC). Ada juga yang diotorisasi dengan digital signing dimana ponsel mengambil sidik jari kita. Selesai.
Produk mobile wallet yang sekarang tengah gencar dipromosikan di Indonesia salahsatunya adalah rekening ponsel yang dimulai CIMB Niaga 2013 lalu. Tanpa kartu, tanpa buku tabungan, tanpa perlu datang ke bank, nasabah bisa gunakan rekening ponsel untuk pembayaran, transfer dana, sampai tarik tunai di ATM. Rekening ponsel bahkan bisa digunakan di feature phone (ponsel non-smartphone). Sekarang, mobile wallet jenis ini juga disediakan oleh bank nasional lain seperti Bank Mandiri dengan nama e-Cash dan T-Bank dari BRI. Sebagai bank yang ditugasi menyalurkan dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), BRI dan Bank Mandiri juga menyalurkannya lewat rekening ponsel.
DEMATERIALISASI: DEMI BUMI, MANUSIA DAN PERADABAN
Tidak sedikit orang yang beranggapan perubahan bentuk pertukaran uang tunai (cash) menjadi uang elektronik/digital (e-money/cashless) semata-mata adalah tren dan strategi bisnis perbankan. Tidak. Perubahan material dan cara pertukaran ini adalah bagian dari misi bersama umat manusia dalam dematerialisasi untuk kelangsungan hidup bumi dan manusia. Dalam aspek ekonomi, demateralisasi adalah pengurangan penggunaan kuantitas material secara absolut atau relatif untuk meningkatkan fungsi ekonomi di masyarakat. Singkatnya, dematerialisasi adalah ‘doing more with less’ (melakukan lebih dengan cara minimal).
Club of Rome sebagai global think tank pada 1972 melaporkan soal Batas Pertumbuhan (The Limits of Growth). Isinya adalah gambaran hasil simulasi komputer soal hubungan antara pertumbuhan populasi manusia, ekonomi, sumberdaya alam (SDA) yang terbatas dan potensi polusi. Kesimpulannya, bumi dan manusia bisa kolaps bila permintaan (demand) atas SDA tidak teratasi. Populasi makin meningkat, permintaan barang naik, sementara barang membutuhkan SDA sebagai bahan baku. Industri pengolah bahan baku pasti pasti juga ikut naik dan pencemaran kian meningkat. Mereka merekomendasikan negara-negara di dunia untuk mendorong dematerialisasi, mengubah bentuk barang sehingga membutuhkan SDA lebih sedikit atau tidak samasekali demi menyelamatkan planet dan seisinya.
Mari bayangkan, berapa pohon harus ditebang demi dijadikan kertas bila saat ini kita tidak mengenal email dan situs berita. Berapa luas hutan mesti digunduli dan mineral digali untuk dijadikan uang kartal bila kita tak mengenal uang elektronik. Berapa tembaga harus diangkat dari dalam bumi bila pita kaset musik tidak digantikan MP3. Jangan lupakan berapa jumlah SDA migas dan ekstraktif yang dihabiskan agar industri bisa mengolah bahan baku tersebut. Bumi, manusia dan peradaban memang bisa kolaps betulan tanpa dematerialisasi.
Sehingga, perubahan bentuk sebuah materi menjadi lebih ringkas dan dengan sumberdaya lebih minim, tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi di masyarakat seperti efisiensi, efektivitas, kecepatan dan integrasi. Tapi juga upaya manusia — kita semua — untuk kelangsungan hidup planet, manusia dan peradaban. Dematerialisasi adalah keniscayaan sebagai upaya manusia untuk terus bertahan hidup sebagai spesies.
MASA DEPAN ADA DI GADGET
Terus terang, saya merasa lebih bisa bertahan hidup tanpa dompet dibanding tanpa ponsel. Dalam ponsel saya (yang cuma satu dan keluaran tahun 2011) ada rekening ponsel, 2 mobile banking, 3 kartu kredit yang terdaftar di mobile wallet, data dan foto KTP, SIM, paspor, NPWP dan kartu-kartu lain, serta bisa dipakai menghubungi orang lain tentunya. Kalau saya ‘terdampar di negeri orang’ tanpa dompet, tinggal gunakan rekening ponsel saja untuk menarik uang dari ATM tanpa kartu. Untuk beli tiket tinggal beli di internet dan bayar pakai mobile wallet.
Gadget atau gawai adalah bentuk nyata dari dematerialisasi sebagai peranti dengan fungsi yang makin kaya, canggih dan bentuk yang praktis. Ponsel adalah gadget yang saat ini jumlahnya lebih banyak ketimbang populasi manusia.
Dalam laporan yang disusun Steffen Damkjaer Hansen, Master Engineering Psychology dari Electronic System Department Aalbor University, menyebutkan bahwa mobile payment adalah future payment (pembayaran masa depan) atau future money (uang masa depan). Penggunaan uang tak bisa lagi dibatasi oleh teritorial dan pemiliknya harus bisa mengakses uangnya setiap saat. Tulisan saya berjudul ‘Petaka Tunai di Phuket’ adalah gambaran bahwa saya tetap punya akses ke uang saya di bank nasional meski berada di luar negeri. Keraguan saya terhadap sistem perbankan yang sudah borderless (tanpa batas negara) membuat saya rugi besar secara finansial.
Mobile payment seperti dikatakan Karnouskus dalam Mobile Payment Forum 2002 adalah: segala pembayaran yang menggunakan perangkat elektronik bergerak (mobile device) dalam memulai, mengotorisasi dan mengonfirmasi pertukaran finansial untuk mendapatkan imbal balik barang atau jasa.Â
Apa mobile device paling banyak dipakai saat ini? Ponsel.
Saat ini setidaknya ada 5 jenis basis teknologi mobile payment: SMS, barcode, near field communication (NFC), digital wallet dan direct carrier billing.
Rekening ponsel adalah salah satu bentuk mobile payment berbasis SMS. Begitu juga dengan transaksi mobile banking dengan metode SMS. Sedangkan Barcode payment atau QR-pay sudah banyak diterapkan di supermarket, restoran/kafe sampai toko online. Caranya tinggal memindai (scan) barcode pada sebuah produk lewat ponsel yang telah memiliki digital wallet, selesai. Starbucks, Walmart, Dunkin Donuts adalah beberapa dari sekian banyak merchant (penjual/toko) yang mengaplikasikan barcode payment.
Sementara mobile payment berbasis NFC jenisnya jauh lebih banyak. Pemilik kartu kredit Visa atau Mastercard tinggal memasukkan data kartu kredit mereka ke aplikasi mobile wallet. Visa punya PayWave, sementara Mastercard dengan PayPass. Kita tinggal mendekatkan ponsel ke perangkat electronic data capture (EDC) berbasis NFC yang menerima PayWave atau Paypass. Tak perlu disentuh (contactless), dan pembayaran selesai. NFC seperti ini tersebar dimana-mana: supermarket, restoran, moda transportasi, tempat parkir, hotel, dll. Bahkan tidak sedikit layanan pesan antar yang memiliki mobile NFC dan menggunakan ponsel sebagai pengganti EDC dengan SquareUp. Dua produsen ponsel raksasa dunia, Apple dan Samsung, juga ikut meramaikan dengan merilis Apple Pay dan Samsung Pay yang bisa dikoneksikan dengan jam tangan pintar (smart watch). Tinggal dekatkan jam tangan ke NFC, selesai. Belakangan, Google tak mau kalah dengan ikut meluncurkan Android Pay yang dilengkapi dengan keamanan biometrik sidik jari.
Mobile payment digital wallet bekerja sebagai penyimpan data kartu kredit atau kartu debit kita dan perantara pembayaran. Digital wallet ini menjamin keamanan data kartu kita, bahkan ada yang punya jaminan uang kembali untuk transaksi yang tidak memuaskan. Seperti yang saya ceritakan di tulisan ‘Cashless Society pada Low Trust Society’, Paypal mengembalikan uang saya karena barang yang dipesan tidak sampai. Penyedia digital wallet sangat banyak: Google Wallet, Yahoo Wallet, Paypal, Apple Pay, dll. Indonesia sendiri sudah punya digital wallet seperti iPaymu, DokuWallet sampai T-Cash.
Direct carrier billing adalah pembayaran elektronik yang ditagihkan ke tagihan ponsel bulanan oleh operator yang kita gunakan. Bisa juga didebit dari kredit ponsel (pulsa) yang kita miliki. Jenis ini banyak digunakan untuk membeli aplikasi atau premium item permainan di ponsel. Sehingga tak masalah bila kita tak punya digital wallet atau kartu kredit.
MOBILE PAYMENT MENANG KARENA SEMUA UNTUNG
Ketika uang diubah menjadi kartu sejak Diners Club lahir tahun 1950, ia hanya jadi urusan bank penerbit, prinsipal kartu kredit (seperti Visa, Mastercard, Diners Club atau American Express) dan merchant. Hanya tiga pihak ini saja yang bekerjakeras mempopulerkan kartu pembayaran.
Mobile payment lahir ketika penetrasi sinyal selular dan internet makin besar, serta jumlah ponsel makin banyak. Mobile payment turut menguntungkan entitas bisnis lain di luar perbankan, prinsipal dan toko. Mereka yang menikmati gurihnya adalah pembuat ponsel, operator selular, penyedia jasa internet dan mesin server, produsen NFC, penyedia digital wallet, sampai toko online. Mereka secara ‘keroyokan’ mempopulerkan mobile payment dan uang elektronik karena ada ‘kue’ mereka di sana.
Sementara di sisi pengguna, ketergantungan mereka terhadap infrastruktur perbankan seperti kantor cabang dan ATM juga makin berkurang, tapi akses mereka ke uang pribadi makin luas, tanpa batas (borderless) dan real-time. Selama masih ada sinyal ponsel atau internet, pengguna bisa melakukan transaksi perbankan. Selama toko punya mesin NFC atau EDC, pembelian bisa dilakukan. Bahkan beberapa jaringan minimarket Indonesia melayani tarik tunai lewat kartu debit dan rekening ponsel.
Bagi perbankan dan pemerintah, uang elektronik dan mobile payment adalah jalan keluar mengatasi tingkat kepemilikan rekening bank yang masih rendah di masyarakat Indonesia. Masih 120 juta masyarakat Indonesia yang unbanked atau belum tersentuh perbankan. Masalah utamanya adalah kondisi geografis dan persebaran penduduk di pedesaan. Sementara, butuh banyak biaya bagi bank untuk membangun infrastruktur kantor cabang dan penyediaan mesin ATM. Itu sebabnya perbankan Indonesia gencar dalam strategi branchless banking (perbankan tanpa kantor cabang) ke wilayah pedesaan atau terpencil bekerjasama dengan operator selular dan Kantor Pos. Mereka bersama-sama mendorong penggunaan rekening ponsel, uang elektronik dan mobile payment.
Dematerialisasi adalah keniscayaan. Manusia pasti akan mengubah satu materi ke materi lain untuk kepentingan ekonomi sekaligus pertahanan hidup. Ketika kertas, tulisan dan kartu sudah ditransformasikan ke dalam bentuk digital dalam ekosistem konektivitas yang makin tersebar, kita meringkas makin banyak materi ke dalam piranti yang multi-guna dan mudah dibawa. Saat ini barang itu bernama ponsel. Suatu saat, bukan tak mungkin piranti itu berbentuk chip yang ditanam dalam tubuh — seperti film fiksi sains.
Mungkin banyak yang tidak setuju dengan pendapat saya ini. Tapi saya yakin dompet tak lama lagi akan jadi barang pajangan musium. Bagaimana menurut anda? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H